Mahasiswa Rantau dan Bahasa Daerah: Memudar atau Terjaga?

Merantau untuk menuntut ilmu adalah pengalaman yang membuka banyak peluang dan tantangan. Salah satunya adalah bagaimana mahasiswa menghadapi perbedaan bahasa dan budaya di lingkungan baru. Bagi mereka yang tumbuh dengan bahasa daerah sebagai bagian dari keseharian, perantauan sering kali menjadi titik balik dalam penggunaan bahasa tersebut. Sebagian tetap mempertahankan, sementara yang lain mulai jarang menggunakannya, baik karena faktor lingkungan maupun keinginan untuk menyesuaikan diri.

Namun, apakah berkurangnya penggunaan bahasa daerah di kalangan mahasiswa rantau berarti mereka melupakan akar budaya mereka? Apakah ada faktor lain yang memengaruhi dinamika ini?

Identitas Bahasa di Tengah Pergaulan Baru

Bahasa daerah bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga bagian dari identitas seseorang. Sayangnya, dalam lingkungan baru, mahasiswa rantau sering menghadapi tekanan sosial yang membuat mereka enggan menggunakannya. Ada kekhawatiran dianggap aneh, kesulitan menemukan teman yang memahami bahasa tersebut, hingga persepsi bahwa bahasa daerah tidak terlalu relevan dalam kehidupan akademik dan profesional.

Realitas Mahasiswa Rantau: Bertahan atau Menyesuaikan?

Di Indonesia, yang memiliki ratusan bahasa daerah, mahasiswa rantau menghadapi dilema antara menjaga bahasa ibu mereka atau menyesuaikan diri dengan bahasa yang lebih dominan di lingkungan baru. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi keputusan ini, mulai dari tekanan sosial, minimnya kesempatan berbicara, hingga anggapan bahwa bahasa daerah tidak memberikan manfaat praktis di dunia kerja.

Baca Juga: Waduh! Magang Harus Berpengalaman?

Fenomena: Bangga tapi Jarang Digunakan

Menariknya, banyak mahasiswa rantau tetap merasa bangga dengan bahasa daerah mereka meskipun jarang menggunakannya. Mereka bisa memahami dan berbicara saat diperlukan, tetapi lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lain dalam interaksi sehari-hari. Ini menciptakan paradoks: ada keinginan untuk menjaga bahasa daerah tetap hidup, tetapi tidak diiringi dengan praktik nyata dalam keseharian.

Dampak Berkurangnya Penggunaan Bahasa Daerah

Jika generasi muda semakin jarang menggunakan bahasa daerah, ada beberapa konsekuensi yang bisa terjadi:

  1. Ancaman Kepunahan Bahasa – Semakin sedikit yang menggunakan, semakin cepat suatu bahasa menghilang.
  2. Hilangnya Kedekatan dengan Budaya – Bahasa menyimpan nilai budaya yang khas. Tanpa pengguna yang aktif, warisan ini bisa memudar.
  3. Terbatasnya Komunikasi Antar Generasi – Jika bahasa daerah tidak lagi diajarkan, generasi mendatang bisa kehilangan akses komunikasi dengan keluarga atau masyarakat yang masih menggunakannya.
Menjaga Bahasa Daerah Tetap Hidup di Perantauan

Meskipun ada tantangan, mahasiswa rantau tetap bisa menjaga eksistensi bahasa daerah dengan beberapa cara berikut:

  • Menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi dengan keluarga dan teman dari daerah yang sama, baik dalam percakapan langsung, telepon, maupun pesan teks.
  • Membuat konten digital dalam bahasa daerah, seperti video, podcast, atau tulisan untuk memperluas penggunaannya.
  • Bergabung dengan komunitas atau organisasi mahasiswa yang mendukung pelestarian bahasa daerah.
  • Mendorong kampus untuk mengadakan acara berbasis bahasa daerah, seperti lomba pidato, pertunjukan seni, atau seminar.

Sebagai mahasiswa rantau, kita memiliki peran ganda: beradaptasi dengan lingkungan baru dan melestarikan bahasa daerah masing-masing. Adaptasi yang bijak membuka pintu kesempatan, sementara pelestarian bahasa daerah menjaga identitas tetap hidup. Merantau tidak harus berarti kehilangan bahasa daerah. Justru, ini bisa menjadi peluang untuk mengenalkan dan melestarikannya dengan cara yang lebih luas dan kreatif.

Baca Juga: Bocoran Anggaran Kemenkeu 2026: Pendidikan dan Kesehatan Bukan Lagi Prioritas Pemerintah, Warganet Protes

Penulis: Alya Khairina Hartono
Editor: Laksita Gati Widadi