Periode Sastra dari Pujangga Lama hingga Pujangga Baru

Sebelum memasuki sastra yang modern seperti sekarang, dunia sastra pernah melalui tiga periode besar. Dari masa Pujangga Lama yang penuh hikayat, Balai Pustaka yang memiliki aturan ketat dalam penulisan, dan Pujangga Baru yang penuh rasa nasionalisme. Mari kita bahas dari Pujangga Lama!

1. Pujangga Lama

Pujangga Lama adalah era yang merujuk pada generasi sastrawan di Indonesia yang menghasilkan karya sastra sebelum abad ke-20. Pada era ini karya sastra didominasi oleh hikayat. Hikayat menurut KBBI adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta. Selain hikayat, karya sastra pada era ini juga banyak yang berbentuk puisi dan prosa.  Karya sastra pada era ini biasanya menceritakan hikayat para raja-raja atau dongeng mengenai putri dan pangeran yang klise. Adapun contoh karya sastra yang terkenal pada era ini adalah Hikayat Hang Tuah, Syair Abdul Malik, Hikayat Abdullah, dan lain-lain. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Hamzah Pansuri, dan Raja Ali Haji adalah sebagian penulis yang digemari pada era Pujangga Lama. 

2. Balai Pustaka

Kedua ada Balai Pustaka. Balai Pustaka adalah lembaga penerbitan yang didirikan kolonial Belanda dengan tujuan mengawasi bacaan kaum pribumi agar sesuai dengan kebijakan pemerintah. Era ini juga bisa disebut angkatan Siti Nurbaya karena diambil dari karya sastra berupa roman karangan Marah Rusli yang berjudul Siti Nurbaya. Selain Siti Nurbaya, karya sastra yang muncul pada era ini adalah roman dengan judul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar, kumpulan sajak dengan judul Tanah Air karya M. Yamin, Salah Asuh karya Abdul Muis dalam bentuk roman, dan masih banyak lagi. Ciri-ciri karya sastranya pada era ini adalah karya sastra yang banyak diterbitkan di Balai Pustaka, tema-tema yang diangkat mengisahkan perkawinan paksa dan kritik sosial. Gaya bahasa yang menggunakan perumpamaan klise, menggunakan peribahasa dan pepatah-pepatah juga bisa menjadi ciri khas karya sastra dari era Balai Pustaka. 

Baca Juga: Mahasiswa Rantau dan Bahasa Daerah: Memudar atau Terjaga?

3. Pujangga Baru

Ketiga yaitu Pujangga Baru. apa yang kalian pikirkan saat membaca Pujangga Baru? Apakah bentuk baru dari Pujangga Lama? Jadi, Pujangga Baru pada awalnya adalah sebuah nama majalah. Namun, sayangnya pada saat kependudukan Jepang di Indonesia, Jepang melarang menerbitkan majalah karena dianggap kebarat-baratan. Kemudian, saat Indonesia sudah merdeka, majalah ini kembali diterbitkan.  Umumnya karya yang ditulis oleh para sastrawan angkatan ini seputar  masalah kehidupan masyarakat. Selain itu ciri-ciri karya sastra pada era ini adalah puisi jenis balada mulai ditinggalkan dan diganti dengan jenis soneta, adanya ide nasionalisme, bergaya romantik, gaya bahasa yang tidak klise,penggunaan bahasa Indonesia yang lebih baik dan modern, dan sebagainya. Penulis yang terkenal pada era ini adalah Sutan Takdir dengan karyanya yang berjudul Tak Putus Dirundung Malang, Amir Hamzah dengan judul kumpulan puisinya yang berjudul Nyanyi Sunyi, Asmara Hadi dengan puisinya Kemenangan Pasti. 

Ketiga periode ini memiliki peran dalam perkembangan sastra di Indonesia. Namun, perjalanan sastra di Indonesia tidak berhenti di 3 periode ini saja. Masih ada angkatan-angkatan selanjutnya. Bagaimana sastra di Indonesia terus berkembang? Nantikan pembahasannya di seri ke-2!

Penulis : Inaya Dewi
Editor : Diana

Baca Juga: Bocoran Anggaran Kemenkeu 2026: Pendidikan dan Kesehatan Bukan Lagi Prioritas Pemerintah, Warganet Protes