Ojol Korban Brutalisme Aparat: Hukum Melindungi Siapa?

Insiden pemukulan terhadap seorang pengemudi ojek online (ojol) yang dikira sebagai peserta demonstrasi mahasiswa menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) kembali mencoreng wajah penegakan hukum di negeri ini. Kejadian pada 20 Maret 2025 di bawah Fly Over sekitar Gedung DPR RI, Jakarta, memperlihatkan bagaimana aparat kepolisian bertindak represif tanpa memastikan terlebih dahulu identitas korban. Raka (22), seorang ojek online (ojol) yang saat itu hanya sedang menepi untuk mengisi daya ponselnya, mendadak dikepung, dipukul, dan ditendang oleh belasan polisi (Tempo, 21 Maret 2025). Kekerasan ini menjadi alarm bahaya bagi masyarakat sipil yang sewaktu-waktu bisa menjadi korban salah tangkap dan kekerasan aparat.

Lebih mengkhawatirkan lagi, tindakan ini mencerminkan pola lama yang terus berulang dalam penanganan aksi demonstrasi di Indonesia. Bukannya mengedepankan pendekatan persuasif, aparat justru menunjukkan perilaku brutal, bahkan terhadap individu yang sama sekali tidak terlibat dalam aksi. Tidak hanya Raka, Tempo juga mencatat bahwa ada korban lain yang mengalami pemukulan serupa. Rekaman kejadian ini telah menyebar luas di media sosial dan mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Baca Juga: Pembebasan Perempuan sebagai Cahaya untuk Indonesia Gelap

Dikutip dari Tribunnews, saat diwawancarai Raka mengatakan dirinya dipaksa mengaku sebagai mahasiswa demonstran. “Gue ditanya, ‘Kamu mahasiswa ya?’ Gue jawab, ‘Bukan,’ langsung dipukul,” katanya. Fakta ini menunjukkan bahwa dalam operasi pengamanan aksi, polisi lebih memilih menggunakan kekerasan dibanding melakukan verifikasi identitas secara cermat.

Tindakan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah aparat keamanan masih menjunjung tinggi prinsip due process of law? Jika seseorang yang kebetulan berada di sekitar lokasi demonstrasi saja bisa menjadi korban pemukulan, maka ini bukan sekadar kesalahan prosedur, melainkan cerminan dari budaya kekerasan yang masih dipelihara di tubuh kepolisian. Negara demokratis seharusnya menjamin kebebasan berpendapat dan hak warga negara untuk tidak menjadi sasaran kekerasan sewenang-wenang. Namun, berdasarkan informasi yang tersedia hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi dari pihak kepolisian terkait insiden pemukulan pengemudi ojek online (ojol) bernama Raka yang diduga salah sasaran saat demonstrasi menolak RUU TNI. 

Baca Juga: UU TNI: Potensi Hilangnya Kebebasan Berekspresi

Kasus Raka bukan sekadar insiden yang bisa berlalu begitu saja. Peristiwa ini harus menjadi momentum untuk mengevaluasi pola kerja aparat dalam menangani aksi massa. Lembaga pengawas kepolisian serta Komnas HAM harus turun tangan dan memastikan ada akuntabilitas dari tindakan ini. Tanpa adanya kejelasan hukum dan sanksi bagi pelaku kekerasan, maka publik akan terus kehilangan kepercayaan terhadap institusi keamanan yang seharusnya melindungi, bukan mengintimidasi.

Brutalisme aparat bukan hanya melukai individu, tetapi juga merusak kepercayaan terhadap negara hukum. Jika kasus seperti ini terus dibiarkan tanpa pertanggungjawaban yang jelas, maka kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya dilindungi oleh hukum di negeri ini?

Penulis: Azila Fitria Ramadhani
Editor: Auliya Nur Affifah

Baca Juga: Vandalisme Tidak Lahir dari Ruang Hampa, Tembok Menjadi Saksi Kecacatan Demokrasi