Di tengah tingginya angka pengangguran, mencari pekerjaan menjadi perjuangan bagi banyak rakyat sipil. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024 angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang, dengan tingkat pengangguran terbuka (TPT) 4,91%. Ironisnya, lulusan perguruan tinggi menjadi salah satu penyumbang pengangguran terbanyak.
Jika meritokrasi benar-benar dijunjung tinggi maka seharusnya setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan. Namun, dengan pengesahan RUU TNI ini, pemerintah justru semakin menegaskan bahwa ada kelompok yang diistimewakan, sedangkan rakyat biasa harus terus berjuang sendirian.
Namun, di sisi lain, dengan disahkannya Revisi Undang-Undang (RUU) TNI, prajurit aktif kini bisa menjabat di 16 kementerian dan lembaga sipil tanpa harus bersaing seperti rakyat biasa. Sementara itu, sarjana harus mengirim ratusan lamaran, mengikuti tes, dan bersaing dengan ribuan orang. Jalur karier bagi militer justru dipermudah melalui kebijakan ini.
Dalih Geopolitik dan Perkembangan Teknologi: Alasan yang Tidak Relevan?
Dalam Rapat Kerja Komisi I DPR RI pada 11 Maret 2025, Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsoeddin, menyatakan bahwa keterlibatan TNI dalam jabatan sipil diperlukan karena kondisi geopolitik serta perkembangan teknologi global. Pernyataan ini tentu menarik untuk dikritisi.
Baca juga: Ojol Korban Brutalisme Aparat: Hukum Melindungi Siapa?
Apakah kondisi geopolitik memang menuntut keterlibatan militer di birokrasi sipil? Jika ancaman global yang dimaksud adalah serangan siber atau perang teknologi, mengapa bukan ahli teknologi atau ilmuwan yang direkrut? Justru, mengisi birokrasi dengan perwira militer tidak akan membantu mengatasi tantangan geopolitik kontemporer, yang lebih membutuhkan keterampilan dalam diplomasi, teknologi, dan kebijakan berbasis riset.
Dampak: Rakyat Sipil Semakin Tersingkir
Dengan aturan baru ini, kehadiran TNI dalam birokrasi berpotensi menimbulkan berbagai dampak serius:
- Lapangan Pekerjaan Semakin Sempit
Angka pengangguran mencapai 7,47 juta orang ini sangat mengkhawatirkan dan kebijakan ini justru mempersempit kesempatan mereka mendapatkan pekerjaan di sektor publik. - Birokrasi Berpotensi Kehilangan Independensinya
Struktur militer yang berbasis komando dan hierarki tidak cocok dalam birokrasi sipil yang menuntut transparansi dan partisipasi publik. - Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan Meningkat
Negara-negara yang memperluas peran militer dalam birokrasi sering menghadapi penurunan kualitas demokrasi, seperti yang terjadi di Thailand, di mana dominasi militer di pemerintahan menghambat partisipasi sipil dalam pengambilan keputusan.
Apakah Indonesia ingin mengikuti jejak tersebut?
Baca juga: Vandalisme Tidak Lahir dari Ruang Hampa, Tembok Menjadi Saksi Kecacatan Demokrasi
Kembali ke Semangat Reformasi
Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi Indonesia dalam menata ulang hubungan antara militer dan pemerintahan sipil. Salah satu capaian pentingnya adalah menghapus dwifungsi ABRI yang dulunya memberi militer kewenangan luas dalam urusan politik dan pemerintahan. Kini, dengan adanya revisi UU TNI, kita justru berisiko kembali ke era di mana militer memiliki peran dominan di ranah sipil.
Jika pemerintah berdalih bahwa penempatan TNI di berbagai lembaga sipil bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan stabilitas maka transparansi serta mekanisme pengawasan yang ketat harus dipastikan. Jangan sampai kebijakan ini menjadi langkah mundur yang justru memperlemah demokrasi dan membatasi kesempatan kerja bagi warga sipil.
Negara Ini Milik Siapa?
RUU ini telah disahkan, kebijakan ini berpotensi memperparah ketimpangan tenaga kerja. Di satu sisi ada jutaan pengangguran yang masih berjuang mencari pekerjaan, sedangkan di sisi lain, personel TNI justru bisa rangkap jabatan.
Sudah saatnya kita mempertanyakan, apakah ini benar-benar kebijakan yang dibutuhkan Indonesia? Ataukah ini hanya langkah mundur yang menyamarkan kepentingan tertentu dengan dalih stabilitas dan keamanan?
Penulis: Alya Khairina Hartono
Editor: Nabilla Putri Nurafifah