Ribuan siswa keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG). Investigasi BGN tunjukkan masalah serius pada higienitas dapur penyedia makanan.

Makan Bergizi Gratis: Katanya Bergizi, Faktanya Kok Beracun?


Pada tanggal 6 Januari 2025, Pemerintah Indonesia secara resmi meluncurkan program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ini merupakan langkah nyata untuk meningkatkan gizi anak usia sekolah dan mencegah risiko stunting sejak dini. Program ini semula menjadi harapan besar dalam memperbaiki gizi anak Indonesia. Namun, implementasi di lapangan berkata sebaliknya. Hanya dalam periode Januari-September 2025, Badan Gizi Nasional (BGN) mencatat 6.457 kasus keracunan massal di berbagai daerah. Mayoritas menimpa murid-murid di wilayah Pulau Jawa.

Hasil investigasi BGN mengungkapkan penyebab terjadinya keracunan, yakni bahan baku yang tidak memenuhi standar dan lemahnya higienitas dapur pengelola MBG. Misalnya, kasus keracunan yang menimpa 400 pelajar di Tasikmalaya disebabkan oleh bakteri Bacillus subtilis yang terdapat pada menu ayam teriyaki. Ditemukan pula jamur Candida Tropicalis pada makanan di Bogor, Jawa Barat. Sementara itu, kasus keracunan paling parah terjadi akhir-akhir ini di Kabupaten Bandung Barat. Sebanyak 842 siswa di Desa Cipongkor mengalami keracunan. Ini disebabkan oleh kelalaian dapur penyedia makanan yang mengakibatkan makanan basi saat tahap pendistribusian.

Kepala BGN: SPPG Tidak Mematuhi SOP yang Ada

Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan, mayoritas keracunan yang meningkat dalam dua bulan terakhir bersinggungan dengan dapur penyedia makanan yang tidak mengindahkan peraturan yang ditetapkan. Dadan menyebutkan, beberapa dapur penyedia MBG melanggar peraturan, seperti penyediaan bahan baku yang terlampau lama hingga proses masak sampai pendistribusian yang bermasalah.

“Kita bisa identifikasi kejadian itu (keracunan) rata-rata karena SOP yang ditetapkan tidak dipatuhi dengan seksama. Contohnya, pembelian bahan baku yang harusnya H-2 ada yang beli H-4. Ada yang ditetapkan proses masak hingga delivery tidak lebih dari 6 jam karena optimalnya 4 jam,” ujar Dadan dalam Rapat Kerja DPR (1/10/2025).

Seorang ahli bahasa, Theo van Leeuwen dalam buku Discourse and Practice (2008) menyatakan, bahwa bahasa bukan hanya sebagai informasi. Bahasa mewakili dunia sosial termasuk bagaimana orang atau kelompok ditampilkan atau disembunyikan. Teori Van Leeuwen ini sejalan dengan upaya untuk menutup-nutupi kesalahan sistematis melalui pengaburan pelaku dengan menyalahkan kelompok tertentu, yaitu penyedia MBG.

Kutipan Dadan, “karena SOP yang ditetapkan tidak dipatuhi dengan seksama,” dilakukan untuk mengaburkan aktor pelaku dengan tidak menyebutkan secara eksplisit. Terlihat pula upaya menggeser fokus dari “siapa yang bersalah?” menjadi “apa yang salah?” kejadian ini sejalan dengan teori Theo Van Leeuwen, yaitu Backgrounding.

Backgrounding sendiri merupakan istilah dari penghapusan bertahap atau menyamarkan aktor sosial yang disebut sekilas kemudian dihilangkan dari pembahasan selanjutnya dalam teks. Sejalan dengan itu, pernyataan ketua BGN di atas merupakan upaya mengalihkan tanggung jawab pihak-pihak yang bersangkutan.

Selain itu, penggunaan backgrounding juga terdapat di kutipan “… pembelian bahan baku yang harusnya H-2 ada yang beli H-4…” penggunaan kata “ada yang” mengakui kehadiran pelaku akan tetapi menyembunyikan identitas pelaku tersebut yang berefek mengaburkan tanggung jawab dari pelaku itu sendiri. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa kejadian keracunan massal yang menimpa pengonsumsi MBG sebagai sebuah masalah teknis prosedural yang menyalahkan sebuah individu atau kelompok kecil, bukan kesalahan kebijakan atau pengawasan secara sistematis.

