UPI, Sejarah dan Riwayatmu Kini: Alasan Mengapa Mahasiwa-Mahasiswa Mesti “Demo” Sejak Pertama Masuk Kuliah (Bagian Kedua)

Menjadi Mandiri

Setelah menasbihkan diri menjadi PT BHMN, UPI menjadi kampus yang “istimewa”. Istimewa di sini disebabkan UPI menjadi otonom dalam mengatur dirinya sendiri, atau dalam bahasa lain yang lebih mudah adalah UPI menjadi mandiri. Jika kita melihat definisi mandiri, tentu hal tersebut bermakna positif. Hanya saja, kemandirian tersebut tentu dapat menjadi mudaratbagi mahasiswa.

But fyi, UPI sudah tidak berstatus sebagai PT BHMN. Pada Tahun 2009, bersamaan dengan diterbitkannya UU No. 9 Tahun 2009 Tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP), UPI mengubah statusnya (UU BHP mengatur seluruh institusi pendidikan, mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi). Hanya saja, setahun setelah disahkan, UU tersebut dicabut. Alasannya adalah bertabrakan dengan UU lainnya, tidak memberikan dampak apapun dalam peningkatan kualitas peserta didik, dan penyeragaman format yang berimbas pada badan hukum yang berdiri sebelumnya (yayasan, perkumpulan, dll.). Selain hal tersebut, Mahkamah Konstitusi  menjelaskan alasan lain dalam dalil putusan nomor 11–14–21–126–136/PUU-VII/2009 yang berbunyi:

“Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”

Dengan dihapusnya UU tersebut, UPI kembali kepada statusnya sebagai kampus BHMN. Sayangnya, hal tersebut tidak berlangsung lama. Dua tahun kemudian, UU No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mempertegas tentang otonomisasi kampus. UPI kemudian merubah statusnya menjadi PTN-BH. Jika dilihat lebih jauh, tidak ada perbedaan yang signifikan dengan status sebelumnya. Kampus tetap mengelola secara mandiri kegiatan akademik dan non-akademiknya. Tentu, kekhawatiran mengenai kampus yang komersil, privat, dan liberal kemungkinan besar dapat (atau bahkan hari ini telah) terjadi.

Setidaknya, ada dua hal yang dapat diatur sendiri oleh UPI: Akademik, Keuangan, dan Sumber Daya.

Otonomi Akademik

Dalam kegiatan Akademik, UPI memiliki wewenang untuk mengatur dirinya sendiri. Misalnya dalam pembukaan dan penutupan Jurusan atau Program Studi. UPI bisa saja membuat Program Studi “titipan” yang hadir untuk memenuhi kebutuhan investor asing yang (bisa jadi) tidak sesuai dengan kebutuhan negeri kita sendiri.

Mari kita ambil contoh konkrit yang telah terjadi. Pada tahun 2009, UPI bekerja sama dengan yayasan yang berada di Jepang untuk menyelenggarakan pelatihan bagi peserta yang akan menjadi perawat pada yayasan panti jompo di Jepang. Kerja sama tersebut terus belanjut. Sampai pada akhirnya, pada tahun 2010, UPI membuka Program Studi Keperawatan.

Itu hanyalah kekhawatiran kecil yang dapat berubah menjadi besar apabila melihat realitas hari ini. Dengan adanya Globalisasi dan Revolusi Industri 4.0 (dan penerapan kebijakan Kampus Merdeka) kita akan menjadi robot yang hanya ditugaskan untuk bekerja dan menyajikan makanan mewah bagi investor asing. Sangat disayangkan apabila nanti kita melupakan marwah dari pendidikan itu sendiri: memanusiakan manusia.

Baca juga: Sastra Siber 4.0 = Komunitas Sastra Digital

Otonomi Keuangan dan Sumber Daya

Salah satu esensi dari status PT BHMN (atau PTNBH) adalah UPI bisa menarik dana dari masyarakat dengan leluasa. Artinya, uang yang telah didapat tidak perlu disetorkan ke negara, namun bisa langsung masuk ke rekening universitas. Universitas hanya menyampaikan laporan kepada pemerintah mengenai berapa pemasukan tersebut.

Seperti dua sisi mata uang, keistimewaan ini mesti dibayar dengan pendapatan dari negara yang sedikit. Silakan melihat dari data yang telah dikaji oleh Isola Menggugat. Hasilnya, ternyata dana yang diberikan oleh pemerintah selalu tetap, bahkan dalam tahun-tahun tertentu justru semakin menurun. Otomatis, untuk menyelamatkan keuangan universitas, mahasiswa menjadi sumber dana yang paling pasti.

