Pembebasan Perempuan sebagai Cahaya untuk Indonesia Gelap

“Women, Life, Freedom! Women, Life, Freedom!”

Seruan di atas dan beberapa yang lain terus bergema di langit Bandung Raya sejak terik matahari hingga dingin angin malam yang menyapa pada Sabtu, 08 Maret 2025. Kata-kata tersebut bukanlah sekadar rangkaian, melainkan sebuah cerminan dari sejarah panjang perjuangan perempuan yang menolak untuk dibungkam oleh sistem yang diskriminatif dan menjadikan perempuan sebagai bahan objektifikasi semata. Setiap seruan ini mengandung penderitaan dan harapan untuk masa depan yang lebih setara, terkhusus untuk para pemilik rahim yang selama ini dianggap sebagai mesin reproduksi semata.

Ratusan massa memadati Taman Dago, pusat peringatan International Women’s Day (IWD) 2025 di Bandung. Di antara kerumunan itu, bendera, poster, dan spanduk yang memuat tuntutan-tuntutan keadilan berkibar gagah, mewakili kegundahan satu sama lain. Di tengah keramaian, gema suara orasi hadir bergantian, pengekspresian diri melalui puisi atau monolog turut hadir dalam upaya kesetaraan, dan aksi simbolik obor menyala untuk menerangi Indonesia gelap.

Jejak Perjalanan Perempuan Sedunia

Perayaan Hari Perempuan Sedunia memiliki akar yang sangat dalam di dalam sejarah perjuangan hak-hak perempuan. Dimulai pada awal abad ke-20, momentum ini merupakan reaksi atas ketidakadilan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Pada tahun 1908, sekitar 15.000 perempuan di New York City turun ke jalan menuntut hak untuk memilih, kondisi kerja yang lebih baik, dan kesetaraan upah. Aksi protes ini menjadi titik tolak bagi gerakan global yang menuntut pengakuan atas hak-hak perempuan. Lalu, apakah di zaman sekarang pemenuhan kesetaraan gender sudah terlaksana dengan sepenuhnya? Oh, tentu saja belum.

Berkaca pada tahun 1910, Clara Zetkin, seorang aktivis asal Jerman, mengusulkan agar Hari Perempuan Sedunia dirayakan secara global sebagai bentuk solidaritas antara perempuan pekerja. Ide ini bertujuan untuk menggalang dukungan internasional dalam melawan penindasan dan ketidaksetaraan. Namun, pengakuan resmi baru datang pada tahun 1977, ketika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan 8 Maret sebagai Hari Perempuan Sedunia. Pengakuan ini mengukuhkan tanggal tersebut sebagai simbol perlawanan terhadap diskriminasi dan ketidaksetaraan yang masih dirasakan perempuan di seluruh dunia, termasuk Bandung.

Bandung Raya dalam Gema Perjuangan

Berlatar tempat di Taman Dago, peringatan International Women’s Day 2025 tidak hanya sekadar seremonial. Pengutaraan pengalaman dan pandangan atas ruang gerak perempuan yang terbatas karena adanya sistem patriarkis skeptis disalurkan melalui flashmob “Bayar Polisi”, pernyataan sikap terbuka, mimbar bebas, serta refleksi lintas agama dan kepercayaan. Tak hanya itu, doa bersama dan kultum pun menjadi bagian dari rangkaian acara yang semakin magis ini. Aksi menyalakan obor sembari mengelilingi sekitaran Taman Dago menjadi simbolis bahwa persatuan perempuan yang tertindas adalah penerangan melawan kegelapan imperialisme.

Desi Fitriani, salah satu partisipan di mimbar bebas, Sabtu (08/03/2025). (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib).

Perempuan dan pria dari berbagai usia, mahasiswa, komunitas buruh, dan aliansi lain berkumpul dalam satu atap yang sama. Menuntut keadilan serta perubahan struktural terhadap sistem yang belum selaras dengan janji-janji sebelumnya, berharap aksi ini dapat memicu reformasi sosial dan politik yang menyeluruh.

“Mewakili perspektif laki-laki, sebenarnya banyak yang perlu ditekankan, tapi fokus saya di sini untuk membangun organisasi politik dan ruang diskusi politik yang anti seksisme. Saya berharap dengan adanya momentum seperti hari perempuan, penindasan, atau isu lainnya, kita tetap terus berani untuk turun ke jalan dan terus berani bersuara. Rakyat, buruh, dan perempuan Indonesia bisa bersama-sama berorganisasi untuk melebihi gerakan spontan, yaitu menjadi gerakan perjuangan demokrasi yang terus hidup. Ini bisa diwujudkan dengan organisasi politik yang anti seksisme dan inklusif,” terang Leon dari PS Sumedang, selaku salah satu massa aksi pada Sabtu (08/03).

Baca Juga: Joki Tugas: Mahasiswa Terlena, Joki Kaya, Sistem Pendidikan Tertawa

49 Tuntutan untuk Penerangan
Aksi simbolik massa menerangi “Indonesia Gelap” sebelum pembacaan press release, Sabtu (08/03/2025), (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib).

Di balik harap dan semangat yang bergumul, dilahirkanlah 49 tuntutan (press release) dari delapan sektor terfokus. Tuntutan-tuntutan ini dilayangkan untuk menagih kembali utang-utang pemerintah atas rakyat yang disampaikan perwakilan Korlap dan Dinlap IWD 2025, di antaranya:

  • Gender dan Kekerasan Berbasis Gender
    Tuntutan ini mencakup upaya untuk mewujudkan perlindungan nyata dari segala bentuk kekerasan berbasis gender. Menuntut agar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) tidak hanya menjadi simbol, melainkan diimplementasikan dengan tegas melalui peningkatan anggaran pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Selain itu, mendesak agar setiap pelaku kekerasan seksual mendapatkan hukuman yang setimpal dan menghapus praktik sunat perempuan yang selama ini dianggap sebagai alat kontrol terhadap tubuh perempuan.
  • Pendidikan dan Kesadaran Publik
    Menyerukan evaluasi ulang terhadap Permendikbud No. 55/2024. Mendesak agar pendidikan seks tidak lagi dianggap tabu, melainkan diakui sebagai hak dasar. Selain itu, tuntutan untuk menetapkan 8 Maret sebagai hari libur nasional juga diajukan agar momentum peringatan ini dapat terus digaungkan masyarakat luas tanpa terbatas hari kerja.
  • Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial
    Tuntutan dalam sektor ini fokus pada pengendalian harga bahan pokok dan jaminan akses layanan kesehatan mental gratis. Selain itu, menuntut agar pendidikan diberikan secara gratis tanpa tunduk pada kepentingan kapitalisme, serta menolak alokasi anggaran yang lebih besar untuk militer dan polisi daripada kesejahteraan rakyat. Hal ini bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan sosial yang dapat dirasakan oleh seluruh kalangan.
  • Hak Buruh
    Di sektor hak buruh, terdapat tuntutan untuk mencabut Undang-Undang Cipta Kerja dan mengesahkan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT). Menuntut agar hak-hak seperti maternitas, cuti haid, dan cuti hamil diakui tanpa pemotongan upah atau ancaman PHK. Selain itu, kembali menolak dengan lantang agar kerja domestik tetap dianggap sebagai pekerjaan yang menopang ekonomi, bukan sebagai pekerjaan yang dieksploitasi karena memang sudah digantungkan pada kata “kodrat perempuan”.

Baca Juga: Perokok Bijak Hanyalah Omong Kosong

  • Hak LGBTQIA+, Disabilitas, dan Kelompok Rentan
    Berisi tuntutan agar hak hidup bebas bagi komunitas LGBTQIA+ dihormati dan penghentian diskriminasi sistematis yang menimpa kelompok minoritas. Selain itu, akses penuh bagi penyandang disabilitas di segala ranah dan penghapusan regulasi diskriminatif yang menghambat pendirian rumah ibadah.
  • Hak Reproduksi dan Kesehatan Seksual
    Dalam sektor ini, tuntutan utamanya ialah kesehatan reproduksi diakui sebagai hak, bukan privilese. Selanjutnya, menuntut perihal penyediaan akses layanan kontrasepsi yang aman, gratis, dan berkeadilan gender.
  • Demokrasi, HAM, dan Kebebasan Sipil
    Menyerukan agar suara rakyat tidak lagi dibungkam, menghapuskan regulasi represif, dan menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang masih menggantung. Disertai tuntutan lainnya yang mencakup pencabutan tap MPRS No. 25 tahun 1966 yang melarang ajaran Marxisme-Leninisme, revisi pasal-pasal dalam KUHP yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, dan penghentian hubungan dagang dengan entitas yang mendukung penjajahan.
  • Agraria dan Ekologi
    Di sektor agraria, tuntutan utamanya adalah penolakan perampasan ruang hidup rakyat dan nasionalisasi sumber daya alam untuk kepentingan masyarakat, bukan oligarki. Dibuktikan dengan pencabutan izin perusahaan-perusahaan yang dianggap merampas tanah rakyat secara tidak adil.

Menanggapi hal ini, Rosa, salah satu mahasiswa asal Bandung yang ikut menjadi bagian perjuangan hari ini menaruh harap, “… aku berharap dari 49 tuntutan yang hari ini kita gaungkan dan perjuangkan dapat terealisasi semua, khususnya tersedia ruang aman di Kota Bandung, baik di kampus atau pun ruang-ruang publik dan aku berharap bahwasannya Kota Bandung ini menjadi kota yang aman dan jauh dari kekerasan seksual maupun kekerasan-kekerasan lainnya, aku berharap tidak ada lagi korban-korban femisida, tidak ada lagi korban-korban buruh imigran ilegal, tidak ada lagi korban-korban dari Indonesia gelap, dan tidak ada lagi korban-korban dari timpangnya ekonomi Indonesia kita hari ini,” ucapnya pada Sabtu (08/03).

Penutup yang Tidak Berakhir

Peringatan International Women’s Day di Bandung hanyalah salah satu dari sekian banyak aksi yang terjadi di berbagai kota di Indonesia. Perempuan dan para sekutunya tidak hanya menuntut hak mereka, tetapi juga menolak tunduk pada sistem yang terus menindas. “… yaitu aware secara horizontal sesama masyarakat perihal kesetaraan kawan-kawan perempuan di International Women’s Day ini agar dapat terakomodir.

Lalu juga, secara vertikalnya para pemangku kebijakan bisa mengakomodir tuntutan kaum-kaum perempuan dan intinya terus diperjuangkan, terlebih tentang ruang aman dan tindak kekerasan seksual yang akhirnya membutuhkan concern lebih…” ujar Zafir, selaku perwakilan mahasiswa UNPAD yang turut hadir pada Sabtu (08/03).

Sesi dokumentasi seusai penutupan IWD 2025, Sabtu (08/03/2025), (Foto: Literat/Nabilah Novel Thalib).

“Women, Life, Freedom! Women, Life, Freedom!”

Selama ketidaksetaraan masih terjadi, selama diskriminasi masih mengakar, dan selama perempuan masih menjadi bahan objektifikasi segelintir orang, sudah dapat dipastikan bahwa kegelapan sedang menyelimuti kita bersama. Hidup perempuan yang melawan! Hidup!

Baca Juga: International Women’s Day Bandung 2025: Seruan Ruang Aman dan Kesetaraan Gender

Penulis: Nabilah Novel Thalib
Editor: Laksita Gati Widadi