Berbicara tentang dunia pendidikan, terutama kampus, memang tidak ada habisnya. Banyak sekali hal yang bisa dibicarakan, seperti fasilitas kampus, biaya UKT, sistem pendidikan, juga tikus-tikus kecil bernama joki tugas.
Rasanya sah-sah saja menyebutnya sebagai tikus kecil. Toh, mereka juga sama-sama menggunakan cara curang untuk meraih kekayaan, terlepas dari cerobohnya pelanggan yang memintanya. Mungkin ini bukan sekadar bodoh atau pintar seorang pelanggan—meski faktor tersebut pasti memengaruhi sedikit banyaknya alasan menggunakan jasa joki tugas.
Mari berpandangan secara positif terlebih dahulu sebelum mengobrak-abrik tindakan amoral ini. Barangkali orang-orang yang menggunakan jasa joki tugas tidak memiliki waktu yang cukup karena bekerja, merawat orang tua, atau hal-hal esensial lainnya. Akhirnya, uang adalah solusi yang bisa memenangkan kedua belah pihak; penjoki dan pengguna jasanya.
Mahasiswa Bodoh atau Ceroboh?
Seperti yang telah disampaikan di pembukaan, mungkin ini bukan sekadar perkara siapa yang bodoh. Masih banyak alasan lain seseorang menggunakan jasa joki tugas. Namun, jauh dari itu, lebih dalam lagi, ini adalah tentang kemauan dan integritas yang dipertaruhkan.
Para pelanggan jasa joki tugas mungkin tidak sebodoh itu. Jika mau, mereka bisa saja lebih pintar daripada si penjoki itu sendiri. Pertanyaannya, apakah mereka mau untuk menjadi pintar? Sepertinya tidak. Bagi mereka, angka-angka adalah raja—sesuatu yang layak disembah dan diagungkan, sekalipun tangan yang menengadah adalah tangan penjoki.
Kecerobohan mahasiswa menggunakan jasa joki tugas perlahan berubah menjadi budaya. Mungkin lain kali bisa didaftarkan ke UNESCO. Bagaimana tidak? Setiap tahun, setiap angkatan, setiap program studi, atau bahkan setiap kelas, hampir selalu ada satu orang penjoki dan pengguna jasanya.
Baca Juga: FOPO Bisa Membegal Potensi Kamu – Literat
Joki Murah Bikin Tergugah
Barangkali salah satu alasan menggunakan jasa joki tugas adalah karena harganya yang terjangkau (bagi beberapa orang). Berdasarkan data dari Databoks, mayoritas responden mengeluarkan biaya kurang dari Rp100.000 untuk menggunakan jasa joki.
Sumber: Databoks
Padahal di era sekarang sudah banyak bermunculan AI (Artificial Intelligence) yang bisa digunakan, bahkan hanya perlu memberikan perintah sedikit saja untuk menyulap selembar kertas kosong berisi pertanyaan menjadi penuh dengan jawaban. Adanya AI seharusnya bisa membuat mahasiswa-mahasiswa ceroboh ini berpikir ulang untuk tidak mengeluarkan uang. Namun, mereka bahkan tidak mau berusaha ‘sedikit’ saja untuk berpikir.
Ironisnya, tidak ada jaminan bahwa penjoki yang mereka hire pun tidak menggunakan AI. Bisa jadi si penjoki sendiri tidak menggunakan kemampuan nalarnya 100% untuk mengerjakan berbagai pesanan. Mereka mungkin hanya mengandalkan tools canggih, lalu menjualnya kembali dengan harga mahal kepada mahasiswa yang malas berpikir.
Lalu, siapa yang lebih bertanggung jawab? Mahasiswa yang memilih jalan pintas, penjoki yang memanfaatkan situasi, atau sistem pendidikan yang menciptakan tekanan berlebihan? Atau mungkin, keduanya sama-sama terjebak dalam lingkaran setan bernama kemalasan dan ketidakjujuran.
Yang jelas, ini bukan lagi sekadar masalah bodoh atau ceroboh. Ini adalah masalah karakter dan tanggung jawab. Ketika seseorang lebih memilih membayar daripada berusaha, itu merupakan pertanda bahwa mereka tidak hanya kehilangan kesempatan untuk belajar, tetapi juga kehilangan kesempatan untuk tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.
Joki Kaya Berlimpah Harta
Selain mahasiswa, ada pihak lain yang diuntungkan dari fenomena ini: para penjoki tugas. Hubungan antara penjoki dan pelanggannya adalah hubungan simbiosis mutualisme. Keduanya saling menguntungkan satu sama lain. Mereka sama-sama menukar angka, tapi dalam bentuk yang berbeda. Penjoki bisa mematok tarif suka-suka, tetapi harus tetap bersaing dengan penjoki lainnya. Alasannya? Tentu agar pelanggan tidak menyebrang ke toko lain.
Meski meraup keuntungan yang bisa jadi kecil, tetapi bisa jadi juga besar, penjoki dihadapkan pada sebuah kegelisahan akibat tindakan amoralnya tersebut. Sebuah tindakan yang mencederai sistem pendidikan di Indonesia—meskipun tanpa dicederai, sistem tersebut sudah membusuk sedari lama. Seharusnya, tidak ada penjoki yang tenang dan tidak merasa bersalah, kecuali hatinya memang telah mati dan mungkin lupa kapan terakhir kali ia memakai nuraninya.