Selain itu, sumber daya dalam memperoleh dana pun diperluas. Kampus dapat memperbanyak kuota mahasiswa baru, membuka jalur lain untuk mahasiswa (salah satunya adalah jalur Seleksi Mandiri UPI), menentukan sendiri nominal biaya yang mesti dibayar oleh mahasiswa, dan membuka usaha-usaha di dalam kampus (lebih parahnya, usaha tersebut terkadang tidak sesuai dengan bidang pendidikan, dan keguruan).

Inilah alasan mengapa setiap tahun kuota mahasiswa baru selalu meningkat. Kelas menjadi semakin penuh sesak (sialnya menambahan kuota mahasiswa baru tidak diimbangi dengan penambahan fasilitas pembelajaran). UKT (Uang Kuliah Tunggal) bagi mahasiswa baru pun semakin meroket. Esensi UKT tentang subsidi silang menjadi semakin runyam.

Epilog

Bagi saya, melihat sejarah kampus menjadi sebuah hal yang teramat penting. Sebab, dari sana kita dapat melihat tujuan awal dan perubahan dinamika yang terjadi. Mari kita ulas sedikit. Sejak dulu, Isola selalu identik dengan perjuangan demi terwujudnya kesejahteraan bagi masyarakat di dalam lingkungan Isola maupun sekitarnya. Jika sedikit cocokologi, tentu kondisi zaman kolonialisme dan hari ini tidak jauh berbeda. Kita masih berada dalam koridor dijajah dan ditindas, secara sekilas mungkin oleh kampus sendiri. Namun, lebih jauhnya, tentu oleh investor asing atau yang lebih spesifik adalah negara imperialisme.

Realitas hari ini menjelaskan hal tersebut, Mahasiswa Baru belum mendapatkan keadilan dalam menempuh pendidikan di UPI. Ketika kakak-kakak yang menginjak semester tiga sampai tujuh mendapatkan bantuan biaya pendidikan dengan alasan terdampak Covid-19, mengapa mahasiswa baru (yang juga terdampak Covid-19) tidak mendapat hak yang sama. Saya tahu betul, keuangan kampus sedang mengalami chaos sebab sumber-sumber pemasukan bagi kampus tersendat. Isola Resort yang bangkar, penginapan yang berada di dalam kampus tidak laku, fasilitas olahraga dan museum yang ditutup, semua dana dari usaha-usaha kampus mengalami kemerosotan. Tapi hal tersebut semestinya tidak menjadi alasan bagi kampus untuk tutup mata, telinga, dan mencuci tangan (situasi Covid-19 memang memaksa kita untuk cuci tangan, tapi dalam urusan birokrasi, dan keputusan, semestinya tidak begitu pak!).

Paparan di atas hanyalah sebagian kecil dari seluruh masalah yang ada di UPI. Dengan melihat banyaknya masalah yang hadir, tentu sudah tidak ada alasan mahasiswa-mahasiswi untuk tidak ber-“demo”, bahkan sejak awal masuk kuliah. Demo dalam arti sempit, turun ke jalan dan menyuarakan tuntutan. Demo dalam arti luas, tetap mengasah pemikiran kritis mengenai kebijakan-kebijakan yang hadir, mengawal segala bentuk aktivitas yang dilakukan oleh kampus, berani berkata benar, serta melakukan bebagai bentuk-bentuk perjuangan massa (bisa jadi dengan ikut andil dalam penyebaran propaganda maupun melakukan pengorganisasian massa).

Tofan, saya ini termasuk mahasiswa mampu, untuk apa saya ikut perjuangan massa seperti itu?!”

Mari kita luruskan. Jangan terlalu pragmatis dan selalu melihat diri sendiri. Coba lihat sekeliling kita, betulkah kawan-kawan kelas kita sudah membayar UKT? Betulkah kawan-kawan yang satu grup chatting dengan kita statusnya telah aman sebagai mahasiswa? Hidup tidak sendiri dan begitulah hidup. Seperti yang saya bilang di muka, proses selama dan setelah menjadi mahasiswa menjadi hal penting. Ketika rasa empati dan simpati telah hilang, kita hanya akan terlahir menjadi robot-robot yang gagap membaca situasi dan gugup bertindak, dalam bahasa yang lebih kasar: gagal menjadi manusia.

Sekian.

Baca juga: CEMAS TAK BERUJUNG

Penulis: Tofan Aditya