Stigma Sosial Negeri dalam Drama At-tin nna Labrador

“Cari, cari, cari, tangkap, tangkap!” 

Suasana desa yang cukup mencekam disusul dengan riuh para warga. Itulah yang saya dengar dan lihat di awal penampilan Pujangga Sirkus atau kelas Nondik-4A 2022. Mereka menampilkan pertunjukan drama dengan judul “At-tin nna Labrador”. Pertunjukan ini merupakan bagian dari rangkaian pergelaran sastra mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang diselenggarakan di Gd. Amphitheater UPI pada (24/05). Sebuah adegan prolog yang patut dipertanyakan oleh saya dan para penonton, apa yang dimaksud dengan “cari” dan “tangkap” oleh para warga?

Baca Juga: Bungkam yang Menikam: Sebuah Pembungkaman Jurnalis dalam Pertunjukan Drama

“Desa ini dikutuk!” -Mpok Kolot

Adegan selanjutnya adalah jawaban ketika muncul tokoh bernama At-tin dan Ang-ki yang sedang melarikan diri dari kejaran warga. At-tin yang merasa resah ingin pulang, tetapi dihalang oleh Ang-ki. Ia diyakinkan untuk hidup bersama karena Ang-ki mencintai At-tin. Pada akhirnya, mereka pun membuat keputusan untuk hidup bersama dalam sebuah gubuk kecil, jauh dari orang-orang.

“Hiduplah bersamaku At-tin, kita bangun rumah kita bersama, dengan cinta yang kita pupuk bersama, sampai maut memisahkan kita.”  

Baca Juga: Catatan Kelam Reformasi 98 di Bawah Teduh Payung Hitam

Di lain sisi, para warga desa sedang berkumpul. Muslihat dan Mimin (sepasang kekasih), Bu Lilit dan Bu Cicit, serta Mpok Kolot muncul di panggung secara bersamaan untuk menggambarkan suasana desa pada umumnya. Mereka riuh membicarakan ramalan Mpok Kolot tentang nasib desa mereka. Mpok Kolot, yang dikenal sebagai sepuh dan dukun pintar, sedang merasa resah bahwa desa ini telah dikutuk dan akan segera dilanda kekeringan karena perbuatan hubungan sedarah. Dari sinilah penonton tahu maksud dari prolog. Ang-ki dan At-tin adalah adik kakak yang saling mencintai.

Ang-ki dan At-tin bahkan berhubungan badan. Inilah hal yang menarik bagi saya karena penggambarannya yang unik. Ang-ki dan At-tin menari menggunakan dua selendang merah dengan gerakan aneh dan terasa ambigu. Mulanya penonton tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Gerakan Ang-ki seolah memaksa At-tin yang sembari tiduran. Setelah ditelusuri, ternyata tarian mereka memiliki maksud hubungan badan.

Di samping panggung, ada sesosok perempuan dan anjing Labrador yang berdiam diri. Ternyata perempuan tadi adalah anak hasil hubungan haram yang memiliki kecacatan kondisi jiwa. Karena kehadirannya, Ang-ki merasa jengkel karena harus membesarkan anaknya yang cacat. At-tin pun tak kalah kesal karena selain harus memberi makan anaknya, ia pun harus mendengar omelan Ang-ki. Mereka banyak berargumen hingga akhirnya depresi dan mati bersama. Sejak saat itu, At-tin nna hanya ditemani anjingnya, Labrador.

At-tin nna sudah dianggap malapetaka satu desa dan dianggap sebagai sumber kemalangan. Ia mencari cinta di atas muka dunia yang penuh dengan duri. Nihil, tidak ada orang yang baik kepadanya. Bahkan, dua anak kecil bernama Tundra dan Safana—yang mungkin seumuran dengannya, tetap memandang rendah padanya. At-tin nna yang senang diajak “bermain” oleh mereka, nyatanya sedang dibully. Dia tidak sadar wajahnya penuh luka karena permainan menampar wajah. Tidak sampai situ, dia juga dipaksa minum urine mereka. Labrador melawan dan menyelamatkan At-tin nna.

Selain Labrador yang menemaninya, ternyata masih ada satu orang yang baik kepada At-tin nna. Nur merasa simpati karena mengingatkan dia kepada adiknya yang telah tiada. Nur seolah memberi At-tin nna sebuah cahaya dan harapan untuk cinta dan kedamaian hati. Hal ini berbanding terbalik dengan Kuncoro. Sifatnya tak kalah jauh dengan warga desa. Ia memanfaatkan At-tin nna karena merasa gadis itu bodoh. Kuncoro berbuat tak baik kepada At-tin nna disaat Labrador pergi.

Di penghujung cerita, At-tin nna yang dituduh telah membunuh Nur. Ia dihampiri oleh warga yang menggunakan topeng hewan. Manusia bertopeng ini menggambarkan sifat mereka layaknya hewan. Mereka mengikat At-tin nna dengan selendang merah yang merepresentasikan sedang dibakar hidup-hidup. Labrador yang berusaha membantunya nampaknya tidak bisa berbuat apa-apa. At-tin nna menjerit kesakitan dan warga menyanyikan perayaan.

