Beberapa waktu ke belakang, seorang sastrawan asal Banyumas, Ahmad Tohari, mendapat penghargaan Anugerah Senator Indonesia B-25 Bidang Sastra dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Provinsi Jawa Tengah. Beliau dipilih karena dedikasi dan kebermanfaatnnya terhadap masyarakat. Ahmad Tohari dianggap sebagai sosok kritis terhadap permasalahan sosiokultural yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan membahas mengenai Anugerah Senator Indonesia (apalagi membicarakan legislatif yang memberi penghargaan tersebut) seperti yang biasa saya lakukan. Kali ini, saya akan membahas bagaimana Ahmad Tohari dapat begitu dicontoh, bukan hanya dalam wilayah sastra, tetapi lebih jauh daripada itu, wilayah kemasyarakatan dan kemanusiaan.
Barangkali, beberapa dari kita masih asing dengan Tohari. Tapi, pernahkah kalian mendengar film Sang Penari yang disutradarai oleh Ifa Isfansyah dan dibintangi Prisia Nasution dan Oka Antara? Film yang berhasil menyabet empat Piala Citra dalam Festival Film Indonesia 2011 tersebut merupakan adaptasi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tentu bisa ditebak siapa penulis novel tersebut. Yaps, beliau adalah Ahmad Tohari. Selain Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari juga telah menerbitkan Kubah (1980), Di Kaki Bukit Cibalak (1986), Senyum Karyamin (1989), Berkisar Merah (1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (1995), Nyanyian Malam (2000), Belantik (2001), Orang Orang Proyek (2002), Rusmi Ingin Pulang (2004), dan Mata yang Enak Dipandang (2013). Karya-karya tersebut telah diterbitkan dalam bahasa Inggris, Jepang, Tionghoa, Belanda, dan Jerman.
Tentang Tohari
Pada 13 Juni 1948 di Banyumas, Ahmad Tohari yang kemudian dipanggil Tohari, lahir ke dunia dari keluarga yang sederhana. Ayahnya, Muhammad Diryati adalah seorang pegawai Kantor Urusan Agama (KUA). Sementara ibunya, Saliyem adalah seorang petani dan pedagang kecil. Tohari merupakan anak ke empat dari dua belas bersaudara. Kesederhanaan dan keharmonisan sudah menjadi potret keluarga ini, persis seperti orang-orang kampung pada umumnya, begitu kata beliau.
Tohari memulai pendidikannya di Sekolah Dasar (SD) Negeri Tinggarjaya. Setelah itu, beliau melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Purwokerto dan melanjutkannya ke jenjang yang lebih tinggi di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2 Purwokerto. Selama SMA, beliau menekuni ekstrakulikuler pramuka, menggambar, dan majalah dinding. Di jenjang Pendidikan Tinggi, Tohari kerap berpindah-pindah kampus dan fakultas. Mulai dari Fakultas Ilmu Kedokteran Ibnu Khaldun (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas Soedirman (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas Soedirman (1975-1976). Semua Pendidikan Tinggi yang diampunya tidak usai karena permasalahan biaya.
Tohari menikah dengan Syamsiah, perempuan yang beliau kagumi sedari kecil pada 1 Desember 1970. Dari pernikahannya tersebut, Tohari dikaruniai lima orang anak: Listiya, Widia, Azhar Saputra, Sita Hidayah, dan Din Tahta Alfina. Keluarga kecil dan hangat ini menjalani kesehariannya dengan sederhana.
Dalam karir, Tohari banyak berkecimpung di dunia jurnalistik. Beliau pernah menjadi staf redaktur harian Merdeka, majalah Keluarga, majalah Amanah, dan majalah Kartini. Namun, sebelum berkecimpung di koran dan majalah, Tohari lebih dulu bekerja di BNI 1946 sebagai pengurus majalah perbankan. Kini, Tohari menjadi Pemimpin Umum majalah Ancas Banyumasan yang telah berdiri sejak 2010.
Beberapa penghargaan yang telah didapat oleh Tohari antara lain ialah cerpen Jasa-jasa buat Sanwirya yang mendapat Hadiah Hiburan Sayembara Kincir Emas yang diselenggarakan oleh Radio Nederlands Wereldomroep (1977), novel Kubah yang memenangi hadiah Yayasan Buku Utama tahun (1980), novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jentera Bianglala yang berhasil meraih hadiah Yayasan Buku Utama (1986), novel Di Kaki Bukit Cibalak yang mendapat hadiah Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1979), hadiah Sastra Asean, SEA Write Award (1995), dan hadiah Sastra Rancage (2007).
