Akhir-akhir ini masyarakat mulai dapat merasakan hiruk-pikuk partai politik (parpol) yang sedang mempersiapkan jagoannya di pemilu 2024. Baik parpol maupun elit nasional telah menyiapkan koalisi baru. Ada yang sudah mendeklarasikan bakal calon presiden, ada pula yang masih menimang-nimang.
Serangkaian kegiatan yang dilakukan parpol untuk menggaet dukungan para calon pemilih dalam pemilu kian beragam. Mulai dari kampanye berbasis wilayah, media sosial, hingga mengangkat isu-isu tertentu, mencerminkan dinamika politik di Indonesia.
Secara umum, kampanye adalah panggung di mana calon maupun parpol berusaha meyakinkan pemilih tentang visi, misi, dan program mereka. Ini merupakan momen ketika ideologi, kebijakan, dan visi politik diungkapkan secara terbuka kepada masyarakat. Kampanye melibatkan berbagai strategi seperti pidato, iklan, pertemuan umum, dan aktivitas media sosial untuk mencapai khalayak yang lebih luas.
Di Indonesia, kampanye politik merupakan bagian integral dari proses demokratisasi yang berjalan sejak reformasi pada tahun 1998. Namun, konfigurasi aliansi kekuasaannya tetap sama, yakni redistribusi kekuasaan di berbagai ruang politik, tak terkecuali di tubuh parpol. Aliansi bisnis dan politik berkecambah menjadi agenda-agenda yang menguntungkan pemilik modal.
Kampanye politik seringkali dianggap bualan belaka yang tidak lain hanya untuk mempertahankan status quo para pemilik modal serta mendukung elitnya.
Ini kemudian dibuktikan dengan lahirnya berbagai kebijakan yang tidak memiliki keberpihakan kepada rakyat. Undang-undang seperti Omnibus Law –yang melanggar hak-hak buruh dan berpotensi meningkatkan kerusakan lingkungan– menunjukkan ketidakberdayaan rakyat di hadapan kepentingan oligarki.
Hal serupa juga tampak pada sejumlah dinamika yang melemahkan KPK, sebuah lembaga yang sebelumnya dianggap sebagai simbol kemenangan reformasi. Keadaan tersebut diperparah dengan dirancangnya produk-produk hukum yang melindungi penguasa dari kritik. Bahkan hal ini berlaku juga di dunia maya, dunia yang semula merupakan surga bagi kebebasan berekspresi.
Isu kampanye di lembaga pendidikan kembali hangat setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XII/2023 mengizinkan lembaga pendidikan dijadikan sebagai tempat berkampanye. Meski begitu, putusan tersebut dinilai berkontradiksi dengan pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu yang menyatakan,
“Pelaksana, peserta dan tim kampanye Pemilu dilarang: h. menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat Pendidikan”.
Berbeda dari isi pasal, penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu menyatakan, “Fasilitas pemerintah, tempat Ibadah, dan tempat Pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan”.
Baca juga: MBKM: Memperpanjang Umur Kapitalisme di Ranah Pendidikan
Ketua KPU Hasyim Asy’ari juga menegaskan bahwa kampanye di kampus tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, asalkan menaati sejumlah catatan. Melalui pernyataan tersebut, Hasyim mengakali celah multitafsir yang tercantum dalam pasal ini. Antara lain penjelasan pasal yang menyatakan bahwa kampanye diizinkan, asal memenuhi sejumlah persyaratan.
Syarat tersebut berupa larangan menggunakan atribut, undangan resmi dari pihak penyedia fasilitas, hingga kesetaraan kesempatan bagi masing-masing peserta untuk berkampanye.
Kendatipun begitu, lingkungan pendidikan yang demokratis haruslah membuka ruang untuk bicara soal politik dan apapun.
Namun, dalam lingkungan kampus yang masih semi feodal, patronase, dan tidak ilmiah, praktik politik justru malah membebani civitas akademik. Mereka yang sudah lelah bergelut dengan sistem pendidikan amburadul, kemudian diperparah dengan adanya politik praktis.
Keterlibatan kampus sebagai wahana kontestasi elektoral bukanlah hal yang baru. Sepanjang dekade 1960 hingga 1970-an, kampus menjadi saksi riuhnya jargon-jargon politik. Organisasi ekstra kampus berfungsi ganda: melatih kemampuan berorganisasi, sekaligus menjadi basis pendukung dan wadah pengembangan diri bagi calon kader parpol.
Pada masa tersebut, sejumlah organisasi ekstra kampus terkemuka bahkan berafiliasi dengan parpol. Seperti contohnya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang dekat dengan Partai Majelis Sjuro Muslimin Indonesia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang berpaut ke Nahdlatul Ulama, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dengan Partai Nasional Indonesia dan kemudian Partai Demokrasi Indonesia, hingga Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang satu payung dengan Partai Komunis Indonesia.
Kampanye yang diselenggarakan di kampus merupakan sebuah tantangan.
Sebab dengan ada atau tidaknya kampanye, pada akhirnya mahasiswa akan tetap terpapar isu politik. Apalagi, mahasiswa secara umum sudah memiliki hak suara dan akan menentukan pilihan politiknya. Hal ini mengharuskan mereka untuk mengetahui lebih lanjut terkait siapa yang akan mereka pilih.
Dengan adanya kampanye di kampus, tentu mahasiswa bisa semakin jelas menentukan pilihannya. Mereka dapat mendengar lebih banyak gagasan dan persuasi masing-masing calon. Akan tetapi, hal tersebut akan memancing situasi internal kampus menjadi semakin panas. Karena meskipun tanpa adanya kebijakan ini, mahasiswa (langsung atau tidak) telah dimobilisasi secara politis oleh patron-patron yang memiliki agendanya masing-masing. Menariknya, sekarang masing-masing BEM di kampus besar berlomba-lomba mengundang calon-calon presiden dari berbagai parpol untuk unjuk gigi di ruang akademik.
Lantas bagaimana sikap kita sebagai mahasiswa? Perlu disadari bahwa politik itu hak mahasiswa sebagai warga negara yang sudah dewasa, aqil baligh, dan mukallaf. Keliru kalau mahasiswa dihalau dari partisipasi politiknya. Namun, jika kampus membuka pintu kepada calon-calon yang sudah pasti merupakan perwakilan terbaik dari kelasnya (baca: orang kaya), kampus juga harusnya membuka lebar-lebar kesempatan bagi mahasiswa untuk bicara soal sektor dan kelas kita sendiri: bicara soal kepentingan mahasiswa dan masyarakat.
Sumber dan referensi :
https://suaramahasiswa.com/kampanye-pemilu-di-kampus
https://indoprogress.com/2018/08/kampus-dan-politik-dukung-mendukung/
Syekh Tambuh Alwi bin Syaikh Baqir.
Garda Asa Muhammad
Penulis: Salman
Editor: Fitri
Baca juga: Pendidikan Pro-imperialisme: Matinya Nalar Pikir Mahasiswa