Menelusuri Makna Kehidupan dalam lagu “Untuk Apa/Untuk Apa?” Melalui Lensa Postmodernisme

“Untuk Apa/Untuk Apa?” lagu yang dirilis oleh Hindia pada tahun 2019 mengandung tema yang cukup relevan dengan kondisi kehidupan manusia zaman sekarang. Lagu ini bukan sekadar medium kritik sosial, tetapi juga terselip pesan yaitu sebagai refleksi diri bagi seseorang yang terjebak dalam hasrat duniawi. Isi lagu “Untuk Apa/Untuk Apa?” berkisah akan seseorang yang terlena dalam ambisinya mengejar dunia sampai-sampai abai akan segala sesuatu di sekelilingnya. Selain itu, tersisip pula sindiran tajam terhadap gaya hidup modernisme, yang ditandai dengan hasrat mencapai kesuksesan berupa kekayaan materil. Sehingga, dunia yang semakin terfokus pada kekayaan semu, menganggap uang adalah segalanya, lupa akan esensi dari hidup itu sendiri, seperti kedamaian batin, hubungan antar sesama, dan kebahagiaan dari hal-hal sederhana, yang pada akhirnya membuat diri sendiri teralienasi dari orang terdekatnya.

Memaknai Lagu “Untuk Apa/Untuk apa?”: Refleksi Akan Ambisi Duniawi
Bagian verse 1

Rumah ini dahulu sederhana
Ruang demi ruang dibangun bersama
Angan-angan yang dulu mimpi belaka
Kita gapai segala yang tak disangka

Tak sadar menimbun lebih berharga
Berdiri di atas yang lebih bermakna
Anak tangga yang berlebihan jumlahnya
Mendaki terus entah mau ke mana

Verse pertama bermakna tentang bagaimana sesuatu yang mulanya hanya berupa angan belaka, lambat laun menjadi nyata. Kata “rumah” menjadi simbolis dalam merefleksikan pencapaian yang terus berkembang, dari yang sederhana hingga besar ruang demi ruangnya. Namun, dalam proses perkembangan itu, manusia seringkali terlalu fokus mengejar materi tanpa sadar ia melewatkan hal yang lebih bermakna yakni kebahagiaan dari orang-orang terdekat. Lalu, dirinya menaiki tangga terus menerus merasa perlu naik lebih tinggi tanpa tahu tujuan akhir. Hal tersebut menandakan bahwa manusia tak punya rasa puas dalam mengejar materi duniawi. 

Dan kau selalu bertanya, “Untuk apa?”
Mengelak kerap kutemukan jawabnya
Medusa dan semakin keras kepala
Seakan hidup hanya untuk bekerja

Mengejar mimpi sampai tak punya rasa
Mengejar mimpi sampai lupa k’luarga
Mengejar mimpi, lupa dunia nyata
Mengejar mimpi, tapi tidak bersama

Kritik yang disampaikan mulai menguat pada bagian chorus 1, puncaknya tatkala muncul satu frasa berupa pertanyaan sekaligus sebagai judul yang mewakili keseluruhan isi lagu, yakni “Untuk apa?”. Sebuah sentilan kecil diperuntukan bagi para manusia yang hidupnya dihabiskan hanya untuk bekerja hingga abaikan keluarga, apatis terhadap sekelilingnya, dan lupa akan makna hidup yang sesungguhnya.

Bagian verse 2

Padahal katanya uang takkan kemana
Jika memang rezeki, ya, ‘kan ditransfer juga
Namun dikejar terus seakan satwa langka
Diprosesnya melintah, lupa jadi manusia
Melihat hawa jadi panas, lupa cuaca
Tertiup angin, buah jatuh digigit juga
Seakan perlu banyak seperti Dewa Siwa
Padahal manusia hanya bertangan dua
Kasur yang luas tapi bangun sendiri
Mobil baru mengkilap, tanpa penumpang di kiri
Banyak sepatu, minim privasi, susah pergi
PS4, Nintendo Switch tanpa player dua

Pada bagian verse 2, sindiran terhadap gaya hidup materialistis semakin jelas. Di sini, terkandung peringatan bahwa rezeki setiap orang akan datang pada waktunya. Namun, kenyataannya, banyak yang terus mengejar uang seolah itu adalah tujuan hidup utama. Hal ini manusia digambarkan seperti lintah yang terus menghisap tanpa merasa puas, terjerat keserakahan yang menghilangkan kemanusiaannya. Verse 2 ini ditutup dengan sebuah ironi; apa gunanya kemewahan jika yang dirasakan hanyalah kesepian.

Dan dahulu kau bertanya, “Untuk apa?”
Lalu kuperhatikan ini semua
Barang mahal yang tidak ada harganya
Dan sekarang ku bertanya, “Untuk apa?”

Chorus 2 mengandung ajakan perenungan yang lebih mendalam akan makna sebenarnya dari hidup serta tujuan duniawi yang seringkali disalah kaprahkan. Sehingga adanya harta serta kemewahan yang didapat, nyatanya tak ada nilai bila dibandingkan dengan esensi kehidupan itu sendiri. 

Terlepas apa yang engkau percayai
Tetap takkan ada yang dibawa mati
Kembali ke tanah dan tumbuh cemara
Mana saja harta yang lebih berharga?
Terlepas apa yang engkau percayai
Tetap takkan ada yang dibawa mati
Menimbun surga yang tak bisa dibagi
Akhirnya pun wafat sendiri-sendiri

Bagian bridge semakin memperdalam kritik terhadap pengejaran duniawi sekaligus sebagai tamparan kesadaran akan kefanaan hidup. Hal ini merupakan sebuah refleksi betapa tak bermaknanya segala hal yang dikejar jika hanya untuk duniawi semata. Pesan ini merujuk pada sebuah perenungan bahwa kebahagiaan sejati tidak bisa ditemukan dalam pencapaian materi semata.

Bagian verse 3

Mengangkat ikat rambutmu yang tertinggal
Di lengan kiri mobilku, terakhir kita menonton
Jariku tak juga kuat, sungguh janggal
Lebih berat dari seribu ton
Satu dari ribuan hal kecil
Yang sekarang menjadi terampil
Menggosok garam di atas luka
Dulu tak ada apa-apanya
Rute pagi yang dahulu ceria
Menu favorit kini hambar rasanya
Foto yang tak berani dilirik mata
Kontak sekarang jadi sebatas nama
Masing-masing selamat dan bercerita
Namun tidak lagi miliki bersama

Pada bagian verse 3 ditampakkan transisi perubahan hubungan yang mulanya dekat tapi kini malah sebaliknya. Simbolis “ikat rambut” sebagai representasi dari seseorang yang telah lama hilang, tapi jejak/kenangannya masih tersisa. Selain itu, tersisip pula makna akan penyesalan-penyesalan terhadap orang tersayang yang sudah tak lagi disampingnya. Hal tersebut dilukiskan bahwa seseorang yang menggapai mimpinya dengan sakit-sakitan, tak lebih pedihnya dari kehilangan orang-orang di sekeliling yang dimetaforakan seperti menggosok garam di atas luka.

outro
Cepat namun sendiri, untuk apa?
Bersama tapi meracuni, untuk apa?
Cepat namun sendiri, untuk apa?
Bersama tapi meracuni, untuk apa?
Cepat namun sendiri, untuk apa?
Bersama tapi meracuni, untuk apa?

Lagu ini ditutup oleh pertanyaan retoris yang direpetisikan secara apik dan menyentuh. Untuk terakhir kalinya, ajakan perenungan semakin diperkuat tentang makna yang sesungguhnya dari upaya keras yang dilakukan dalam mengejar duniawi. Outro ini pun menjadi seruan untuk menyadari bahwa hidup yang penuh ambisi duniawi tapi mengabaikan hubungan dengan sesama tentunya akan menyebabkan hilangnya arah akan esensi kehidupan yang sesungguhnya. 

Lensa Postmodernisme

Sebelum menyelam lebih jauh mengenai kaitannya dengan lagu “Untuk Apa/Untuk Apa?”, perlu dipahami terlebih dahulu definisi postmodernisme itu sendiri. Postmodernisme adalah sebuah aliran filsafat yang muncul pada abad 20 sebagai kritik terhadap modernisme, yakni pada gagasan yang dianggap terlalu rasional, objektif, dan universal. Selain itu, postmodernisme menolak adanya kebenaran tunggal dan menekankan relativitas, subjektivitas, dan keragaman dalam memandang realitas. 

Jean-Francois Lyotard adalah orang yang memperkenalkan postmodernisme dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan di tahun 1970-an. Dalam karyanya yang berjudul “The postmodern Condition: A Report on Knowledge,” Dia mengartikan postmodernisme sebagai kondisi ketika narasi besar telah kehilangan kredibilitasnya. Ia mengkritik narasi besar seperti agama, ideologi politik, dan ilmu pengetahuan yang mencoba memonopoli kebenaran dan memaksakan pandangan tunggal kepada masyarakat.

Postmodernisme menentang adanya narasi besar (grand narrative) yang mengartikan seluruh aspek kehidupan manusia secara tunggal. Mereka memandang bahwa tak ada suatu kebenaran absolut yang dapat menaungi seluruh kompleksitas kehidupan manusia. Oleh sebab itu, sebaliknya paham ini mengakui adanya pluralisme dan relativisme dalam memandang realitas, setiap individu berhak memiliki cara pandang dan kebenarannya masing-masing.

Salah satu narasi besar yang ditentang postmodernisme ialah perihal konsep makna sejati dari kehidupan yang termanifestasikan dalam lagu “Untuk Apa/Untuk Apa” oleh Hindia. Di dalam lagu ini terselip salah satu fenomena modernisme, yakni gagasan bahwa makna serta tujuan hidup adalah untuk mencapai kesuksesan. Mirisnya, hal itu diyakini oleh sebagian besar orang serta dianggap sebagai kebenaran yang absolut, sehingga fenomena yang terjadi ialah keserakahan. Mereka berupaya keras mencapai kesuksesan tersebut sampai mengabaikan orang-orang disekelilingnya. Ironisnya yang didapati hanyalah kesepian, harta yang ditimbun menjadi tak ada artinya. 

Kesimpulan

Baca Juga: Mengajar Bahasa Indonesia di Satuan Pendidikan Kerja Sama: Sebuah Refleksi

Lewat lagunya, Hindia mengadopsi paham postmodernisme untuk mengkritik gagasan tentang tujuan hidup yang sering diyakini orang-orang. Melalui paham tersebut, ia mengajak pada perenungan makna kehidupan yang sesungguhnya, yakni bahwa pada kenyataannya, tak ada kebenaran tunggal yang dapat menjelaskan makna hidup manusia. Sebaliknya, makna hidup sifatnya relatif tergantung pada perspektif masing-masing sehingga dari tiap individu bebas menciptakan makna hidupnya sendiri. Dengan itu, jangan sampai tertelan arus modernisme yang memaksakan pada satu pandangan atau bergantung pada suatu konstruksi sosial yang tidak pasti. 

Penulis: Helma Mardiana
Editor: Diana

Baca Juga: 3 Rekomendasi Film yang “I’ll Love You Till The Day That I Die”