Tohari memiliki kepribadian yang menarik untuk dicari tahu. Pasalnya, dalam beberapa wawancara serta tulisan-tulisannya, dapat ditemui sosok yang berbeda. Bahkan Maman S. Mahayana menamainya Manusia Langka. Berikut adalah beberapa hal yang bisa kita lihat dalam diri Tohari.
Baca juga : Ziarah Pasar Malam
Pertama, Sikap Membumi dan Berani
Tohari adalah seorang sastrawan yang sederhana, baik secara laku pun penampilan, begitulah kira-kira menurut pandangan orang-orang di sekitarnya. Dalam buku Sastra itu Sederhana: 70 Tahun Ahmad Tohari (2018), disebutkan pula bahwa beliau sangatlah santun, bicaranya pelan, runtut, dan berisi.
Kederhanaan lain dapat pula kita temukan dalam catatan Maman S. Mahayana berjudul Manusia Langka Ahmad Tohari. Yun Hyun Sook, seorang mahasiswa Hankuk University of Studies, Seoul, Korea Selatan, mengunjungi kediaman Tohari di Tinggarjaya.
“Di hadapannya kini berdiri manusia langka: sederhana, apa adanya, welcome, dan berada jauh dari singgasana para dewa. Ia hadir di bumi manusia, di tengah rakyat biasa, di antara tetangganya yang ramah dan penuh takzim.”
Kesederhanaan Tohari juga tercermin dalam ceritanya saat acara pertemuan sastra yang diundang oleh Jacob Oetama. Kala itu, beliau ditolak saat masuk Hotel Santika, Slipi, Jakarta. Barangkali, hal tersebut dikarenakan wajahnya yang tidak familiar dan kupluk butut yang beliau kenakan, tuturnya sendiri.
Kesederhanaan Tohari sangat berbanding terbalik dengan jiwanya yang berani. Hal tersebut tercermin dalam karya-karyanya. Misalnya, Ronggeng Dukuh Paruk. Dengan tema kemanusiaan yang terjadi di tahun 1965, Ronggeng Dukuh Paruk dinilai sebagai karya yang orisinil, berani, dan tepat. Gus Dur sendiri menilai bahwa Tohari tergolong berani untuk menganjurkan rekonsiliasi pasca tragedi 1965. Sebab, di Jawa Timur sendiri, sempat ada konfrontasi antara PKI dan NU.
Saat novel tersebut diterbitkan pada 1982, pemerintah kala itu tak sungkan untuk membungkam kritik yang disuarakan. Banyak penulis yang lebih senior darinya, tetapi masih sedikit yang berani untuk mengungkapkan situasi sosial politik yang terjadi. Keberanian Tohari tersebut sangat sederhana.
“Mengapa saya berani menuliskan kisah Srintil di masa pergolakan tahun 1965? Karena tidak seorang pun menuliskannya. Saya terpaksa menulis kisah itu agar generasi berikut mengetahui,” ucapnya.
Saat menulis karya tersebut, Tohari sadar betul bahaya yang akan menimpanya. Termasuk dipanggil tentara di kemudian hari. Lalu, pemanggilan itu pun terjadi.
Di Komando Operasi Pemulihan Keamananan Ketertiban (Kopkamtib), Jalan Dharmawangsa I, Tohari diinterogasi. Proses interogasi berlangsung selama berhari-hari, tepatnya pada tanggal 2 hingga 6 Juli 1986. Selama hari-hari itu, Tohari dipaksa untuk mengakui bahwa dirinya adalah sisa-sisa PKI.
“Saya menulis ini karena sisi kemanusiaan. Saya tak tega melihat orang biasa dibunuh hanya karena dianggap anggota PKI,” tegasnya dengan kedua tangan menyilang di dada dan mata yang menyorot tajam. Dari berbagai tuturan yang ada (yang tentu dapat kita lihat pula dari karyanya) bisa dijumpai sosok Tohari yang begitu membumi. Namun, tetap berani!
Baca juga : Kutukan Perempuan Kapak
Kedua, Mengkritik Sekaligus Menandai Zaman
Pada paparan terakhir, dapat dilihat sosok Tohari yang berani untuk mengkritik pembantaian yang terjadi pada tahun 1965. Beliau jelas mendukung konsep Hak Asasi Manusia (HAM). Tohari berada di pihak kaum yang termarginalkan dan tersubordinasi. Beliau mencoba menyuarakan apa yang tak mampu orang-orang suarakan.
Cerpen “Akhirnya Karsim Menyebrang Jalan” merupakan satir yang tajam, lugas, dan menohok. Dadan N. Ramdan melalui buruan.co mengatakan bahwa Tohari ingin menggambarkan ego dan keangkuhan manusia di daerah sub-urban. Hal tersebut dapat dilihat dari kutipan cerpennya sebagai berikut.
“ …. Tidak mudah bagi Karsim buat menyeberang. Apalagi matanya mulai baur. Sudah tiga kali mencoba namun selalu gagal. Setiap kali mencoba melangkah ia harus surut lagi dengan tergesa. Klason-klakson mobil dan motor ramai-ramai membentaknya. Wajah-wajah pengendara adalah wajah raja jalanan. Wajah yang mengusung semua lambang kekotaan; keakuan yang kental, manja dan kemaruk luar biasa.”
Apa yang dikritik oleh Tohari kebanyakan muncul dari persoalan sehari-hari. Bagi beliau, persoalan tersebut merupakan ‘bensin’ dalam menulis sebuah karya. Menurutnya, menulis apa yang sedang terjadi hari ini termasuk ke dalam upaya menandai zaman, sekaligus untuk memberitahu bahwa masalah ini mesti segera diselesaikan. Masalah-masalah seperti kapitalisme, korupsi, dan kemiskinan akan memunculkan ruh yang baru, begitu tuturnya.“Jika penulis muda mengungkit kembali tentang ’65 lantas untuk apa? Penguasa yang harusnya menerima kritikan sudah tidak ada. Mengapa peristiwa kelam harus terus diingat. Keluarga orang-orang di desa yang memiliki kenangan pahit tersebut akan menderita, traumatik betul. Jadi, sudahlah. Saya pikir, sastra yang menyangkut G30S cukup sampai di sini saja, tak perlu dituliskan lagi. Sebab saya rasa, kita harusnya bergerak kedepan. Jangan sampai kehabisan energi untuk menghadapi masa depan karena terbuai dengan masa lalu. Saya juga merasakan sakit ketika mengingat hal itu, tapi mari kita mencoba untuk berdamai saja,” ungkap Tohari dalam sesi wawancara bersama Balairung.
Ketiga, Menguasai Bahasa Indonesia
Bahasa adalah wahana bagi seorang sastrawan. Menurut Tohari, untuk menjadi seorang manusia, diperlukan kecintaan terhadap Bahasa Indonesia yang besar. Dengan kecintaan, akan datang kebahagiaan ketika penulis menghadirkan kalimat yang kuat sekaligus indah. Intinya, sajian kebahasaan sangat dibutuhkan oleh manusia, apalagi seorang penulis. Manusia pasti berpikir dan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menata pikiran manusia.
Menguasai bahasa Indonesia juga akan ikut memengaruhi bagaimana kritik (yang ada pada poin sebelumnya) itu disampaikan. Kritik tidak akan sampai apabila tidak dipahami. Jangan sampai ada kerancuan bahasa dalam penyampaian kritik sosial, saran Tohari. Lebih jauhnya, dengan menguasai bahasa Indonesia, kritik yang dilontarkan akan menjauhkan dari ‘ujaran kebencian’, alat yang biasanya digunakan untuk membungkam kritikan. Konsep ini mulanya muncul untuk menghalau ekspresi berbahaya yang dapat merusak kebebasan berpendapat. Namun, dalam praktiknya di Indonesia, ujaran kebencian seringkali disalahgunakan untuk membatasi pendapat. Menurut Susan Benesch, salah satu variabelnya adalah pesan. Oleh karenanya, menguasai bahasa Indonesia akan menjadikan kritik yang kita lontarkan semakin nyaring untuk didengar.
Baca juga : Tentang Pengkhianatan di Serambi Makkah
Keempat, Membaca Rakus
Tohari adalah seorang pembaca, yang bahkan dapat kita sebut pembaca rakus. Sejak duduk di bangku SD, Tohari telah menamatkan 48 jilid komik Mahabarata dan 19 jilid komik Ramayana. Sampai di bangku SMA, beliau telah membaca banyak sekali buku di perpustakaan, meminjam buku dari gurunya, bahkan hingga mencari ke pasar loak Jakarta, tepatnya di Kramat.
Ketika diberi pertanyaan mengenai cara untuk menjadi pengarang, Tohari menjawab “Semua pengarang itu sebelumnya adalah pembaca. Maka, ketika menjadi pembaca, jadilah pembaca yang rakus. Kalau tidak, ketika menjadi pengarang atau penulis akan mudah sekali kehabisan stamina.”
Dalam Pidato Kebudayaan “Membela dengan Sastra”, Tohari mengatakan bahwa karya sastra hanya bisa dilahirkan oleh mereka yang lebih dulu telah cukup membaca. Tentu membaca yang dimaksud di sini tidak hanya persoalan membaca buku, tetapi juga membaca persoalan yang terjadi di masyarakat.
Penulis yang baik adalah mereka yang menulis berdasarkan cerminan diri dan lingkungan, begitulah kira-kira maksud Tohari. Baginya, karya yang berkualitas akan hadir apabila seorang penulis mengalami sesuatu yang nyata dalam hidup.
Pentingnya membaca ini dituturkan oleh Tohari dalam esainya “Bacalah!” dan Kita Lupa yang dimuat di Pikiran Rakyat pada 2009. Menurutnya, penyebab buruknya sumber daya manusia di Indonesia yang dibawah rata-rata adalah akibat dari “penyakit” kurang baca. Selain itu, kurang baca tidak hanya menyebabkan orang kurang cerdas secara intelektual, tetapi juga spiritual.
“Memang rakus, saya ini rakus. Jadi, waktu saya belum menulis saya sudah membaca. Selain itu, kebetulan memang saya hobi membuat catatan harian sejak SMA. Jadi, saya setiap hari menulis catatan harian di buku tulis tebal sampai penuh dan saya begitu lagi secara terus-menerus, (sampai) saya masih ingat catatan harian saya pada 6 Juli 1966.”
Kelima, Gemar Menulis Gara-Gara Surat Cinta dan Catatan Harian
Selain rakus membaca, Tohari juga gemar menulis. Kegemaran ini bermula sejak Tohari duduk di kelas 2 SMA. Kala itu, Tohari sering menuliskan surat cinta untuk teman perempuan yang kini menjadi istrinya, Sito Syamsiah. Melalui surat tersebut, Tohari muda telah belajar mencurahkan perasaannya ke dalam bentuk tulisan.
“Dengan sering menulis surat-surat gombal itu, ternyata (tanpa disadari) menjadi latihan untuk menumpahkan gagasan menjadi teks,” ungkap Tohari saat ditemui dalam Author Talk with Tohari di Binus International School Serpong.
Selain perasaan, gagasan Tohari pun dicurahkan melalui catatan harian yang sering beliau buat. Catatan harian beliau berisi berbagai tulisan, seperti esai, cerpen, catatan perjalanan, dan juga puisi. “Saat itu, diksinya mengerikan!” Ujar Tohari.
Dari berbagai tulisan yang dibuat, Tohari mulai mencoba berbagai teknik menulis yang beliau dapat. Semua tulisan yang dibuat mulai dikumpulkan dan sejak saat itulah beliau mulai ketagihan. Menurut beliau, apabila kegiatan menulis seperti demikian dilakukan secara konsisten dan sabar selama enam bulan, maka sudah cukup untuk seseorang mendapat predikat sebagai penulis.
Penutup
Lima hal yang telah disebutkan di atas adalah sebagian kecil dari banyaknya perilaku yang dapat ditiru dari Tohari. Tentu, beberapa dari kita mungkin masih sangat asing atas perilaku Tohari, bahkan sulit untuk ditiru. Namun, apabila ada keinginan, semua hal yang ada di atas mungkin untuk dilakukan. Sebagai penutup, saya sematkan kata-kata Tohari dalam Berkisar Merah.
“Hidup ini seperti anggapan kita. Bila kita anggap sulit, sulitlah hidup ini. Bila kita anggap menyenangkan, senanglah hidup ini.”
Sekian.
Baca juga: Mengenang Satu Tahun Ajip Rosidi: Perenungan dan Tamparan untuk Orang Sunda
Penulis: Tofan Aditya
Editor: Fazya Anindha Srizaky