Kritik Sistem Pendidikan Melalui Gambaran Sekolah Utopis

Leila S. Chudori atau kerap disapa Mbak Leila telah meluncurkan karya baru di tahun ini. Untuk memperkenalkan karyanya, Penerbit KPG bersama ASAS UPI menyelenggarakan acara diskusi buku Namaku Alam di Kampus Bumi Siliwangi pada Jumat (15/12). Leila hadir sebagai pembicara dalam acara tersebut. Selama acara, Leila tidak sendiri. Dia didampingi oleh Zulfa Nasrulloh (Founder Majalaya.id) dan Muhammad Rifan Prianto (Ketua ASAS UPI) sebagai moderator.

Diskusi ini berhasil menarik banyak peserta dari dalam dan luar Bandung. Antusiasme dari kurang lebih 130 penggemar buku-buku Leila menghidupkan diskusi dari awal hingga akhir. Selain nyanyian Indonesia Raya, acara juga dibuka dengan menyanyikan Amsal Penyair oleh ASAS UPI.

Menyanyikan Amsal Penyair oleh ASAS UPI dalam Diskusi Buku Namaku Alam karya Leila S. Chudori pada Jum’at (15/12) di Universitas Pendidikan indonesia, Bandung. (Literat/Fatma)

Novel Namaku Alam merupakan spin-off dari novel Pulang

Alam merupakan salah satu karakter rekaan yang meninggalkan kesan bagi pembaca buku Pulang. Keputusan Leila menulis spin-off dari sudut pandang Alam ini pun bukan tanpa alasan. 

“Ini kan sesuatu yang udah berlalu ya dari tahun 60-an sampai sekarang. Jadi saya membutuhkan seorang tokoh yang mempunyai kemampuan untuk mengingat luar biasa. Dan Alam sejak awal, sejak di novel Pulang sudah dinyatakan oleh penulisnya bahwa dia mempunyai photographic memory,” jelas Mbak Leila dalam diskusi. 

Selain itu, Leila mengatakan bahwa penulis cenderung tertarik pada tokoh yang memiliki kelemahan. Menurutnya, tokoh Kenanga dan Bulan (kakak Alam) adalah orang yang kuat, sementara Alam memiliki kelemahan. Kelemahannya ini yang menjadikan cerita lebih menarik bagi seorang penulis.

“Kalau orang yang udah kuat, ya sudah. What’s the story?” lanjut Leila. Maka dari itu, penting bagi seorang penulis untuk menentukan segala hal yang akan membangun tokoh tersebut. Identitas, keluarga, sejarah masa kecil, psikis, hobi, dan hal kecil lainnya tidak boleh dilewatkan dalam membangun karakter. 

Berlangsungnya Diskusi Buku Namaku Alam karya Leila S. Chudori pada Jum’at (15/12)
di Universitas Pendidikan indonesia, Bandung. (Literat/Fatma)

Tidak lupa, Leila S. Chudori juga membagikan pengalamannya selama menulis buku Namaku Alam. Ia mengaku bahwa novel ini merupakan novel tersulit yang pernah ditulisnya karena latar waktu yang terlampau lama. Latar waktu yang diangkat dalam novel ini, yaitu sekitar tahun 1980-an. Cerita digambarkan ketika Alam remaja, sehingga ia harus mengetahui bagaimana perkembangan psikis dan mentalitas remaja laki-laki pada masa itu. Leila dituntut untuk mengingat kembali masa-masa remajanya. 

“Saya juga mesti membuka lagi beberapa buku tentang Jakarta di tahun 70-an dan 60-an untuk mengingat kembali. Itu lebih susah daripada ketika saya menulis Laut Bercerita maupun Pulang,” ungkapnya. 

Sebagai media ekspresi, keberadaan novel Namaku Alam menjadi kritik dari penulisnya terhadap sistem pendidikan di Indonesia

Kritik dilayangkan melalui sebuah penggambaran sekolah fiktif, yakni Putra Nusa yang begitu ideal dan sempurna. Putra Nusa seolah menjadi surga yang penuh dengan harapan bagi Alam dan Bimo. Alam mendapati teman barunya yang cerdas dan kritis karena Putra Nusa memberikan banyak ruang berdiskusi dan berpendapat.

Sekolah ini juga mengajarkan pengetahuan penting lain di luar kurikulum yang biasa ada, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat, dan sastra (Indonesia maupun dunia). Dalam bukunya, ilmu humaniora terutama sastra dianggap mampu membentuk imajinasi, karakter, dan budi pekerti seseorang.

Seseorang mungkin mengambil keputusan yang tidak tepat jika tidak mampu membayangkan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Sastra selalu melatih kita untuk berimajinasi terhadap simulasi peristiwa baik maupun buruk.

“Sastra bisa membangun imajinasi. Sains tanpa imajinasi hanya sebuah pekerjaan berulang tanpa penemuan baru. Bagaimana bisa menemukan hal baru tanpa membayangkan sesuatu yang tidak ada?” Ujar Zulfa Nasrulloh dalam diskusi.

Novel Namaku Alam mengandung hal-hal positif untuk dijadikan pembelajaran

Dinda, seorang pembaca buku-buku Leila sekaligus guru sekolah dasar di Cilegon berhasil menangkap pesan tersebut, “Kita harus bisa lebih bersyukur karena kita hidup di zaman yang berbeda sekali dengan Alam. Bu Leila mengajarkan kita secara tersirat harus tetap bersyukur dengan apa yang sudah kita jalankan. Banyak hal positif dari mulai pendidikan, karakter, bagaimana cara menghadapi anak-anak dan bagaimana cara orang tua untuk memberikan yang terbaik bagi anaknya.”

Sesi tanda tangan buku karya Leila S. Chudori pada Jum’at (15/12)
di Universitas Pendidikan indonesia, Bandung. (Literat/Labibah)

Acara diakhiri dengan sesi tanda tangan. Para peserta yang membawa buku-buku karya Leila S. Chudori diarahkan untuk mengantri agar bisa mendapatkan tanda tangan langsung darinya. Penandatanganan diperbolehkan lebih dari satu buku. Selain itu, dihadirkan pula pembelian langsung dengan diskon 15%.

Dengan berakhirnya acara, Rifan, moderator diskusi sekaligus Ketua ASAS UPI mengungkapkan harapannya, “Semoga setelah terselenggara acara ini, pendidikan Indonesia bisa lebih baik secara sistem, karena banyak ide-ide yang dituang oleh Leila mengenai sistem pendidikan yang ia cipta. Yang kedua, bagaimana caranya masyarakat bisa tertarik terhadap karya sastra melalui karya Leila.”  

Baca Juga: Sinema Pendidikan 2023: Sensasi Musim Panas dalam Film Pendek

Penulis: Sri Fatma Hidayah

Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar