“Sudah gak apa-apa, jalani saja. Semua sekolah sama aja kok. Berlian akan tetap berlian di manapun tempatnya.”
Saya menerima perkataan itu tanpa perlawanan. Ucapan itu dilontarkan oleh seorang guru SMP di ruangan kepala sekolah. Saya gelisah karena tidak bisa masuk sekolah yang saya tuju. Dengan berat hati, saya harus menerima kenyataan bahwa saya menjadi siswa SMA jurusan IPA, yang sangat berlawanan dengan kompetensi saya, mengingat saat itu saya merupakan bagian dari tim olimpiade sekolah dalam bidang studi IPS.
Saya menjalani SMA dengan perasaan campur aduk. Saya bertahan hidup dengan disiplin, tetapi saya kesulitan pada mata pelajaran IPA hingga langganan remedial. Upaya bertahan diri ini membuat saya mampu melewati kehidupan SMA yang sejak awal bukan keinginan saya. Selama tiga tahun, saya memaksimalkan sumber daya yang disediakan oleh sekolah. Saya juga mencari pengalaman di luar sekolah, seperti pelatihan dan seminar.
Baca juga: Seberapa Penting Pendidikan Nonformal untuk Mahasiswa?
Katanya Semua Sekolah Sama, Tetapi Kenapa Pengetahuan Kita Berbeda?
Pascalulus SMA, saya melanjutkan pendidikan di jurusan Pendidikan Bahasa, yang kurang diminati angkatan saya. Ada yang mendukung, ada pula yang mempertanyakan. Banyak teman saya memilih jurusan populer seperti kedokteran, teknik, hukum, dan bisnis. Sebagian besar orang tua di sekolah saya memiliki jabatan penting dalam perusahaan maupun kelompok masyarakat. Meski demikian, saya tidak rendah diri memilih jalan berbeda dan mengambil risiko, yakni menjadi satu-satunya alumnus yang melanjutkan kuliah di UPI. Toh, pengetahuan yang saya peroleh di SMA pun cukup untuk menjadi bekal. Saya berpikir semua mahasiswa berada di titik mula yang sama, tapi kenyataan berbicara lain.
Seiring berjalannya waktu, saya bertemu dengan rekan-rekan yang memiliki isu dalam mengoperasikan teknologi. Awalnya satu dua orang, lalu semakin banyak. Saya perlu mendampingi rekan mengoperasikan teknologi, bahkan sesederhana mengubah format tulisan di Microsoft Word. Ketika ada tugas yang perlu berhadapan dengan bahasa Inggris, saya membantu rekan dalam menerjemahkan maupun proses pengerjaan tugas. Rekan-rekan yang saya bantu tidak hanya berasal dari daerah luar Jawa Barat, bahkan yang tinggal di Kota Bandung juga. Ketika mengobrol dengan kawan, saya menyadari banyaknya kesenjangan pengetahuan. Perbedaan budaya tidak menjadi masalah bagi saya, tapi perbedaan pengetahuan sukses membuat saya kaget.
Apa yang sebenarnya terjadi? Katanya semua sekolah sama aja.
Jadi, Apakah Benar Semua Sekolah Itu Sama?
Kisah ini terjadi beberapa tahun lalu dan terus berulang hingga kini. Tidak semua sekolah memberikan bekal yang sama kepada siswanya. Tidak semua siswa memiliki akses yang setara terhadap teknologi, literasi digital, dan sumber daya pendidikan lainnya. Perbedaan ini semakin terasa ketika saya masuk dunia perkuliahan dan berinteraksi dengan rekan-rekan yang berasal dari berbagai daerah dan latar belakang sekolah yang berbeda. Hal ini bukan hanya sekadar perbedaan individu, tetapi juga berakar pada kesenjangan sistem pendidikan, seperti dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia Tahun 2025-2045 dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sebanyak 27.650 satuan pendidikan memiliki akses internet dan 3.323 satuan pendidikan belum memiliki akses listrik. Keterbatasan ini menjadi kendala pengembangan akses pendidikan khususnya implementasi pembelajaran digital.
Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Pakar Kebijakan Publik UGM, Agustinus Subarsono, M.Si., M.A., Ph.D. Ia menemukan bahwa pembelajaran daring menghadapi berbagai kendala, terutama dalam hal akses internet dan literasi teknologi. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 1.304 responden orang tua siswa SMP-SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta, masalah utama yang dihadapi adalah ketidaklancaran jaringan internet, diikuti oleh disparitas dalam kepemilikan perangkat dan keterampilan teknologi antara siswa, guru, dan orang tua.
Tantangan pembelajaran daring tidak hanya terbatas pada masalah teknis, tetapi juga berdampak pada keberlanjutan pendidikan siswa, terutama di daerah dengan akses terbatas seperti Papua. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengidentifikasi tantangan dalam penerapan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19, terutama di Papua. Survei terhadap guru, kepala sekolah, orang tua, dan siswa menunjukkan mayoritas siswa mengalami kesulitan memahami pelajaran secara daring, dengan kendala utama berupa jaringan internet yang tidak stabil. Selain itu, para guru di Papua mengkhawatirkan potensi meningkatnya angka putus sekolah, karena siswa mungkin enggan kembali ke sekolah setelah periode belajar dari rumah.
Kesenjangan yang Berkepanjangan Membatasi Kesempatan
Saat kuliah dimulai, mereka yang terbiasa dengan teknologi lebih mudah beradaptasi, aktif berdiskusi, dan percaya diri dalam tugas. Sementara itu, ada yang masih bingung menggunakan platform pembelajaran, kesulitan memahami materi karena minimnya paparan sebelumnya, atau bahkan ragu untuk berbicara karena merasa tertinggal. Salah satu rekan kelas saya bercerita bahwa ia sempat tidak merespons ketika ditunjuk saat perkuliahan daring. Bukan karena masalah perangkat, tetapi ia tidak percaya diri mengikuti instruksi yang diberikan dalam bahasa Inggris.
Data yang terpampang bukan sekadar angka di atas kertas, tetapi sesuatu yang nyata dan dirasakan oleh banyak siswa yang kini berstatus mahasiswa. Sebagian mahasiswa sudah terbiasa dengan teknologi sejak bangku sekolah, sementara sebagian lain baru pertama kali belajar menggunakannya. Kesenjangan ini bukan tentang sulitnya mengoperasikan teknologi atau memahami bahasa Inggris. Ini adalah kesenjangan yang memengaruhi kepercayaan diri, interaksi sosial, dan peluang untuk berkembang. Mereka yang lebih siap dari awal dapat mengambil banyak kesempatan, sementara yang lain harus berjuang lebih keras untuk mengejar ketertinggalan.
Kesempatan yang didapat siswa tidak hanya ditentukan oleh usahanya sendiri, tetapi juga akses terhadap pendidikan yang layak. Kesenjangan ini bukan masalah individu, melainkan sistemik, dan tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Jika dibiarkan, mereka yang kurang beruntung harus berjuang lebih keras untuk mengejar ketertinggalan, atau bahkan tidak dapat memaksimalkan potensi dirinya. Pendidikan seharusnya menjadi alat pemerataan kesempatan, bukan memperlebar jurang yang sudah ada.
Penulis: Alzena Nabiilah Zufar
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra
Baca juga: Mengajar Bahasa Indonesia di Satuan Pendidikan Kerja Sama: Sebuah Refleksi
Referensi:
Detik. Kemendikbud Ungkap Masalah Belajar Daring, Ancaman Putus Sekolah Ada di Papua.
Kompas. Akses Pendidikan Berkualitas di Indonesia Belum Merata.
Universitas Gadjah Mada. Ketersediaan Jaringan Jadi Kendala Belajar Daring di DIY.