Melihat Bagaimana Dominasi dan Dampak Bahasa Nasional terhadap Bahasa Daerah

Melihat Bagaimana Dominasi dan Dampak Bahasa Nasional terhadap Bahasa Daerah

Bahasa tidak hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga cermin budaya dan identitas suatu masyarakat. Di Indonesia,  Bahasa Indonesia berperan sebagai bahasa pemersatu bangsa. Namun, terdapat ratusan bahasa daerah yang menjadi kekayaan budaya tak ternilai. Sayangnya, banyak bahasa daerah yang kini terancam punah akibat berbagai faktor. 

Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah

Mengutip dari Badan Bahasa, berdasarkan penelitian yang dilakukan Australian National University (ANU) pada tahun 2021, diprediksi bahwa sekitar 1.500 bahasa di dunia akan punah sebelum akhir abad ke-21. Berdasarkan variabel penelitian tersebut, diperkirakan lebih dari 50% bahasa di Indonesia, yaitu sekitar 441 bahasa, berpotensi menghadapi ancaman kepunahan. Ancaman tersebut didasari oleh beberapa faktor, seperti: 

  • Globalisasi

Pengaruh bahasa asing, terutama Inggris, membuat generasi muda lebih memilih bahasa internasional. Nilai atau urgensi generasi muda untuk lebih penting mempelajari bahasa asing daripada bahasa daerah. Tentu hal ini tidak dapat sepenuhnya disalahkan.

  • Urbanisasi 

Migrasi penduduk ke kota-kota besar menyebabkan penutur bahasa daerah semakin berkurang. Hal ini memicu kontak bahasa yang bisa membuat pemertahanan suatu bahasa ‘tertimbun’ oleh bahasa lain.

Sementara faktor ketiga akan dimuat dalam sub bab tersendiri, yaitu dominasi bahasa nasional.

Dominasi Bahasa Nasional terhadap Bahasa Daerah

Penggunaan Bahasa Indonesia dalam pendidikan dan media mengurangi ruang untuk bahasa daerah. Pada sebuah seminar kebahasaan, Aan Mansyur pernah mengatakan bahwa:

“Bahasa punya tabiat untuk menjajah, mengekspansi, dan bersifat kanibal. Artinya, satu bahasa bisa memakan bahasa lainnya.”

– M. Aan Mansyur

Hal ini yang terjadi ketika terjadi dominasi bahasa nasional tanpa diimbangi dengan pelestarian bahasa daerah. Peran Bahasa Indonesia tentu sangat vital. Konteks ini dapat dimaknai dalam sudut pandang positif. Semua rakyat Indonesia dapat berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan bahasa yang sama, yaitu Bahasa Indonesia.

Namun, alangkah bijaknya apabila melihat suatu fenomena berdasarkan dua mata pisau. Adanya konteks positif biasanya akan dibarengi dengan keterbalikannya, negatif. Masifnya penggunaan Bahasa Indonesia di berbagai daerah, secara perlahan menggeser bahasa daerah itu sendiri. 

Tanpa mengesampingkan esensi dan manfaat dari Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, fakta bahwa suatu bahasa dapat memakan bahasa lainnya memang tidak terbantahkan. Namun, situasi tersebut tidak terjadi akibat faktor bahasa itu sendiri secara tunggal. 

Manaf (2010) menjelaskan bahwa punahnya sebuah bahasa bukan disebabkan oleh faktor mikro bahasa sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor-faktor makro, yaitu faktor di luar bahasa, misalnya politik, ekonomi, sosial budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sikap masyarakat terhadap bahasa.

Bahasa Indonesia, sebagai bahasa persatuan memiliki kedudukan yang lebih kuat, terutama dalam ranah pendidikan dan dunia kerja. Hal ini menyebabkan anggota kelompok tertentu untuk lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia daripada bahasa daerah.

Dampak dari kepunahan bahasa daerah akan terasa sangat besar. Hilangnya sebuah bahasa berarti hilangnya pula kearifan lokal, tradisi, dan identitas budaya yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Xenoglosofilia: Berkah atau Ancaman bagi Bahasa Indonesia?

Peran Pemerintah, Masyarakat, dan Mahasiswa

Untuk mengatasi ancaman kepunahan, diperlukan upaya serius dari berbagai pihak. Contohnya, pemerintah bisa melakukan berbagai kegiatan yang berkaitan erat dengan bahasa daerah. Biasanya, kegiatan seperti ini tidak lepas dengan sebuah kebudayaan di daerah tersebut. Namun, perlu ditekankan kembali bahwa aspek yang dijadikan main character adalah bahasa daerah itu sendiri.

Masyarakat pun memiliki peran penting. Komunitas lokal bisa mengadakan kegiatan, seperti festival budaya, workshop bahasa, atau pelatihan sastra daerah. Di sekolah, guru dapat mengintegrasikan bahasa daerah dalam mata pelajaran tertentu, seperti seni atau sejarah.