Baca juga: Lebih dari Sekadar Game: Roblox dan Ruang Sosial Baru di Dunia Digital

Bukan Hanya Individu, Ini Kesalahan Sistemik

Fenomena keracunan yang disebabkan oleh program MBG menurut Dadan selaku ketua Badan Gizi Nasional (BGN) bukan sebuah kesalahan sistemik melainkan kesalahan kelompok yang tidak mematuhi aturan yang diberikan. Pernyataan tersebut terkesan memberikan tanggung jawab hanya pada satu pihak, yaitu dapur sebagai penyedia makanan bergizi.

Hal ini sesuai dengan teori Theo Van Leeuwen terkait inklusi. Pada bagian indetermination yang menyatakan aktor sosial tidak diidentifikasi secara pasti, identitasnya disamarkan dengan maksud untuk melindungi pelaku lari dari tanggung jawab langsung dan menjaga reputasi.

Padahal, berdasarkan data 22 September 2025, hanya terdapat 34 dari total 8.583 dapur, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang memenuhi persyaratan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Sangat sedikitnya dapur SPPG yang mengantongi izin SLHS membuka fakta bahwa kejadian keracunan yang menimpa sekolah-sekolah merupakan kesalahan secara sistem. Padahal kepemilikan SLHS dari dinas kesehatan setempat merupakan syarat mutlak sebelum mendirikan SPPG sebagai dapur penyedia makanan MBG.

Pembiaran ini yang diduga kuat menjadi penyebab keracunan bagi pengonsumsi Makan Bergizi Gratis (MBG). Karena, salah satu penyebab utama keracunan adalah higienitas makanan yang disajikan. Selain itu, meloloskan SPPG yang belum memiliki fasilitas yang memadai akan berdampak pada prosesi masak hingga dilakukannya pendistribusian ke sekolah-sekolah. Jika makanan terlalu lama dalam proses ini maka akan menyebabkan basi ketika disajikan.

Akibat kelalaian ini, makanan yang diharapkan mampu menjadi sumber gizi dan menekan angka stunting justru menjadi masalah kesehatan baru. Fakta ini membeberkan lemahnya sistem Program Makan Bergizi Gratis (MBG). Evaluasi total perlu dilakukan segera untuk mencegah kasus yang terus meningkat.

Tuntutan Evaluasi Total

Fenomena keracunan massal yang terjadi di sekolah-sekolah berbagai kota menunjukkan kegagalan sistem sanitasi di dapur penyedia makanan dan cacatnya pendistribusian yang dilakukan. Kejadian ini menjadi kekhawatiran nasional terkait keamanan dan standarisasi makanan yang disajikan. Pemberhentian sementara program untuk melakukan audit secara menyeluruh dan memastikan kelayakan dapur penyedia makanan harus segera dilakukan.

Selain itu, pemerintah juga perlu menerapkan standarisasi dapur penyedia makanan MBG agar sesuai dengan standar Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP). Ini bertujuan untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengendalikan potensi bahaya dalam setiap proses produksi makanan, mulai dari bahan baku hingga pendistribusian. Selanjutnya, perlu kehadiran secara aktif pemerintah untuk melakukan pelatihan terhadap tenaga dapur. Pelatihan tersebut mencakup persoalan sanitasi, bahan baku, penyimpanan, dan distribusi yang dilakukan.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diharapkan mampu meningkatkan gizi dan menurunkan angka stunting justru menjadi ancaman kesehatan baru. Lemahnya kontrol, perencanaan yang kurang matang, hingga cacatnya implementasi di lapangan menjadi bukti ketidakhadiran sistem yang mampu menjadi pemimpin pada program ini. Sehingga pemerintah harus memainkan peran sebagai pengawas yang transparan untuk membentuk sistem yang kuat dan pembentukan standar pangan yang sesuai.

Penulis: Dicky Satria Pratama
Editor: Allysa Maulia Rahman

Baca juga: Sinaugurasi Hima Satrasia 2025: Langkah Awal Mengenal Sastra dan Membangun Kolektif