"Mati, mati, matilah asih"
"Musnah, musnah, musnahlah kasih"
“At-tin Nna! At-tin Nna! At-Tin Nna!” 
“Labrador!”

Berakhir sudah pertunjukan drama “At-tin nna Labrador” yang mengesankan dan penuh tanya bagi saya. Banyak simbol tersembunyi di setiap adegannya, seperti gelas emas, bintang, pedang, tongkat, dan tarot.

Baca Juga: Mahautpatti dan Problematika Negeri

Perjuangan melawan stigma sosial yang merenggut hak asasi manusia

Penampilan drama Pujangga Sirkus berakhir dengan tragis dan geram ketika At-tin nna akhirnya dihakimi secara tidak adil oleh warga. Penulis naskah, Moch. Azky, terinspirasi dari kisah nyata kasus pembakaran seorang ODGJ di Papua. Hal ini sejalan dengan tema pergelaran sastra tahun ini, yaitu non-fiksi kreatif.

“Saya terinspirasi dari kasus pembakaran ODGJ di Papua. Kejadian tersebut memicu saya untuk menulis naskah ini dengan gaya surealis dan absurd, yang memang saya gemari. Karakter At-tin nna Labrador menjadi penuh dengan simbol-simbol yang dapat diinterpretasikan oleh setiap orang dengan cara yang berbeda,” ungkap Azky.

Selama drama ini berlangsung, At-tin nna berjuang dengan Labrador menghadapi stigma masyarakat yang tinggi. Sikap sosial negatif melekat pada karakteristik seorang individu dengan masalah mental atau fisik. Hal ini menyebabkan penolakan sosial yang bisa berujung pada stereotipe, labelling, diskriminasi, dan pengucilan.

Masyarakat membenci At-tin nna karena julukan anak haram hasil hubungan sedarah. Hubungan ini biasanya akan melahirkan anak cacat genetik secara psikologis. Banyak cobaan yang dialami At-tin nna, seperti tuduhan mencuri, bahkan membunuh.

Dalam drama ini, manusia digambarkan sangat busuk. Mereka melampiaskan semua hal buruk kepada At-tin nna. Mulai dari memfitnah, memanfaatkan, sampai klimaksnya adalah membunuh. Mereka digambarkan mempunyai sifat hewan dan hewan digambarkan lebih manusiawi. Masyarakat ini digambarkan lebih kejam daripada hewan.

“Saya ingin memperlihatkan bagaimana masyarakat kita sering memandang sebelah mata ODGJ. Drama ini mencerminkan beberapa tindakan buruk masyarakat. Saat itulah masyarakat digambarkan sebagai hewan, sementara hewan bersifat lebih manusiawi,” ungkap Azky.         

Seperti yang sudah diungkapkan oleh Azky, drama ini menyinggung masyarakat Indonesia yang masih memandang sebelah mata semua penyandang disabilitas. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Mereka hanya bisa memenuhi nafsu egonya dan main hakim sendiri.

Banyak masyarakat yang masih kurang sadar tentang hak-hak penyandang disabilitas. Hal ini menyebabkan sikap acuh dan kurangnya perhatian terhadap kondisi mereka. Mereka sering kali mengalami penolakan sosial dan stigmatisasi yang menghambat kemampuan mereka untuk berinteraksi sosial.

Dalam konteks masyarakat yang menghakimi diri sendiri, mungkin ini berkaitan dengan bagaimana individu atau kelompok masyarakat menilai dan merespons perilaku mereka sendiri terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, apakah mereka merasa cukup empati, melakukan cukup upaya untuk inklusi, atau merasa perlu melakukan lebih banyak lagi untuk mendukung hak-hak penyandang disabilitas. Mari kita semua berusaha untuk lebih memahami dan menghargai setiap individu di masyarakat kita, termasuk mereka yang disabilitas. Kita semua memiliki peran dalam menciptakan masyarakat yang inklusif dan menghargai keragaman. Ini adalah proses introspeksi yang penting dan dapat berkontribusi pada perubahan sikap ke depannya.

Kasus pembakaran ODGJ ini memberi pesan bahwa pendidikan dan pemahaman tentang gangguan mental dalam masyarakat adalah sesuatu yang penting. Diskriminasi dan kekerasan terhadap individu dengan gangguan mental tidak dapat diterima dalam masyarakat yang beradab. Semua orang, termasuk mereka yang memiliki gangguan mental, berhak mendapatkan perlindungan hukum dan dihargai sebagai manusia. Masyarakat perlu lebih memahami dan menghargai hak-hak disabilitas. Pendidikan inklusif, aksesibilitas, dan perlindungan hukum adalah beberapa cara untuk mencapai hal tersebut.

Saya rasa Pujangga Sirkus berhasil menampilkan drama “At-tin nna Labrador”. Mereka sukses membawakan pesan mengenai stigma sosial yang tumbuh menjamur di masyarakat. Saya harap, penonton bisa sadar dengan isu ini dan mulai mengubah pandangannya terhadap penyandang disabilitas atau gangguan mental.

Baca Juga: Kehidupan Remaja Sinta yang Putus dan Pupus

Penulis: Muhammad Rafly Firmansyah (ASAS UPI)

Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar