Membawa Sastra ke Layar: Ekranisasi Cerpen Corat-Coret di Toilet

Bagaimana jadinya jika sebuah cerpen dihidupkan dalam film? 

Mahasiswa akhir Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) membuktikan hal itu melalui ekranisasi film yang ditayangkan pada 10 Desember 2024 di auditorium FPBS UPI. Selain merupakan bagian dari tugas akhir mata kuliah ekranisasi, penayangan film “Corat-Coret di Toilet” menjadi ruang apresiasi yang baru bagi sastra Indonesia di kalangan mahasiswa.

Film pendek alih wahana dari cerpen “Corat-coret di Toilet” berhasil memberi pengalaman baru kepada penonton dalam pemutaran perdananya. Cerpen yang menggambarkan kritik sosial melalui coretan dinding toilet sebagai medium ekspresi kini dihidupkan melalui layar lebar dengan pendekatan visual yang lebih dramatis.

Meski tetap setia pada cerita—tentang keresahan sosial bagi masyarakat yang tidak mampu—lebih tepatnya tidak percaya dalam menyuarakan aspirasi-aspirasi dan kritikan terhadap pemerintah yang kemudian disalurkan pada tembok polos, beberapa perubahan dilakukan untuk memperkuat daya tarik film. Misalnya, monolog atau dialog antar tokoh yang diganti dengan lebih menonjolkan gestur dan mimik wajah, penambahan dialog improvisasi yang tidak ada dalam karya asli, dan pengurangan aktor yang lebih disesuaikan dengan sumber daya manusia yang ada. Perubahan ini menuai beragam respon dari penonton.

Tanggapan Para Penonton

Seorang mahasiswa jurusan sastra yang membaca cerpen aslinya merasa adaptasi ini berhasil menangkap tema besar cerpen walaupun dengan beberapa kekurangan yang masih dapat dimaklumi. 

Baca Juga: PAB 2024: Tradisi Lama Hidup Lagi

“Menurut saya, karena ini pertama kali menonton sebuah ekranisasi, saya sangat mengapresiasi semua kerja keras yang sudah diberikan, dari produksi sampai filmya ditayangkan. Banyak yang harus diperbaiki karena mungkin bidang yang berbeda, tetapi dari segi ceritanya, pemaknaan yang diberikan sudah cukup padat dan jelas untuk disampaikan,” ujar Nabila, salah satu perwakilan yang diundang untuk menonton penayangan film.

Pendapat ini diamini oleh beberapa penonton lain yang merasa film ini atau film lain—yang dialih wahanakan dari karya sastra—selalu memberikan dimensi baru, meski ada nuansa cerpen yang hilang, bahkan berbeda dari cerpen aslinya. Kritik juga muncul dari penonton lain yang merasa ada bagian dalam cerpen yang terasa kurang terwakili di film. Pendapat dan kritikan itu mendapat jawaban langsung dari Ipang, selaku astrada film pendek Corat-coret di Toilet. Ia menyebutkan bahwa justru perbedaan itu yang akan dikaji dalam ekranisasi.

Sejalan dengan jawaban Ipang, seorang praktisi film, Rosa Salma Febriliani, yang juga adalah alumni kampus, menjelaskan bahwa tantangan utama dalam adaptasi atau alih wahana adalah peralihan karya sastra menjadi film tanpa menghilangkan esensinya secara visual, “Tidak semua yang ada dalam karya sastra dapat divisualisasikan ke dalam film. Kita hanya harus mengambil/menyeleksi elemen-elemen yang sekiranya penting untuk diangkat. Perbedaan itu yang nantinya akan menjadi nilai jual, value yang dapat ditawarkan, itu sebuah kebaharuan.”

Relevansi Sastra di Era Modern

Penayangan ini memantik diskusi lebih jauh tentang ekranisasi dan perannya dalam memperkenalkan karya sastra kepada generasi muda, bahwa ini dapat menjadi sebuah inovasi untuk mempertahankan relevansi sastra di era modern. Penayangan film ini membuktikan bahwa karya sastra tidak hanya bisa menjadi bacaan, tetapi juga pengalaman yang menggugah. Dengan kreativitas mahasiswa dan bimbingan dari dosen, ekranisasi ini membuka jalan bagi lebih banyak karya sastra Indonesia untuk dihidupkan melalui medium yang berbeda.

Penulis: Mimah Nur Baiti
Editor: Diana

Baca Juga: 100 Tahun A.A. Navis: Karya-Karya Penuh Pesan dan Nilai Sosial