Pekan Pengabdian Masyarakat (P2M) kembali dilaksanakan oleh Hima Satrasia FPBS UPI. P2M dilakukan di Desa Pangauban, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung. Beragam acara digelar oleh Hima Satrasia dalam pelaksanaan P2M ini. Salah satu acara yang dilaksanakan, yaitu sebuah seminar bertemakan “Pendidikan Karakter dan Literasi”. Narasumber dari seminar ini, yakni Vismaia S. Damayanti, salah satu dosen dari program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di UPI. Adapun materi yang disajikannya berjudul “Pendidikan Karakter melalui Literasi Keluarga”.

Perpaduan Nilai untuk Pertumbuhan Karakter Positif
Vismaia S. Damayanti menerangkan bahwa masalah karakter selalu menjadi sorotan pada seorang individu. Masalah pada karakter yang terjadi pada era sekarang, banyaknya karena kecanduan smartphone. Dampaknya, individu menjadi sulit berpikir panjang. Ketika individu kehilangan kemampuan untuk berpikir panjang, ia membutuhkan pijakan berupa nilai-nilai yang berpengaruh dalam pertumbuhan karakter yang baik.
“Karakter yang baik merupakan perilaku yang dilandasi dengan nilai-nilai agama, kebudayaan, hukum, adat istiadat, dan estetika positif.”
Berdasarkan pernyataan ini, Vismaia S. Damayanti menekankan bahwa pertumbuhan karakter tidak hanya dibentuk oleh satu sumber saja. Perpaduan berbagai nilai yang ada dalam masyarakat, seperti nilai agama, budaya, adat istiadat, dan lain sebagainya pun berpengaruh dalam pertumbuhan karakter.
Nilai agama sering kali menjadi fondasi utama dalam pembentukan karakter. Individu yang memiliki dan menerapkan nilai ini tentu akan tertanam sifat-sifat kejujuran, kasih sayang, dan toleransi. Lalu nilai budaya dan adat istiadat, keduanya biasa diturunkan melalui cerita dan kebiasaan sehari-hari. Ini dapat menumbuhkan sifat kesopanan dan solidaritas antarsesama.
Kemudian nilai hukum, ditetapkannya aturan dan hukum tentunya berfungsi dalam memberikan batasan sosial yang menjaga keteraturan. Hal ini dilakukan supaya menciptakan masyarakat yang stabil dan makmur karena hukum dapat menanamkan rasa keadilan, kepatuhan, dan tanggung jawab. Adapun nilai estetika positif, nilai yang berkaitan dengan keindahan dan keharmonisan dari apresiasi kesenian. Rasa empati dan kreativitas adalah hasil dari seseorang yang memiliki dan menerapkan nilai ini. Sebab, adanya pengajaran nilai estetika positif dilakukan untuk menghargai kebaikan dan keindahan dalam kehidupan yang ada. Nah, jika semua nilai tersebut telah diterapkan, maka terciptalah karakter positif dalam suatu individu.
Baca juga: Mitomania: Ketika Kejujuran Terlalu Menyakitkan
Membangun Karakter Anak Dimulai dari Rumah dengan Literasi
Karakter positif dapat tercipta melalui literasi keluarga. Caranya dapat diawali dengan memulai membacakan dongeng sebagai sarana kedekatan emosional. Ini dapat dilakukan sambil menanamkan nilai-nilai kehidupan positif yang terdapat di dalam dongeng. Adapun setelahnya bisa dilanjutkan dengan praktik menulis, misalnya menulis surat untuk ayah, ibu, kakak, atau adik. Tujuannya supaya dapat menumbuhkan rasa empati pada anak.
Praktik “bermain peran” juga dapat dilakukan dalam literasi keluarga. Semua anggota keluarga bisa mencoba berperan menjadi tokoh yang ada di dalam dongeng. Hal ini dapat mendorong kebiasaan untuk menghargai pendapat, menyampaikan gagasan, dan juga mengungkapkan perasaan. Kebiasaan merupakan awal mula dari pertumbuhan karakter.

Pertumbuhan karakter positif pada suatu individu dapat terjadi karena adanya pertumbuhan jasmani dan rohani, yang tentu dibangun dari suatu kebiasaan. Untuk itu, Vismaia S. Damayanti menyarankan agar menerapkan kebiasaan 8 jam tidur dan 8 jam belajar. Melalui upaya ini, diharapkan suatu individu dapat menjadi lebih produktif, kreatif, dan berkarakter positif sehingga mampu bersaing dengan individu lainnya. Maka dari itu, untuk mewujudkan pertumbuhan karakter positif pada suatu individu, diperlukan adanya peran dari berbagai pihak.
Empat Pilar Pembangun Karakter Anak
Terdapat empat peran yang dapat membantu pertumbuhan karakter dari suatu individu. Jelas yang pertama adalah orang tua. Lingkungan keluarga merupakan tempat terpenting dalam membangun karakter dan literasi anak, ia merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Mereka, para orang tua, adalah orang pertama yang ditemui anak di dalam hidupnya. Oleh karena itu, orang tua pun berperan menjadi pengajar pertama dan utama bagi anak, mulai dari ia lahir hingga dewasa. Tentunya, peran orang tua ini perlu dibantu dan didukung oleh peran lainnya.
Peran lain yang dimaksud adalah guru, tokoh masyarakat, dan pemerintah setempat. Peran guru dibutuhkan sebagai pengganti peran orang tua bagi anak saat ia berada di lingkungan sekolah. Selanjutnya ada tokoh masyarakat, salah satunya adalah pemuka agama yang berperan untuk membantu anak menanamkan nilai religius atau keagamaan. Terakhir, yakni peran pemerintah sebagai pelayan rakyat. Setiap anak tentu perlu bantuan dari pemerintah setempat untuk menumbuhkan karakter positifnya dengan baik dan tepat. Bantuan seperti memberikan fasilitas pendidikan yang baik, kesehatan yang tepat untuk keluarga, dan lain-lain merupakan hal yang dapat direalisasikan oleh pemerintah.
Baca juga: Sosialisasi MBKM: Peluang dan Tantangan Mahasiswa Semester 6
Hal-Hal yang Menghambat Pertumbuhan Karakter
Meskipun peran berbagai pihak tersebut sangat penting dalam mendukung pertumbuhan karakter, kenyataannya upaya tersebut belum sepenuhnya terwujud. Kondisi inilah yang memunculkan berbagai penghambat bagi pertumbuhan karakter. Penghambat pertama, yakni isu kemiskinan struktural yang masih menyelimuti dan tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia.
Menurut data BPS per Maret 2025, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 23,85 juta orang atau persentase yang dihadirkan adalah 8,47% dari total populasi. Walaupun angka tersebut mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, tetapi tetap saja ia menjadi faktor penghambat. Suatu individu yang mengalami keterbatasan ekonomi mau tidak mau pasti lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari daripada pengembangan diri.
Terbatasnya akses pendidikan berkualitas, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja yang layak pun merupakan faktor penghambat pertumbuhan karakter. Selain itu, maraknya hoaks yang bertebaran di media sosial juga menjadi penghambat bagi pertumbuhan karakter. Hoaks memiliki potensi yang besar untuk merusak pola pikir (mindset) suatu individu. Jika ada banyak individu yang tidak mampu membedakan fakta dan kebohongan, mereka akan rentan terhadap kekeliruan informasi yang dapat memicu kebencian, perpecahan, bahkan kekerasan.
Harapan Desa Pangauban sebagai Bukti Nyata Karakter Bisa Dibangun
Secara keseluruhan, seminar yang disajikan oleh Vismaia S. Damayanti menarik antusias para warga Desa Pangauban. Antusiasme terlihat jelas dari partisipasi aktif berbagai kalangan dan organisasi, seperti PKK dan Bunda Literasi hingga para pemuda desa. Suasana seminar hidup karena isinya tak hanya berupa penjelasan materi, tetapi juga adanya “permainan peran” yang mengajak para peserta berinteraksi langsung dan mencoba praktik yang nyata.
Ketua pelaksana kegiatan P2M, Jehan Al-Kautsar, berharap seminar ini dapat menjadi pemantik dalam tumbuhnya karakter yang baik dan juga literasi yang mumpuni di Desa Pangauban. Ia mengatakan bahwa pertumbuhan karakter merupakan hal yang menjadi penentu bagaimana manusia bersikap, berperilaku, dan berpikir.
“Sekecil apapun peristiwa yang terjadi pada seorang manusia akan berpengaruh pada karakternya,” pungkasnya.
Penulis: Ayudya Sekar Kedaton
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra




