Pada 13 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menginjak usia 21 tahun. Upacara, tasyakuran, dan rangkaian lomba digelar untuk merayakannya.
Suhartoyo selaku ketua umum MK menyatakan dalam pidatonya yang disampaikan saat perayaan ulang tahun MK ke-21 bahwa ia mengucapkan rasa terima kasihnya pada jajarannya yang terus bertahan dan bertumbuh bersama MK dari waktu ke waktu, komitmen MK untuk terus bekerja sesuai dengan wewenang yang dimilikinya, dan himbauan untuk terus mempertahankan citra MK yang semakin baik menurut survei.
Sejak MK berdiri pada tahun 2003, ia telah memainkan peran penting dalam menjaga konstitusi dan demokrasi di Indonesia. Sebagai pengawal konstitusi, MK memiliki kewenangan yang meliputi uji materi undang-undang, memutus sengketa hasil pemilu, dan mengawasi lembaga-lembaga negara. Independensi dari MK adalah mutlak. MK juga tidak boleh mencondongkan keberpihakannya pada pihak penguasa. Jika hal itu terjadi, konstitusi akan mudah diutak-atik untuk kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, sementara kepentingan rakyat terabaikan.
Dengan memiliki segala otoritas dan tanggung jawab, MK harus tetap menjadi lembaga yang tidak tergoyahkan oleh kepentingan politik. Keberpihakan MK pada pihak penguasa akan membuat konstitusi yang menjadi pintu penyalahgunaan kekuasaan terbuka lebar-lebar, sehingga konstitusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi malah menjadi alat legitimasi bagi tindakan-tindakan yang merugikan rakyat.
KONTROVERSI SELAMA PERJALANAN MK
Namun, perjalanan MK selama beberapa tahun terakhir tidak terlepas dari kontroversi yang mengikutinya, mulai dari perubahan peraturan syarat pencalonan presiden sampai Perppu Cipta Kerja yang merampas hak dari para pekerja. Kontroversi-kontroversi yang terjadi ini tentu mengguncang kepercayaan rakyat terhadap MK. Perubahan syarat pencalonan presiden mendapat sorotan tajam dari banyak pihak karena dianggap memberikan ruang bagi calon tertentu pada Pilpres 2024 dan menimbulkan banyak kekhawatiran bahwa MK telah kehilangan independensinya dan lebih condong berpihak kepada kekuasaan.
Kontroversi lainnya mencakup putusan MK mengenai uji materi Undang-Undang Cipta Kerja yang menyatakan inkonstitusional bersyarat pada tahun 2021. Putusan ini memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki UU tersebut. Banyak pihak yang mempertanyakan apakah putusan MK ini cukup tegas dalam mempertahankan hak-hak buruh dan perlindungan lingkungan. Akan tetapi, MK terlihat berada di persimpangan antara menjaga kepentingan publik dan menghadapi tekanan dari penguasa.
Baca Juga: Maria Ulfah Santoso, sang Diplomat yang Memperjuangkan Nasib Perempuan Asia-Afrika
Dari semua kontroversi yang terjadi, sepertinya sulit untuk mengatakan MK sudah menjadi lembaga negara ideal yang menjalankan semua tugas dengan baik. Adinda Putri Cahyaningvatov selaku ketua umum dari Unit Kegiatan Studi Kemahasiswaan (UKSK) UPI memberikan tanggapannya terkait perkara ini, “Kalau bicara soal ideal harus dikupas dulu ideal yang dimaksud itu apa dan ideal bagi siapa. Dari perspektif UKSK, jelas, ideal yang dimaksud adalah tidak menyusahkan rakyat dan membantu menyejahterakan kehidupan rakyat secara luas, bukan hanya untuk segelintir pihak saja. Masalahnya sekarang adalah selama beberapa tahun ke belakang MK banyak membuat keblunderan berupa meloloskan putusan yang akhirnya berdampak buruk kepada masyarakat secara luas,” ucapnya.
JADI, APA MK SUDAH IDEAL?
Apakah MK sudah menjadi lembaga ideal atau tidak, ketua umum UKSK UPI memberikan lagi tanggapannya dengan beberapa contoh, “Misalnya, Perppu Cipta Kerja atau persyaratan umur untuk calon wakil presiden. Dari kacamata hukum saja itu sudah disebut inkonstitusional. Ketika orang yang sudah memahami konstitusi masih meloloskan sesuatu yang inkonstitusional, tandanya ada sesuatu yang janggal dan yang janggal itu terjadi di balik kita. Dampak dari kedua putusan ini berlangsung secara berkepanjangan dan merugikan masyarakat secara luas. Misal yang tadi, soal Perppu Cipta Kerja, buruh akan sulit menaikan upahnya dan wanita diambil hak biologisnya dengan pencabutan hak cuti menstruasi. Kemudian, tanpa urgensi yang benar-benar mendesak, persyaratan umur untuk calon wakil presiden diubah. Maka dari perspektif UKSK, MK tidak ideal,” ujarnya.
Adinda Cahyaningvatov juga berharap agar ke depannya MK bisa diisi oleh orang yang bersih dari kepentingan politik dan lebih berpihak kepada rakyat, “Dalam kondisi yang ideal MK seharusnya menjadi instrumen negara yang meloloskan kepentingan masyarakat secara luas, bukan hanya segelintir pihak saja serta tidak diisi oleh orang-orang dengan kepentingan politik,” ujarnya.
Dengan berbagai kontroversi yang terjadi, seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak menjadikan pertambahan usianya tidak hanya menjadi ajang perayaan, tetapi juga momen introspeksi mendalam. MK harus memperkuat komitmennya untuk tetap netral dan independen agar konstitusi yang menjadi dasar negara tidak digunakan sebagai alat oleh pihak yang berkuasa. Hanya dengan integritasnya, MK bisa dipercaya sebagai penjaga konstitusi sejati yang melindungi hak masyarakat secara luas tanpa pandang bulu.
Penulis: Rihan Athsari
Editor: Laksita Gati Widadi
Baca Juga: RUU Penyiaran: Merdeka untuk Siapa?