Pergelaran Saatra

Empat Kaki Baik, Dua Kaki Jahat: Simbol Kritik Kekuasaan dalam Rajas Tamas

Pergelaran sastra “Rajas Tamas” berhasil menampilkan sebuah karya yang tidak hanya menghibur tetapi juga membawa pesan sosial yang kuat. Terinspirasi dari novel Animal Farm karya George Orwell, pergelaran sastra ini mengangkat isu penyalahgunaan kekuasaan melalui slogan: “4 Kaki Baik, 2 Kaki Jahat”. Pementasan ini dibawakan oleh mahasiswa kelas 4C Bahasa dan Sastra Indonesia pada Senin, 2 Juni 2025, di Gedung Amphiteater Universitas Pendidikan Indonesia.

Apa Makna dari “4 Kaki Baik, 2 Kaki Jahat” ?

Slogan tersebut menjadi simbol utama dalam cerita, empat kaki yang melambangkan hewan sebagai simbol kebaikan dan persatuan, sementara dua kaki adalah manusia yang  digambarkan sebagai lambang kekuasaan yang korup dan menindas. Menurut Kezia sebagai salah satu penulis naskah pergelaran ini, slogan tersebut diambil langsung dari novel Animal Farm karya George Orwell. Ia juga menjelaskan detail unik dalam pementasan ini, di mana hewan berkaki dua seperti ayam dihitung memiliki “4 kaki” karena sayapnya dianggap sebagai kaki tambahan. Hal ini memperkaya simbolisme dan memperdalam pesan sosial yang ingin disampaikan.

Adaptasi dan Pesan Naskah “Rajas Tamas”

Proses adaptasi dari novel ke naskah teater bukanlah hal yang mudah. Penulis naskah, Kezia, berupaya mengemas cerita agar lebih relevan dengan isu sosial yang terjadi di Indonesia. Ia mengungkapkan, “Salah satu tantangan terbesar dalam proses penulisan adalah merangkai alur cerita agar setiap adegan memiliki keterkaitan yang jelas.” Dengan begitu, pesan yang ingin disampaikan dapat diterima secara utuh oleh penonton.

Pergelaran Sastra “Rajas Tamas” pada Rabu,02/06/2025. (Sumber: Literat/Suci Maharani)

Salah satu contoh adegan yang kuat adalah konflik antara tiga babi yang menjadi tokoh sentral. Dulang, babi yang baik, berusaha memberdayakan para bungur dengan mengajarkan mereka membaca agar tidak mudah dibohongi dan bisa melawan penindasan. Namun, dua babi lainnya yang jahat merasa terancam dengan niat Dulang yang ingin menyetarakan kedudukan babi dengan hewan lain. Mereka kemudian memprovokasi para bungur untuk memusuhi Dulang dengan menyebarkan fitnah bahwa ia bersekongkol dengan manusia, musuh bersama para hewan.

Konflik ini menggambarkan realita kekuasaan yang seringkali mempertahankan posisinya dengan cara-cara yang licik. Seperti memecah belah rakyat, dan menyebarkan kebohongan agar tetap berkuasa. Melalui simbolisme ini, pementasan mengajak penonton untuk merenungkan pentingnya kesetaraan, pendidikan, dan kesadaran kritis dalam menghadapi ketidakadilan sosial. 

Membawa Tokoh Hewan ke Panggung: Proses dan Tantangan

Memerankan tokoh hewan dalam pergelaran ini, menjadi tantangan tersendiri bagi para pemeran, karena mereka harus menghidupkan karakter yang bukan manusia. Untuk itu, mereka perlu menyesuaikan gerak dan ekspresi tubuh sesuai dengan ciri khas masing-masing hewan agar peran yang dibawakan terasa natural, sehingga karakter menjadi lebih dekat dan pesan cerita tersampaikan dengan baik.

Salah satu metode yang dilakukan adalah membuat autobiografi tokoh. Yakni, dengan menggali latar belakang dan karakter hewan yang mereka mainkan agar bisa membawakan peran dengan lebih hidup dan meyakinkan. Asti, yang memerankan kuda bernama Larasati, mengungkapkan, “ Jadi pertama membuat autobiografi sesuai dengan tokoh masing-masing, tentang larasati seperti apa, bagaimana pertumbuhan larasati di peternakan, karakteristiknya bagaimana, dan semacamnya.” Selain itu latihan rutin juga dilaksanakan guna melatih vokal dan gestur untuk menyesuaikan diri dengan karakter hewan dalam pergelaran sastra ini.

Respon Penonton dan Asa di Balik Layar

Penonton yang hadir tampak sangat antusias dan terbawa suasana dalam cerita. “Saya merasa pementasan ini sangat relevan dengan kondisi sekarang. Pesan ‘4 kaki baik, 2 kaki jahat’ membuat saya berpikir ulang tentang siapa yang sebenarnya ‘baik’ dan ‘jahat’ di masyarakat,” ungkap Masropah, salah satu penonton. Selain itu, pementasan ini juga membuka ruang diskusi bagi penonton untuk melihat isu sosial dengan perspektif yang lebih kritis. Pesan yang disampaikan dalam pergelaran ini tidak hanya berhenti pada hiburan, tetapi juga mengajak setiap orang untuk merenungkan peran dan tanggung jawabnya dalam masyarakat. 

Penulis: Alya Khairina Hartono

Editor: Suci Maharani