Setiap 25 November, dunia memulai rangkaian enam belas hari yang tidak pernah kehilangan urgensinya. Periode untuk mengingat, menggugat, dan menuntut dunia agar berhenti menormalisasi kekerasan terhadap perempuan. 25 November hingga 10 Desember bukan sekadar momentum kampanye tahunan, melainkan ruang refleksi. Periode tersebut mendesak kita untuk melihat bahwa kekerasan itu nyata, dekat, dan sering kali terjadi di tempat yang tidak terduga.
Kekerasan di Ruang Akademik
Kampus adalah salah satu ruang yang memuat paradoks bahwa kekerasan dapat terjadi di ruang yang tidak terduga. Tempat yang seharusnya menjadi arena tumbuhnya gagasan, rumah bagi pengetahuan, dan kebebasan intelektual. Namun, dibalik semua itu tersimpan kisah-kisah pilu yang tidak pernah dimasukkan ke kurikulum.
Dibalik keriuhan akademik, ada perempuan-perempuan muda yang memikul beban yang tidak seharusnya menjadi bagian dari pengalaman belajar mereka. Sebagian memilih memutar arah ketika melihat sosok tertentu di koridor. Sebagian ada yang memilih menghapus pesan bernada seksual dari seseorang yang memegang otoritas akademik. Ada pula yang terus tersenyum demi menjaga citra meski sedang terjebak dalam hubungan berlapis kekerasan dan manipulasi emosional. Mereka memilih jalan tersebut karena merasa tidak punya ruang aman untuk melapor.
Semua itu terjadi bukan karena kampus kekurangan aturan. Namun, karena budaya yang mengelilinginya masih terlalu ramah pada pelaku dan terlalu keras pada penyintas. Normalisasi candaan seksis, pengabaian terhadap komentar catcalling, dan pembiaran terhadap relasi kuasa yang timpang. Hal tersebut membuat banyak perempuan merasa bahwa diam lebih aman daripada bicara.
Angka yang Menunjukkan Kekerasan Kian Meningkat
Data nasional menguatkan bahwa situasi saat ini bukan sekadar fenomena individu. Berdasarkan SIMFONI PPA, sejak 1 Januari 2025 hingga hari ini, tercatat 28.456 kasus kekerasan, dan 24.287 di antara korbannya adalah perempuan. Data Risalah Tahunan 2024 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) meninjau dari jenis kelamin. Hasilnya mayoritas pelaku kekerasan seksual berjenis kelamin laki-laki, sedangkan sebagian besar korban adalah perempuan.
Dari total pelaku yang tercatat, 58 orang (80%) berjenis kelamin laki-laki, 3 orang (4%) perempuan. Sementara 13 laporan tidak memuat keterangan jenis kelamin karena pelaku anonim. Di sisi korban, 69 laporan (87%) menimpa perempuan, delapan laporan melibatkan korban laki-laki, dan dua laporan bersifat kolektif. Angka ini bukan sekadar data, melainkan suara-suara yang tertahan, keberanian yang tertunda, dan rasa takut yang sering dianggap biasa. Kekerasan itu bukan hanya meningkat, ia bertransformasi mengikuti teknologi, ruang sosial, dan budaya yang mengizinkannya tumbuh.
Dalam lanskap kampus, kerentanan itu tampak dalam berbagai bentuk. Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KSBE) menyebar cepat melalui ponsel yang merenggut kendali atas privasi dan rasa aman. Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) yang merusak rasa aman tanpa sentuhan fisik tapi meninggalkan kengerian yang membekas. Sementara itu, tekanan psikologis dari senioritas dan struktur akademik yang memungkinkan relasi kuasa bekerja lebih liar daripada yang kita kira.
Baca Juga: Jejak Tiga Luka: Dilema Seorang Sarjana Perempuan
GREAT UPI Turut Berperan
Upaya pencegahan dan penanganan kekerasan turut digerakkan oleh Gender Research Student Center (GREAT) UPI. Ketua GREAT UPI, Gita, menyampaikan bahwa ada berbagai macam bentuk kekerasan yang kerap terjadi dan luput dari perhatian. Diantaranya ada kekerasan seksual, kekerasan dalam pacaran, kekerasan berbasis gender yang acap kali dianggap sebagai permasalahan pribadi. Ada pula kekerasan dari larangan kebebasan berekspresi, kekerasan ke disabilitas, dan kekerasan yang bentuknya dari ekonomi. Dari berbagai kasus kekerasan di atas, perempuan kerap kali menghadapi bentuk kekerasan yang berlapis.
Menurut Gita, kekerasan di lingkungan pendidikan tidak berdiri sendiri.“Kasus-kasus itu selalu terkait dengan budaya, relasi kuasa, dan minimnya pemahaman tentang consent,” ujarnya.
Sulitnya keluar dari lingkaran toxic, takut oleh stigma masyarakat, dan ketidakberdayaan penyintas menjadi tantangan terbesar bagi penyintas kekerasan. Penyintas menjadi ragu dan takut ketika ingin melapor atau mencari bantuan perlindungan di kampus. GREAT UPI secara aktif melakukan edukasi, pendampingan, dan kampanye kesadaran publik selama 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP).
Gita menegaskan pentingnya peran seluruh civitas akademika kampus.
“Semua orang punya andil untuk menciptakan ruang aman, semua orang punya andil membentuk budaya yang tidak menormalisasikan kekerasan,” katanya.
Menegaskan Komitmen Kampus Sebagai Ruang Aman
Pada akhirnya, kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi ruang sosial tempat nilai-nilai dibentuk. Selama kekerasan masih dianggap ‘risiko kecil’ dari dinamika pergaulan. Selama catcalling masih dianggap bercanda dan selama relasi kuasa masih dianggap hal biasa. Maka, selama itu pula kampus tidak pernah benar-benar berperan sebagai ruang aman.
Enam belas hari peringatan ini adalah ajakan untuk berhenti menutup mata dan berhenti membiarkan diam menjadi kebiasaan. Termasuk berhenti menganggap bahwa kekerasan hanyalah sesuatu yang terjadi pada orang lain. Peringatan bahwa ruang aman harus diperjuangkan dan dibangun sedikit demi sedikit. Di mulai dengan keberanian untuk menegur, keberanian untuk mendengar, dan keberanian untuk percaya pada suara perempuan.
Kita tidak bisa mengatur arah angin, tetapi kita bisa menentukan ke mana layar keberanian ini bermuara. Pada 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, arah ini kembali difokuskan pada satu tujuan, yaitu memastikan bahwa setiap perempuan berhak bebas dari kekerasan dan hidup tanpa ketakutan.
Penulis: Adinda Anyelir
Editor: Valda Febrianti