Di sisi lain, mahasiswa memiliki kesempatan untuk ikut andil dalam mencegah kepunahan bahasa tersebut. Melalui berbagai penelitian terkait kebahasaan, seperti dialektologi dan sosiolinguistik, mahasiswa dapat mengetahui serta mendokumentasikan kondisi kebahasaan di suatu daerah.

Penelitian terkait kebahasaan ini tentu akan menjadi hal yang sangat fundamental. Indonesia yang terdiri dari ratusan bahasa daerah, akan sangat disayangkan apabila dari waktu ke waktu justru hilang satu per satu. Betapa mahalnya harga sebuah bahasa apabila bahasa tersebut baru disadari keberadaannya justru ketika hampir punah.

Sebuah Harapan Melalui Teknologi dan Generasi Muda

Di era digital, teknologi menjadi alat potensial untuk melestarikan bahasa daerah. Mulai banyak aplikasi terjemahan yang menambahkan bahasa daerah ke dalam platform mereka. Media sosial juga menjadi wadah kreatif bagi generasi muda untuk mempromosikan bahasa daerah melalui konten video, podcast, atau tulisan.

Generasi muda adalah salah satu kunci utama dalam upaya pelestarian. Dengan memanfaatkan kreativitas dan kemajuan teknologi, mereka dapat membuat bahasa daerah tetap relevan di tengah arus modernisasi. Sayangnya, bahasa daerah agaknya memiliki pamor yang kurang menarik dibanding bahasa asing. 

Masyarakat Indonesia atau kita secara khusus, gagal dalam memberi nilai pada bahasa daerah. Hal ini memicu hilangnya alasan dari orang-orang untuk bangga menggunakan bahasa daerah. 

Kegagalan ini tidak hanya terlihat dari semakin berkurangnya penutur bahasa daerah, tetapi juga dari hilangnya rasa bangga dalam menggunakan bahasa tersebut. Padahal, bahasa daerah seharusnya menjadi salah satu identitas yang kuat dan mampu mencerminkan kekayaan budaya serta kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap suku atau komunitas di Indonesia. 

Matinya Sebuah Bahasa

Berdasarkan data terbaru dari Badan Bahasa pada tahun 2022, tercatat 11 bahasa daerah yang telah dinyatakan punah. Di antaranya adalah Bahasa Tandia dari Papua Barat, Bahasa Mawes dari Papua, Bahasa Ternateno dari Maluku Utara, serta delapan bahasa dari Maluku, yaitu Kajeli/Kayeli, Piru, Moksela, Palumata, Hukumina, Hoti, Serua, dan Nila.

Selain itu, ada lima bahasa lain yang kondisinya kritis, alias hampir punah. Misalnya, Bahasa Reta dari Nusa Tenggara Timur, Bahasa Saponi dari Papua, Bahasa Ibo dari Maluku, Bahasa Meher dari Maluku Tenggara Barat, dan Bahasa Letti dari Maluku. Cukup menyedihkan melihat beberapa (dan semoga tidak bertambah banyak) bahasa telah benar-benar mati.

Matinya satu bahasa, artinya mati pula satu budaya. Sebuah hal yang tidak bisa disepelekan. Sebuah bahasa, terlepas dari banyak atau sedikit populasi yang menggunakannya, merupakan wadah yang menyimpan nilai-nilai, pengetahuan, dan identitas suatu masyarakat. 

Ketika sebuah bahasa menghilang, yang ikut lenyap bukan hanya kata-kata, tetapi juga kearifan lokal dan warisan budaya yang telah dibangun selama berabad-abad.

Bahasa nasional dan bahasa daerah seharusnya tidak dilihat sebagai dua hal yang bertentangan. Bahasa Indonesia berperan sebagai pemersatu bangsa, sementara bahasa daerah menjadi penjaga keberagaman budaya. 

Penggunaan Bahasa Indonesia yang semakin masif bukanlah sebuah masalah. Tentu dengan catatan bahwa tidak melupakan bahasa daerah sebagai komponen bahasa itu sendiri, tidak hanya sebagai budaya. Dengan begitu, penggunaan Bahasa Indonesia semakin baik dan keberadaan bahasa daerah semakin terjaga.

Penulis: Hilmi Aziz Rakhmatullah
Editor: Laksita Gati Widadi

Baca Juga: BIPAF 2024: Panggung Kolaborasi Budaya Internasional

Referensi:

Badan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Rapor Merah: Bahasa Daerah di Indonesia Akan Punah! & Revitalisasi Bahasa Daerah dan Konstruksi Indentitas Kewarganegaraan Global melalui Pemanfaatan Linguistik Lanskap sebagai Alat Pedagogis.

CNN. Data Kemdikbud: 11 Bahasa Daerah di Indonesia Punah, Maluku Terbanyak.

Ngusman Abdul, M. (2010). Pengembangan Bahasa Indonesia Dan Pelestarian Bahasa Daerah Melalui Penstabilan Diglosia.

Tempo. Kemdikbudristek Sebut 11 Bahasa Daerah Punah, Apa Penyebab dan Dampaknya?