“Manusia lahir dari rahim Ibu dan begitulah perempuan dekat dengan kehidupan.”
Neny Agustina Adamuka, networking staff The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, berkesempatan menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Talk The Peace: Perempuan dan Keberagaman sebagai bagian dari Peacetival 7.0 yang diadakan PeaceGeneration Indonesia pada Sabtu (9/11) lalu.
Peacetival 7.0 adalah salah satu inisiatif PeaceGen Indonesia yang telah menjadi social enterprise di bidang Pendidikan Perdamaian sejak 2007. Dengan melibatkan perempuan sebagai bagian dari agen perdamaian, kegiatan yang berlangsung dalam beberapa sesi ini menghadirkan ruang yang aman bagi peserta untuk menyuarakan pendapatnya.
Perempuan melahirkan kehidupan dan berpotensi besar untuk mempertahankan kehidupan. Begitulah perempuan menjadi penting untuk dilibatkan dalam upaya pembangunan perdamaian. Memberdayakan perempuan sama dengan membentuk komunitas dan hal tersebut memberikan perempuan peluang untuk turut memberdayakan masyarakat dan keluarganya.
“Keberagaman itu niscaya, namun konflik itu pilihan. Kita butuh pendekatan yang memanusiakan. Di AMAN sendiri, metode Reflective Structured Dialogue (RSD) sudah digunakan, seperti dalam program Indonesia Berdialog,” ujar Neny dalam sesi pertama pematerian.
Gerakan Akar Rumput Perempuan
Konflik berbasis agama dan gender sudah cukup marak terjadi di Indonesia. Mulai dari pelarangan penggunaan rumah ibadah, ekstremisme kekerasan, hingga isu ulama perempuan lintas mazhab.
Menyambung permasalahan-permasalahan tersebut, Neng Hannah, pegiat dari Fatayat Nahdlatul Ulama, berbagi pendapatnya mengenai gerakan akar rumput perempuan dalam membangun harmoni di Jawa Barat.
Baca juga: Kode Etik sebagai Penjamin Mutu Jurnalisme
“Disebut gerakan akar rumput karena gerakan ini punya ranting-ranting hingga ke tingkat desa dan memberdayakan masyarakat di desa,” tutur Neng Hannah.
Menurutnya, ada tiga alasan mendasar yang membuat pembangunan harmoni menjadi begitu penting. Pertama, hadirnya konflik berbasis agama. Kedua, kurangnya ruang antaragama. Ketiga, tingginya tingkat prejudice.
“Interfaith dialogue bisa dilakukan sebagai media berbincang lintas iman. Dialog bisa di-setting dengan metode RSD,” Neng Hannah menambahkan.
RSD tidak semata-mata dilakukan dengan cara mengajak masyarakat duduk kemudian berbincang. Metode ini melibatkan proses yang cukup kompleks mulai dari persiapan pra-dialog. Tahapan pengondisian tentu menjadi tantangan bagi fasilitator dan pihak-pihak yang terlibat dalam prosesnya karena perasaan aman dan nyaman menjadi faktor pendukung yang kuat untuk keberhasilan RSD.
Merajut Kesetaraan melalui Dialog
“Acara ini bagus banget karena berupaya merangkul anak-anak muda untuk punya kesadaran bahwa kesetaraan gender itu perlu digaungkan. Aku sendiri punya keresahan tentang bagaimana cara aku bisa memahami dan tau sudut pandang perempuan lewat berdialog. Di awal sesi, panitia ngasih kesempatan supaya peserta laki-laki dan perempuan bisa berdiskusi. Itu bikin perasaanku seneng bisa tukar pikiran secara langsung dengan perempuan,” Saddam, salah satu peserta Talk The Peace, memberikan tanggapannya di akhir kegiatan.
Baca juga: Potret Kesejahteraan Guru Honorer Saat Ini
Kegiatan yang berlangsung selama dua jam ini memberikan para peserta kesempatan untuk berbincang-bincang dengan narasumber melalui forum diskusi satu termin. Rasa penasaran dan keresahan menuntun mereka untuk bersuara dan belajar memahami pentingnya keterlibatan perempuan dalam upaya menjembatani keberagaman.
“Siapapun bisa menyuarakan perdamaian, terlepas dari gender, posisi, ataupun profesinya,” senior trainer Peacegen, Ernawati, menekankan bahwa PeaceGen berupaya mengadopsi pendekatan yang inklusif pada setiap programnnya.
Melalui inisiatifnya, Peacegen berhasil menunjukkan adanya pendekatan yang inklusif, intim, dan terasa festive secara bersamaan agar masyarakat dapat mengenal Pendidikan Perdamaian. Dengan melibatkan perempuan sebagai mitra sejajar, perempuan dapat ikut serta menciptakan ekosistem yang kondusif bagi tumbuhnya pemahaman, empati, dan rasa saling menghormati pengalaman otentik dari berbagai individu di masyarakat.
Perdamaian lahir dari perbedaan dan begitulah dialog menjembatani keberagaman.
Penulis: Dine Hasya Dwifa
Editor: Nabilla Putri Nurafifah