Dari ‘Cimahi’ hingga ‘Cihampelas’: Asal Usul Ci- pada Toponim di Bandung

Nama merupakan kata yang menjadi tanda bagi setiap makhluk hidup, benda, dan berbagai aktivitas di dunia ini. Ketika mendiami suatu tempat, manusia akan menamai tempat tersebut sesuai dengan kondisi geografis dan sosial budayanya.

Hampir setiap daerah di dunia ini memiliki nama. Nama-nama tersebut dibuat oleh manusia dengan maksud melabeli suatu daerah dengan berbagai ciri dan makna tertentu. Penamaan tempat di setiap daerah akan berbeda dengan daerah lainnya karena setiap daerah memiliki ciri tersendiri yang umumnya berbeda dengan daerah lain.

Ilmu yang mempelajari asal-usul nama tempat adalah ‘toponimi’. Menurut Kridalaksana (1982:170) toponimi merupakan cabang onomastika yang menyelidiki tentang asal usul bentuk dan makna, nama diri, terutama nama orang dan tempat.

Seperti di Jawa Barat khususnya di Kota Bandung, seringkali kita temui morfem ci- yang dipakai untuk menamai tempat mulai dari nama kecamatan, desa, bahkan nama jalan. Contohnya seperti Cihampelas, Cimahi, Cibaduyut, Cilandak, Cicadas, Ciliwung, dan masih banyak lagi.

Dalam bahasa Sunda, ci- berasal dari kata cai yang berarti air. Hal ini menandakan bahwa wilayah Bandung dulunya merupakan daerah yang berair. Bukan hanya ci-, wilayah lain yang berawalan leuwi ‘lubuk’ (misalnya Leuwipanjang), ranca ‘rawa’ (misalnya Ranca Upas), dan situ ‘danau’ (misalnya Situ Patenggang) juga menunjukkan karakteristik makna yang sama.

Umumnya, morfem ci- ini diikuti oleh nama-nama hewan, tumbuhan, keadaan alam, keadaan air, dan berbagai kondisi masyarakat masing-masing tempat. Contohnya Cilandak dan Cimaung, kedua daerah tersebut menunjukkan morfem ci- yang dibentuk oleh ci- + nama hewan yaitu landak dan maung (landak dan harimau). Sama halnya dengan Cipaku atau Ciseureuh yang berasal dari nama tumbuhan paku ‘pakis’ dan seureuh ‘serai’.

Lalu apa saja alasan penamaan tersebut? Tentunya bukan sekadar kebetulan. Banyak faktor yang menentukan alasan dibalik penamaan tersebut. Mulai dari faktor sejarah, geografis, hingga kondisi sosial dan budaya masyarakat itu sendiri.

Faktor Sejarah dan Geografis

Kawasan Bandung dan sekitarnya dulu merupakan danau atau yang sering disebut dengan Danau Purba. Diperkirakan danau tersebut terbentuk akibat erupsi Gunung Sunda sekitar 105 ribu tahun yang lalu. Permukaan danau membentang lebih kurang 30 km dari daerah Dago di utara hingga Soreang di selatan. Sebelah timur hingga barat membentang kurang lebih sepanjang 50 km dari Cicalengka hingga Padalarang.

Danau Purba tersebut kemudian mengering dan menyisakan tempat-tempat yang berair. Kemudian tempat-tempat tersebut diberi nama dengan morfem ci-, leuwi, ranca, bojong, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan air. Selain itu, penamaan tersebut juga sering dikaitkan dengan wilayah Bandung yang sering terkena banjir. Terutama daerah selatan Bandung sepanjang aliran Sungai Citarum yang setiap musim hujan sering tergenang air.

Faktor Sosial Budaya

Berdasarkan kondisi geografis yang telah disinggung sebelumnya, masyarakat Sunda sebagai masyarakat yang mendiami wilayah Bandung dulunya dikenal sebagai masyarakat daerah perairan. Karena dekat dengan perairan, masyarakat pun banyak mengenal pekerjaan yang berhubungan dengan air seperti bersawah, beternak ikan, dan menangkap ikan.

Ketika Danau Bandung mulai surut dan kering, masyarakat mulai beralih ke berladang. Mata pencaharian berladang ini meninggalkan bukti berupa nama tempat yang diberi dengan nama tumbuhan. Hal itu bisa dilihat pada bagian sebelumnya bahwa banyaknya nama tempat di Bandung yang terdiri dari unsur ci + nama tumbuhan. Seperti Cidamar, Cilimus, Cipaku, Cipandan, Citarum, dan Cihanjuang.

Bukan hanya nama tumbuhan, toponim yang dibentuk dengan nama hewan juga banyak. Biasanya dikaitkan dengan suatu peristiwa yang berhubungan dengan binatang. Seperti ‘Cikudapateuh’ kuda ‘kuda’ dan pateuh ‘patah’ artinya toponim tersebut menyatakan tempat rehabilitasi kuda-kuda yang cedera (Kunto, 1985:45).

Penggunaan morfem ci- dalam toponim dapat menjadi cara untuk membedakan lokasi-lokasi yang terhubung oleh sungai atau air. Misalnya ‘Ciwidey’ merujuk pada daerah dengan aliran sungai yang melimpah, sedangkan ‘Cisarua’ mencerminkan wilayah yang terletak di dekat mata air.

Seiring dengan perubahan zaman, penggunaan morfem ci- dalam toponim di Bandung masih menjadi bagian dari sejarah dan budaya wilayah ini. Hal ini juga mencerminkan bagaimana sejarah, budaya, dan geografi dapat memengaruhi nama-nama tempat dan bahasa dalam suatu wilayah.

Baca Juga : Ragam Bahasa Anak Muda: Dari Bahasa Campur Aduk hingga Populernya TBL

Penulis: Wirza Iqbal

Editor: Alma Fadila Rahmah