Namun, realitanya banyak dari mereka justru merasa bangga. Mereka melihat diri mereka sebagai ‘pahlawan’ bagi mahasiswa yang terjebak dalam tekanan akademik. Padahal yang mereka lakukan hanyalah memperpanjang rantai kemalasan, kebohongan, dan ketidakjujuran. Mereka menjual mimpi instan, tetapi yang sebenarnya mereka jual adalah kehancuran karakter dan masa depan.
Bagaimana tidak? Mereka ikut membentuk generasi yang terbiasa mengambil jalan pintas, tidak menghargai proses belajar, dan menganggap semua bisa dibeli dengan uang. Mereka mungkin sukses secara finansial, tetapi tindakannya mengabaikan aspek moral dan integritas.
Baca Juga: Hari Sarjana Nasional: Ketika Pendidikan Tinggi Menemui Tantangan Pasar Kerja – Literat
Tidak Tahu Malu
Mirisnya, fenomena ini telah dianggap wajar, bahkan dipromosikan secara terbuka, sementara penggunanya seolah tidak merasa bersalah. Bagaimana bisa sebuah kecurangan didiamkan, bahkan di-“aamiin”-i bersama keabsahannya.
Alih-alih merasa malu, mereka justru bangga memamerkan ‘keberhasilan’ mendapatkan nilai tinggi tanpa usaha. Padahal di balik nilai tersebut, tidak ada proses belajar, tidak ada perjuangan, dan yang ada hanyalah ilusi yang dibungkus kemenangan.
Lebih parah lagi, para pelaku joki tugas ini sering kali membanggakan ‘keahlian’ mereka dalam mengelabui sistem pendidikan. Tidak jarang, mereka bahkan mempromosikan layanan mereka secara terbuka di media sosial seolah-olah ini adalah bisnis yang sah dan terhormat.
Mereka menawarkan ‘solusi cepat’ tanpa memedulikan dampaknya. Mereka merasa pintar karena menghasilkan uang dari kemalasan orang lain, tetapi lupa bahwa mereka merusak integritas akademik dan moral generasi muda.
Sistem Pendidikan yang Tidak Akan Pernah Berhasil
Setiap negara memiliki sistem pendidikannya tersendiri. Tentu hal tersebut disesuaikan dengan berbagai variabel agar bisa relevan dengan masyarakatnya. Namun, munculnya para tikus kecil ini setidaknya ‘memukul’ berkali-kali sistem pendidikan yang coba dibangun di Indonesia. Terlepas dari buruk baiknya sistem tersebut, adanya penjoki ini benar-benar menjadi ‘hama’ yang tidak bisa diremehkan.
Lebih jauh lagi, ketika sistem pendidikan yang (mungkin) suatu saat nanti terkelola dengan baik, adanya ‘hama’ ini perlahan akan terus menggerogoti dan meruntuhkan sistem tersebut.
Bagaimana tidak, mahasiswa yang menggunakan jasa joki tugas menyalahgunakan sistem pendidikan dengan cara menipu dosen dan institusi untuk mendapatkan nilai yang tidak mereka usahakan sendiri. Hal ini mirip dengan korupsi di tingkat pemerintahan, seperti pejabat yang menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi.
Lucunya, orang-orang selalu menyuarakan tentang korupsi di pemerintahan, tetapi lupa memotong akar dari korupsi tersebut yang bisa jadi berawal dari kesalahan major, seperti adanya joki tugas. Artinya, jika tidak segera menghentikan kebiasaan ini, “korupsi akademik” hanya akan terus melahirkan koruptor-koruptor baru di masa depan.
Pertanyaannya, sampai kapan kita akan membiarkan para “penjahat berjas akademik” ini terus merasa bebas melakukan kecurangan? Kapan orang-orang akan menyadari bahwa keuntungan sesaat yang mereka peroleh tidak sebanding dengan kerusakan yang telah dan akan terus mereka timbulkan?
Coba bayangkan jika dokter, insinyur, atau pendidik yang menangani hidup orang lain adalah hasil dari joki tugas. Berapa banyak nyawa dan masa depan yang akan dipertaruhkan hanya karena terus-menerus membiarkan kecurangan ‘sampah’ ini?
Akhir Kata
Tulisan ini mungkin tidak akan menghentikan seseorang menjadi penjoki atau menggunakan layanan penyedia joki tugas. Namun, setidaknya ini bisa menjadi pengingat bagi bahwa pendidikan bukan sekadar tentang nilai, tetapi tentang proses belajar dan pembentukan karakter.
Setiap kali memilih untuk curang, bukan hanya menipu sistem, tetapi juga menipu diri sendiri, bahkan kehilangan kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Pada akhirnya, nilai tinggi yang didapatkan dengan cara instan tidak akan pernah bisa menggantikan pengetahuan dan integritas yang seharusnya dimiliki.
Baca Juga: Mengatasi, bukan Menghindari Konflik – Literat
Penulis: Hilmi Aziz Rakhmatullah
Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar