Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena memilih jurusan kuliah sering kali diwarnai oleh stereotipe dan anggapan yang berkembang di masyarakat. Salah satu jurusan yang kerap menjadi sorotan adalah Sastra Indonesia. Banyak yang menganggap bahwa anak sastra hanya menghabiskan waktunya dengan membaca buku, menulis puisi, atau sekadar berdiskusi tentang hal-hal yang dianggap tidak penting. Tak jarang, muncul pertanyaan yang menggelitik: “Anak sastra modal halu doang dapat IPK tinggi.” Pernyataan ini bukan hanya sekadar candaan, tetapi juga mencerminkan pandangan sebagian orang yang menggampangkan jurusan Sastra Indonesia. Bagi sebagian orang ini, dunia sastra terlihat sederhana—hanya membaca dan menulis.
Mari kita bicara jujur: apakah stereotipe itu benar adanya? Atau, barangkali, komentar-komentar ini hanya lahir dari kurangnya pemahaman? Sebelum menjawab, penting untuk diingat bahwa sastra adalah cerminan kompleksitas manusia. Namun, di mata sebagian besar masyarakat, kompleksitas ini sering direduksi menjadi sesuatu yang “terlalu mudah untuk dihormati”.
Kuliah Modal Halu: Salah Kaprah yang Terus Hidup
Ada anggapan yang berkembang bahwa jurusan Sastra Indonesia identik dengan imajinasi tanpa batas—seolah-olah mahasiswa sastra hanya membutuhkan ‘halu’ untuk mendapatkan angka-angka di lembar hasil studi. Anggapan ini mengabaikan proses panjang yang sebenarnya dibutuhkan untuk memahami karya sastra secara mendalam.
Ima, mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia menanggapi stereotipe ini dengan tenang dan santai, “Imajinasi itu memang senjata kami, imajinasi itu fondasi yang kuat dari kreativitas yang menghasilkan seni, inovasi, bahkan teknologi. Kalau nggak ada imajinasi, orang-orang itu nggak akan menemukan fiksi yang membahas sisi terdalam manusia, nggak akan ada bacaan yang membuat orang empati, membuat orang sadar diri, membuat orang merasa relate, membuat orang berkembang.”
Lebih dari itu Ima menyampaikan bahwa karya sastra tidak hanya halusinasi kosong. Justru melalui sastra kita bisa membongkar kenyataan yang ada di masyarakat dengan cara yang lebih peka dan reflektif. Pada kenyataannya, sastra yang berasal dari ‘halu’ itu juga bisa mengancam sebuah negara, bukan? Studi sastra memang tidak pernah hanya tentang membaca novel atau puisi, tetapi juga menelaah konteks sejarah, sosial, politik, hingga filsafat yang melatarbelakangi karya tersebut.
Misalnya, dalam mempelajari puisi Chairil Anwar, mahasiswa sastra tidak hanya melihat aspek estetika atau keindahan kata-kata, tetapi juga harus memahami bagaimana konteks kemerdekaan Indonesia memengaruhi karya tersebut. Jadi, modal ‘halu’ saja tentu tidak cukup; diperlukan kemampuan analisis kritis, riset mendalam, dan wawasan yang luas.
IPK Minimal 3.8: Standar yang Sulit Dipahami
Beberapa kalangan sering menganggap jurusan Sastra Indonesia lebih ringan dibandingkan dengan jurusan lainnya. Anggapan itu berupa keyakinan bahwa jika kuliah di jurusan Sastra Indonesia, maka nilai tinggi harusnya menjadi hal lumrah. “Anak Sastra minimal IPK-nya 3.8 lah.” Pernyataan ini sering kali terdengar, seolah-olah memandang jurusan Sastra Indonesia hanya sebagai jalan pintas tanpa tantangan akademik.
Padahal, di balik stereotipe tersebut, ada serangkaian tantangan yang kerap diremehkan. Banyak yang berpikir IPK mahasiswa sastra sudah sewajarnya dan seharusnya tinggi karena dianggap jurusan dengan tekanan yang rendah. Pandangan ini sering kali melukai, merendahkan usaha mahasiswa sastra, bahkan menimbulkan perasaan tertekan dan insecure.
Wakil Dekan Bidang Akademik FPBS, Prof. Dr. Yulianeta, M.Pd. (yang akrab disapa Bu Neta), menyatakan bahwa, “Stigma itu mungkin tumbuh karena sebagian orang melihat mahasiswa di bidang bahasa dan sastra tampak lebih santai dibandingkan mereka yang belajar di bidang teknik atau kedokteran. Padahal, karakter dan tuntutan kerja di setiap bidang memang berbeda. Menurut saya, kita harus berhenti saling membandingkan seperti itu. Setiap mahasiswa memiliki potensi unik yang layak diapresiasi, dan yang perlu kita ubah adalah pola pikir atau mindset kita dalam memaknai perbedaan tersebut.”
Baca Juga: Kehidupan Setelah Lulus: 5 Profesi Untuk Lulusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Hal serupa disampaikan oleh Ima dari pandangannya sebagai mahasiswa, “Ketika berprestasi, dianggap biasa-biasa saja, padahal menurutku anggapan seperti ini cukup tidak adil, bahkan tidak adil sama sekali,” Ima juga menekankan bahwa materi yang dipelajari di jurusan sastra jauh lebih kompleks dari yang selama ini orang-orang bayangkan. “Bukan cuma bikin quotes galau terus share di sosmed, tapi kita juga belajar banyak hal yang lebih kompleks, kayak teori-teori sastra, analisis teks dengan beragam pendekatan, belajar linguistik, isu sosial, politik, bahkan filsafat.”
Faktanya, interpretasi sastra memerlukan keterampilan analisis yang sangat mendalam. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa keberhasilan akademik mahasiswa sastra tidak bisa diukur hanya dari angka di lembar studi. Standar IPK tinggi ini tidak hanya menunjukkan ekspektasi masyarakat yang keliru, tetapi juga beban tambahan yang sering kali membatasi mahasiswa sastra untuk mengeksplorasi lebih jauh tanpa tekanan nilai semata.
Orang Indonesia Kok Belajar Bahasa Indonesia?
Stereotipe lain yang sering muncul adalah, “Orang Indonesia kok belajar bahasa Indonesia?” Pertanyaan ini sering kali mencerminkan miskonsepsi mendasar tentang apa yang sebenarnya dipelajari dalam jurusan Sastra Indonesia. Belajar Sastra Indonesia bukan sekadar mempelajari tata bahasa atau ejaan. Mahasiswa Sastra Indonesia mendalami kekayaan budaya, sejarah, dan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra. Mereka juga mempelajari teori-teori sastra dan linguistik, yang aplikasinya bisa sangat luas, termasuk dalam analisis awal mula bahasa diciptakan, bunyi bahasa, hingga pengembangan teknologi berbasis bahasa, seperti AI.
Ironisnya, berdasarkan data PISA (Programme for International Student Assessment), rata-rata kemampuan literasi siswa Indonesia masih rendah. Pada tahun 2018, Indonesia berada di peringkat 72 dari 77 negara dalam hal literasi, di mana hasil ini merupakan penurunan kualitas literasi Indonesia yang cukup drastis dari data PISA tahun 2015.
Selanjutnya, pada tahun 2022, hasil PISA menunjukkan Indonesia hanya naik 5 sampai 6 posisi dibanding hasil PISA 2018. Ini menunjukkan bahwa mempelajari dan memperdalam bahasa dan sastra Indonesia justru menjadi hal yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan literasi bangsa. Lantas, masih pantaskah mempertanyakan apa pentingnya belajar bahasa Indonesia?
Oh, Jurusan Sastra Indo, Berarti Lulus Jadi Guru?
Pentingnya pemahaman terkait jurusan Sastra Indonesia ternyata tidak hanya sebatas pada pendidikan atau akademik. Sering kali, setelah berbicara tentang jurusan Sastra Indonesia, pertanyaan klasik yang muncul adalah, “Lulus jadi apa?” Banyak orang berasumsi bahwa lulusan Sastra Indonesia hanya bisa menjadi guru bahasa Indonesia. Lebih parah lagi, “Ngapain sih kuliah sastra? Apa sih faedahnya, nanti mau jadi apa?” Kalimat-kalimat semacam itu tentu saja menjadi tekanan tersendiri yang tidak hanya datang dari masyarakat umum, tetapi juga dari lingkungan sekitar, bahkan kadang berasal dari sesama mahasiswa.
Terkait hal tersebut, Bu Neta menyampaikan kuliah sejatinya bukan hanya soal mempersiapkan diri untuk sebuah profesi, tetapi lebih dalam dari itu, yakni membentuk cara berpikir yang kritis, reflektif, dan membangun jejaring yang bermakna. Jika kita hanya mengandalkan bangku kuliah dan nama jurusan untuk menentukan siapa diri kita di masa depan, maka kita sedang membatasi potensi diri sendiri.Kuliah bukan sekadar tentang mengejar gelar atau pekerjaan, melainkan sebuah perjalanan untuk memahami diri, memperluas wawasan, dan menumbuhkan rasa haus akan ilmu yang tak pernah selesai. Di sanalah letak kekuatan pembelajaran sejati: saat kita menjadi pribadi yang terus tumbuh dan memberi makna.
Baca Juga: Jika Semua Sekolah Sama, Mengapa Kesempatan Kita Berbeda?
Ima mengaku pernah merasa gamang saat ditanya alasan memilih jurusan ini. “Kenapa aku masuk sastra? Itu pertanyaan yang sangat-sangat klasik banget,” tuturnya. Ia juga pernah berada di titik di mana ia bingung pada akhirnya apa yang ingin ia tuju. Namun, semua berubah ketika ia menyadari bahwa justru dari sastra ia menemukan fleksibilitas dan kebebasan. “Aku tahu bahwa ke depannya sastra itu sangat fleksibel. Bisa jadi penulis, peneliti, editor, jurnalis, content creator, script writer, bahkan bisa kerja juga di lembaga riset. Kerja di dunia kreatif juga bisa banget,” ujar Ima dengan yakin.
Menurut survei dari Forbes, lulusan ilmu humaniora, termasuk sastra, memiliki fleksibilitas untuk beradaptasi dengan berbagai bidang pekerjaan karena keterampilan kemampuan berpikir kritis, keterampilan komunikasi, dan sensitivitas budaya yang dimilikinya. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya kita sadar kemampuan yang diperoleh selama kuliah sastra sangatlah beragam dan aplikatif dalam dunia kerja. Mahasiswa sastra tidak dikotak-kotakkan dalam satu karier tertentu, melainkan justru memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi banyak hal.
Gugat Stereotipe
Stereotipe tentang anak sastra sering kali didasarkan pada asumsi yang keliru dan kurangnya pemahaman masyarakat tentang jurusan ini. Padahal, jurusan Sastra Indonesia bukan hanya tentang nilai atau karier, tetapi juga tentang membangun kemampuan berpikir kritis, memahami kompleksitas manusia, dan menghargai keragaman perspektif.
“Menurut saya, sastra bukan hanya milik mahasiswa sastra—sastra adalah milik semua orang. Setiap orang perlu belajar sastra, karena di dalamnya tersimpan kekuatan untuk memahami kehidupan secara lebih dalam. Sastra tidak seharusnya menjauh dari masyarakat. Ia bukan menara gading yang tinggi dan terasing, tetapi jembatan yang menghubungkan nilai-nilai kemanusiaan dengan pengalaman sehari-hari. Sastra bukan sekadar objek kajian, melainkan alat pembelajaran yang hidup—yang mampu menggerakkan hati, membangkitkan empati, dan memberdayakan masyarakat secara nyata.” Ungkap Bu Neta.
Daripada terus mempertanyakan IPK atau masa depan lulusan sastra, mengapa kita tidak mulai mengapresiasi kontribusi mereka dalam dunia pendidikan, kebudayaan, dan kreativitas? Mahasiswa sastra adalah mereka yang belajar menggali makna di balik kata, merangkai narasi dari sejarah, dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan melalui bahasa.
Sastra bukan sekadar bidang studi—ia adalah ruang pembentukan nalar, empati, dan imajinasi. Sudah saatnya kita melepaskan diri dari stereotipe sempit, dan mulai melihat sastra sebagai fondasi esensial dalam membentuk manusia yang berpikir, merasakan, dan berkarya.
Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita ajukan bukanlah, “Lulus jadi apa?” melainkan, “Apa yang bisa kita pelajari dari mereka yang belajar memahami manusia melalui kata?”
Penulis: Azila Fitria Ramadhani
Editor: Auliya Nur Affifah
Baca Juga: Tips Menghadapi UAS Ala Mahasiswa Sastra