Semikolon (;): Bukan Akhir, Hanya Jeda untuk Bertahan

Tidak semua kehilangan datang dengan dentang yang terdengar. Ada yang datang perlahan lalu lenyap begitu cepat. Laksana embun yang lekas hilang sebelum sempat disadari. Layaknya kilat yang lekas hilang disambar petir. Bagaikan bintang jatuh yang hanya menerbitkan garis cahaya dengan singkat.

Begitulah cara Rama tanpa pamit meninggalkan Asmara sendirian. Begitulah cara Ahmad pergi menyisakan Sajani hanya dengan mimpinya. Begitu pula-lah cara Nugraha enggan menumbuhkan kepeduliannya kepada Mahira. Begitulah cara Muklas yang hadir di hidup Kila dalam bentuk tamparan dan makian.

Pementasan Semikolon (;) oleh Kelas 4-A Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Rabu, 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Setidaknya, makna kehilangan itulah yang menarik penonton cukup jauh. Seolah turut terbenam bersama kepedihan Asmara, Sajani, Mahira, dan Kila melalui pertunjukan teater mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 4-A. Teater oleh Adikimoera ini berjudul “Semikolon (;)” bertajuk “Ini bukan akhir”. Dipentaskan dalam rangkaian Pergelaran Sastra Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia (28/5).

Tentang Empat Cerita dan Satu Luka

Teater “Semikolon (;)” mengangkat isu fatherless melalui konsep pementasan omnibus, yaitu pertunjukan yang terdiri dari beberapa cerita berbeda. Namun, saling terhubung oleh satu tema besar. Dalam pertunjukan ini, empat kisah disajikan sebagai empat segmen terpisah, tetapi tetap membentuk satu kesatuan narasi yang utuh. Tiap-tiap cerita digarap oleh penulis dan sutradara yang berbeda sehingga tiap segmen memiliki gaya pementasan dan ciri khasnya sendiri.

Pimpinan Produksi, Davina Ramadhani, menyebutkan bahwa pergelaran “Semikolon (;)” ini dihadiri oleh kurang lebih 425 penonton dengan melibatkan sebanyak 55 kru. Davina juga turut memberikan pesannya, “… terima kasih telah berjalan bersama kami, terima kasih telah menjadi saksi bahwa dalam jeda yang paling sunyi pun, harapan masih bisa tumbuh. Ingat-ingat, ini bukan akhir!” ujarnya. 

Baca juga: Pergelaran ASASIASU: Ketika Asa Menggonggong

Teater ini menggunakan istilah tanda baca titik koma (;), yaitu semikolon sebagai judul dari pergelarannya. Salah selaku Sutradara, Muhammad Rafly Firmansyah, menjelaskan bahwa istilah semikolon dipilih untuk menjadi judul karena terinspirasi alur cerita semua tokoh yang memilih untuk tetap menjalankan hidupnya dengan berbekal harapan meskipun sebelumnya mereka kehilangan arah.

“Hal itu selaras dengan tanda semikolon, yakni titik dan koma yang biasanya digunakan sebagai tanda pemisah antara dua hal. Dalam konteks drama ini, dua hal itu adalah menyerah atau bertahan,” ujarnya

Makna dari judul “Semikolon (;)” juga dijelaskan dalam salah satu kutipan dialog di naskah tokoh Mahira.

“Semikolon itu sebenarnya sebuah tanda baca: titik koma. Kayak titik koma di sebuah kalimat, orang-orang itu mungkin udah ada di titik putus asa, di mana mereka pengen mengakhiri hidup; tetapi mereka memilih untuk melanjutkannya.”

Melalui kutipan dialog tersebut, makna dari teater ini sudah tergambar cukup jelas bahwa tokoh utama dalam keempat naskah ini mengalami kepahitan hidup yang serupa, yaitu rasa ingin berhenti dari hidup. Namun, mereka memilih terus berjalan meski petunjuk arahnya telah hilang. Mereka menyadari bahwa ini bukan akhir, ini hanyalah jeda bagi mereka untuk mengumpulkan harapan kembali.

Menelisik Makna Kehilangan dalam Keempat Naskah Semikolon (;)
Ahmad (Ayah Sajani) dan Sajani dalam Semikolon (;), 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Naskah pertama bercerita tentang Sajani yang kehilangan Ayahnya sebelum ia meraih gelar sarjana. Cerita hidup Sajani ini ditulis oleh Rofi Nurrohmah dan disutradarai oleh Siti Nurani Fatimah. Adegan naskah satu dibuat sangat mengharukan dengan mengaitkan antara realita dan mimpi.

Nugraha (Ayah Mahira) dan Mahira dalam Semikolon (;), 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Kisah dengan taburan takdir yang pahit ini juga dirasakan oleh Mahira, pencinta sastra yang tidak mendapatkan dukungan dari Ayahnya. Naskah kedua tentang hidup Mahira ini ditulis oleh Haniefa Nurul Izzaty dan disutradarai oleh Rafli Permana. 

Muklas (Ayah Kila) dan Kila dalam Semikolon (;), 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Tak kalah memilukan, perjalanan hidup yang dialami oleh Kila dalam mencari untaian kasih sayang dan perhatian seorang Ayah dipertunjukkan dengan eksplorasi emosional tokoh Kila yang kuat dan tajam. Membawa penonton turut merasakan luka-luka batin yang tersembunyi di balik sikap murung dan pandangan tokoh Kila yang kosong.

“Aku mau jadi elang. Punya sayap yang lebar membentang. Bebas melayang.”

Kutipan dialog dari tokoh Kila.
Baca juga: Empat Kaki Baik, Dua Kaki Jahat: Simbol Kritik Kekuasaan dalam Rajas Tamas

Zian Fathan, salah selaku penonton, berpendapat bahwa amarah meledak dari tokoh Kila sangat menunjukkan simbol perlawanan terhadap stigma patriarki bahwa seorang anak perempuan harus selalu menuruti perintah laki-laki tanpa mendapatkan ruang untuk bebas melakukan semua hal sesuai keinginannya. 

Rama dan Asmara dalam Semikolon (;), 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Selain menampilkan ketiga naskah di atas, drama “Semikolon (;)” juga membawa kisah pilu dari Asmara dan Rama yang ditulis oleh Maharani Intan Phitaloka dan disutradarai oleh Muhammad Rafly Firmansyah. Adegan keempat ini menjadi titik balik emosional dari keseluruhan naskah. Kisah romansa antara Asmara dan Rama menjadi bukti nyata bahwa bentuk pelarian dari putus asa bukan hanya berupa pengakhiran hidup. Namun, cinta juga bisa menjadi ruang untuk persembunyian terakhir. 

Keabadian Cinta dalam Kisah Asmara dan Rama

Naskah keempat diawali dengan kedatangan Rama membawa serangkai bunga kerenyam ungu untuk menjadi saksi dari keabadian cintanya bersama Asmara. Asmara menerimanya dengan binar bahagia, tanpa tahu bahwa bunga ini adalah bunga terakhir yang akan diterimanya.

“Mau enggak kalau kita tanam bunga ini sebagai simbol dari cinta kita?”

Bagi saya kalimat ini penuh makna. Sampai timbul pertanyaan “kira-kira apa, ya, filosofi dari bunga kerenyam?” karena bunga kerenyam begitu asing di telinga saya. Rafly selaku sutradara menjelaskan bahwa bunga kerenyam dipilih sebagai simbol dari cinta yang abadi karena bunga ini bisa tumbuh kembali apabila dicabut sampai akarnya. “Untuk itu, keabadian cinta Rama tersimbol lewat bunga kerenyam ini,” jelasnya. 

Baca juga: Bumi Owah: Kehancuran Alam Akibat Pejabat Negeri

Adegan pertemuan mereka ternyata mengantarkan kepergian Rama untuk sepanjang waktu. Lagi-lagi, Asmara hanya bisa menangisi semua takdir buruk yang selalu mengitari lingkaran hidupnya setelah kepergian Ayahnya dan Rama. Kini semua orang pergi meninggalkan dia sendirian.

Pasca kematian Rama, adegan selanjutnya menampilkan Asmara yang masih tidak percaya akan kematian Rama. Asmara masih melakukan aktivitasnya dengan sering mengobrol melalui telepon bersama Rama, seolah-olah Rama masih hidup. Gangguan mental Asmara digambarkan semakin terpuruk melalui adegan Asmara menjerit histeris seraya memanggil Ayahnya dan Rama dengan durasi yang cukup panjang. 

Sutradara “Semikolon (;)”, Rafly, menjelaskan bahwa gangguan mental yang ditampilkan oleh tokoh Asmara merupakan gambaran dari gejala penyakit mental skizofrenia. “Ide ini berangkat dari hasil riset yang kita lakukan dan menemukan bahwa pengidap skizofrenia ini cukup darurat di Indonesia dan rata-rata latar belakang penderitanya disebabkan oleh rasa kehilangan,” jelasnya.

Sementara itu, penulis naskah, Maharani menyebut bahwa nama Rama diserap melalui budaya Jawa yang digunakan untuk menyebutkan seorang Ayah. “Jadi, pilihan nama Rama ini sebagai simbol bahwa tokoh Asmara bisa kembali merasakan kehadiran sosok Ayah melalui tokoh Rama,” ujarnya. 

Akhir yang Bukan Akhir
Penutupan Semikolon (;), Rabu, 28 Mei 2025. (Foto: Adikimoera)

Teater “Semikolon (;)” ditutup dengan adegan musikal. Adegan ini melibatkan semua aktor naik ke panggung seraya bernyanyi bersama. Nyanyian bahagia yang menandakan bahwa segala kepahitan yang takdir berikan bukanlah sebagai akhir dari kehidupan. Sorak sorai dan tepuk tangan meriah dari penonton mewakili perasaan puas dengan pertunjukkan yang disuguhkan.

Salah satu tepukan tangan itu berasal dari Fariel Vernain. Ia turut memberikan kesannya setelah menyaksikan, “ini bukan cuma drama sih, tapi kolaborasi naskah yang padu dan keren!”. Penonton lainnya, Vani Abdul, mengatakan, “semikolon (;) adalah bukti bahwa hidup terus berputar dan pahit bukan akhir dari kisah.” 

Semikolon (;)” dan semua tokoh yang membangun pergelaran ini menjadi hidup adalah sebuah cerminan dari jiwa-jiwa yang terus berjalan meski rapuh dan nyaris menyerah.

Penulis: Jovita Dwi Swistika Murti

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Mitomania: Ketika Kejujuran Terlalu Menyakitkan