PERADABAN MELETUP DI KEPALAKU

Tirai panggung dibuka, lampu dinyalakan pelan-pelan. Sudah saatnya kita melihat diri kita berdiri di pihak mana, sebagai apa, dan apa saja yang mesti dilakukan ketika melihat nasib yang mungkin tak lebih beruntung dari cicak yang berhasil melahap capung.

Kita tak akan pergi jauh dengan segera jika hanya mengandalkan angin yang meniup layar atau debit air menuju hilir. Akan lebih baik jika kita memiliki cara alternatif untuk mengantisipasi sumber daya yang timbul tenggelam. Bahkan, jika mampu, menciptakan angin dan air sendiri, bukan?

*

Diketahui bahwa telah lebih dari 10 jutaan nyawa tenggelam di antara berita mengenai pandemi yang tiada bosan mejeng di halaman utama media. Sebagian dari kita mulai sadar akan bahayanya penyakit menular, apalagi yang ditularkannya ialah kematian.

Hal tersebut sungguh memilukan. Bukan hanya kematian yang menjadi konflik pertunjukan, dari mulai petinggi negara sampai rakyat yang bernaung di bawah kardus, pontang-panting berpikir bagaimana caranya di hari depan bisa makan. Eh, tapi rakyat emang udah dari dulu kali berpikir seperti itu. Si botak menyebut fenomena tersebut salah satu rencana kosmis Tuhan. Dia mengklasifikasi alasan utama kematian masal manusia dapat terjadi ialah wabah, kelaparan, dan peperangan yang saat ini semua mahluk terkena dampaknya. Kita zoom in alasan pertama.

–Bagian I–

Adakah perajurit kecil itu terlahir lucu dan menggemaskan

Di samping seorang mati karena peluru dan ledakan yang dibawa prajurit kekar dan bertenaga. Pasukan ini lahir dengan wujud yang bahkan tidak dapat dilihat oleh mata elang sekalipun. Karena itulah, senapan kehilangan pelatuknya, bom-bom meledakan dirinya sendiri.

1330 M, di suatu pelosok Asia timur, meletus sebuah wabah yang dinamai Maut Hitam. Wabah tersebut lahir dari bakteri yang timbul dari gigitan kutu. Dengan menumpang pada sasatoan misal tikus dan kutu, wabah ini pun dengan cepat meledakkan Asia, Eropa, dan Afrika Utara hanya dalam kurun waktu kurang dari dua tahun. 75 juta sampai 200 juta nyawa melayang menjadikan populasi manusia di Eurasia menyusut drastis hingga bersisa tiga perempat bahkan dua perempat (kirang-langkung).

Baca juga: Hari Kemenangan Sira

Karena alasan inilah pemabantaian manusia dilakukan terhadap kaum minoritas, misal bangsa Yahudi, imigran, orang jalanan, bahkan pedagang lintas negara karena dianggap sebagai biang dari derita tersebut. Pemimpin negara yang tidak berdaya memang sudah ada sejak saat itu. Beragam anggapan orang menanggapi kehadiran wabah tersebut. Ada yang menyebut bencana tersebut hadir akibat sang dewa marah, pengaruh cuaca buruk, setan jahat, babi ngepet, dinausaurus ngik, dan lain sebagainya. Teori konspirasi sudah eksis juga lho. Tapi biang kerok yang sesungguhnya ialah Yersinia Pestis.

The Black Death bukanlah bencana satu-satunya yang tenar sebelum si Engko hadir. Pada 5 Maret 1520, rombongan kapal Spanyol berlayar meninggalkan Kuba dalam perjalanan menuju Meksiko, membawa ratusan tentara Spanyol, kuda-kuda, dan sejumlah budak Afrika. Dikatakan Francisco de Egula, salah satu budak tersebut membawa prajurit yang lebih berbahaya dari mulut si doi yaitu virus cacar (smallfox). Kalau si botak menyebut itu sebagai bom waktu yang siap meledak pada sel dalam tubuh.

Sesampainya di Meksiko, virus yang sebelumnya bersarang dalam tubuh si Frans, meletup dari kulitnya, ngaburiak menjadi ruam-ruam yang bikin ngilu. Si Frans yang menggigil ditidurkan di salah satu rumah pribumi di kota Cempoallan. Sejak saat itu, maut serupa kabut yang mengendap-ngendap, menjadi waktu yang berloncatan pelan-pelan. Dimulai dari batur sa-kasur, kemudian batur sa-dapur, hingga batur sa-sumur mulai terjangkit virus ini. 

Dalam kurun waktu 10 hari kota Cempoallan ini menjadi lahan kuburan bagi orang-orang yang mati karenanya. Para penduduk mengungsi ke kota-kota terdekat, menghiraukan anjuran social distancing dan Pembatasan Wilayah Berskala Besar karena belum ada hiyakk. Jadi nyakitu tea, mereka harus merelakan Meksiko terjangkit wabah tersebut, uhuq sedih.

Kesedihan tidak hanya sampai di pasak-pasak pembatas teritorial Meksiko. Kesedihan itu membabi buta pada September 1520, dengan memasuki gerbang-gerbang ibu kota Aztec di Tenochtitlan, kota metropolitan berisikan 250.000 jiwa. Lagi-lagi sepertiga penduduk musnah di sana termasuk Kaisar Aztec, Cuitlahuac. Penduduk yang awalnya berjumlah 22 juta jiwa, tercatat pada bulan Desember setelah orang-orang Espanola datang di bulan Maret, penduduk Meksiko bersisa 14 jiwa yang masih bernyawa. Karena gelombang kematian yang silih berganti, mengakibatkan pada tahun 1580 penduduk Meksiko tak sampai satu juta nyawa.

Ya, mungkin karena zaman dulu orang-orang sangat teguh dalam menggenggam keyakinan. Masyarakat Maya di semenanjung Yukatan meyakini bahwa saat itu tiga dewa jahat, Ekspetz, Uzannkak, dan Sojakak terbang indah berkala dari rumah ke rumah, berharap bisa berujung indah, eh malah menulari orang-orang dengan virus. Sementara suku Aztec menyebutnya sebagai ulah dewa Twzcatlipoca dan Xipetotec, eh deng, mungkin guna-guna dari orang kulit putih untuk menebas orang-orang berwarna. hmm

Baca juga: 100 Tahun Utuy Tatang Sontani: Diskusi Teroka bersama Zen Hae dan Zulkifli Songyanan

Dua abad kemudian, 18 Januari 1778, penjelajah Inggris Kapten Jamse Cook menapaki tanah Hawaii yang berpenduduk setengah juta jiwa. Hidup terisolasi dari Eropa maupun Amerika. Dengan begitu, wilayah tersebut tak terpapar beragam penyakit orang Eropa maupun Amerika. Apa mau dikata, si Kapten Cook malah memperkenalkan flu pertama, tuberkulosis, dan sipilis tanpa sepatah-duapatah kata pengantar penderitaan. Disusul dengan pendatang Eropa selanjutnya yang membawa tipus dan cacar. Dengan begitu, kota Hawaii tercemar, pada 1853, hanya 70.000 nyawa yang masih terkandung badan.

Epidemi terus menjamur, membunuh puluhan juta nyawa sampa abad ke-20. Januari 1918, bala tentara Perancis mati di parit-parit. Bukan karena peluru. Bukan pula penolakan cinta yang jadi sebab utama. Tetapi flu yang mengganas dalam udara yang mereka hirup. Di tahun-tahun itu, penyakit dengan julukan Flu Spanyol menyeringai pertama kali.

Pasukan itu merupakan ujung dari  jaringan suplai global paling aduhai. Manusia dan Amunisis mengalir dari Inggris, Amerika, India, dan Australia. Sementara itu, minyak original dikirim dari Timur Tengah. Gandum dan Sapi Argentina, karet dari Malaysia, dan tembaga Asli Kongo. Perputaran ekonomi global saat itu, bukannya dapat untung, ehh malah buntung. Mereka semua terpapar Flu Spanyol. Hadeuuh.. aya aya wae..

Dalam kurun waktu beberapa bulan, dunia tak lagi menopang beban berat. Heem, satu pertiga populasi global melayang. Sekitar setengah milyar jiwa-lah. Penyebabnya, tidak lain dan tidak bukan ialah Flu Spanyol. 

Di abad -20 ini, hampir kurun waktu sepuluh tahun kita dicemaskan dengan wabah baru. SARS pada tahun 2003, flu burung 2005, flu babi 2010, dan terakhir Ebola pada 2014. Walaupun terkesan ngadereded, wabah-wabah yang muncul tersebut berhasil dijinakkan kurang dari jangka waktu lima tahun, seiring makin canggihnya ilmu permedisan duniawi. Meski begitu, pandemi covid-19 masih nyaman menjangkiti paru-paru manusia zaman now, seakan dunia mulai frustasi akan pandemi yang selain memakan nyawa, juga memakan lapangan pekerjaan buruh-buruh swasta.

Basa-basi konspirasi

Seperti halnya yang terjadi di wabah-wabah besar sebelumnya. Ketika Maut Hitam, Flu Spanyol, dan cacar disebabkan oleh amuk alam raya atau amarah dewa-dewa. Hadirnya si Engko tak luput dari beragam spekulasi yang menyertainya. Virus corona telah membuat dunia lumpuh dalam beberapa bulan. Hal ini sempat diutarakan oleh si om Gates lima tahun lalu.

Menurutnya, yang lebih berbahaya dari peperangan ialah ancaman wabah. Petinggi negara harus selalu siap jika sesuatu yang buruk terjadi, yaitu adanya wabah yang meletus di antara rencana besar yang akan dijalankan. Bagaimanapun, menghadapi senjata biologis ini, tak bisa selesai hanya dengan mengibarkan bendera putih. Dengan kata lain membuat vaksin sebagai bentuk penanganan akan wabah tak bisa diselesaikan dalam kurun waktu sebentar. Bisa aja sih, tapi… bagaimana dengan kalung anti si Engko? Hmm nganu..

Di Indonesia, beberapa public figure secara gamblang mengutarakan pendapatnya mengenai konspirasi kopid ini–gak akan gue sebutin, di eksplor ig ada kali. Mereka berpendapat tentu ada hubungan antara para medis dan elit global. Hal ini berkaitan dengan perang dagang yang mengancam seiring bertambahnya usia dunia. Beberapa kalangan menyebut China sebagai sumber dari segala masalah, dan ada juga yang menyebut Amerika sebagai motif perang dagang. Belum ada bukti valid mengenai hal ini. Ya, namanya juga konspirasi toh. Konspirasi apaansi?

Oxford English Dictionary mengartikan konspirasi sebagai kejadian atau gejala yang timbul sebagai hasil konspirasi antara pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini adanya suatu lembaga yang bertanggung jawab atas kejadian yang tak bisa dijelaskan. Pengertian tersebut mungkin bisa dijadikan rujukan pertama untuk memahami mengenai konspirasi. Kalau menurut si Uscinski, menyebut teori konspirasi sebagai alat bagi yang lemah untuk menyerang sekaligus bertahan melawan dominasi yang kuat, atau dengan kata lain, senjata bagi orang-orang kalah. Yang kalah merapat yokk..

Sebelum kehadiran wabah yang membuat resah ini, santer diberitakan dalam beberapa tahun ke puluh tahun ke depan dunia akan mengarah pada tatanan baru atau disebut juga “The New World Order”. Konspirasi korona dimanfaatkan para elit global untuk menciptakan gelombang kepanikan, rasa takut akut hingga negara bangkrut akibat krisis ekonomi dan sosial. Sang elit inilah yang nantinya memberikan solusi untuk segala kehancuran yang ada. Secara sederhananya, kalau ditarik ke Indonesia nih ye, konsepnya mirip-mirip penabur paku di jalan-jalan.

Menabur paku à Ban bocor à 10 m kemudian ada tukang tambal ban

Baca juga: Matahari Terbenam

Penulis: Jundun Yade Alfarid