Universitas Pendidikan Indonesia tidak hanya berlokasi di Bandung, tetapi juga memiliki lima kampus daerah yang tersebar di Cibiru, Purwakarta, Sumedang, Tasikmalaya, dan Serang. Keberadaan kampus daerah diharapkan mampu mengembangkan dan memajukan wilayahnya masing-masing sesuai dengan potensi lokal yang ada. Setiap kampus daerah tidak hanya sebagai cabang pendidikan, tetapi juga sebagai pusat pengembangan sumber daya manusia dan inovasi yang berfokus pada kebutuhan dan karakteristik wilayah sekitar. Namun, kenyataannya kondisi yang dialami mahasiswa kampus daerah seringkali jauh dari kata ideal. Hal ini ditandai dengan ketimpangan fasilitas, akses informasi, dan status kelembagaan yang belum sepenuhnya setara dengan Kampus UPI Bumi Siliwangi.
Landasan Kelembagaan
Statuta UPI Pasal 11 menyebutkan seluruh kampus, baik Bumi Siliwangi maupun lima kampus daerah menjadi bagian dari penyelenggaraan Tridharma yang terintegrasi dan berkelanjutan. Dengan kata lain, kamda memiliki kedudukan akademik yang setara secara struktural, termasuk dalam hal fungsi, peran, dan hak sebagai bagian dari institusi yang sama.
Namun, kondisi faktual menunjukkan kesetaraan tersebut belum sepenuhnya terwujud. Fasilitas yang belum merata, akses informasi yang timpang, hingga keterbatasan ruang akademik membuat implementasi regulasi itu belum berjalan konsisten. Kesenjangan ini menunjukkan kesetaraan itu masih berhenti di atas kertas dan belum sepenuhnya diikuti oleh implementasi yang adil.
Fasilitas yang Belum Merata
Finfi, mahasiswa PGSD UPI Kampus Cibiru, menilai bahwa perbedaan antara kampus pusat dan daerah bukan hanya soal jumlah fasilitas, melainkan menyangkut kualitas dan ekosistem akademik yang terbentuk di dalamnya.
“Ini bukan hanya soal kuantitas fasilitas, tapi kualitas dan esensi dari ekosistem akademik. Di pusat, ada auditorium besar, kolam renang, dan gedung-gedung penunjang Tridharma. Sedangkan di kamda, banyak fasilitas esensial itu belum ada. Akibatnya, kami tidak hanya kehilangan kenyamanan, tetapi kami kehilangan kesempatan yang setara untuk mengembangkan diri di luar ruang kelas,” ujarnya.
Kondisi serupa juga dirasakan Nabil, mahasiswa jurusan Mekatronika dan Kecerdasan Buatan (MKB) UPI Kampus Purwakarta. “Lucu banget, kalau ditanya perbedaan, pasti timpang banget. UPI Purwakarta ini bahkan nggak punya lapangan. Kursi aja kadang harus ngambil dari kelas lain. Ruang sekretariat dan ruang diskusi dibagi untuk lima prodi. Udah gitu, panas banget, nggak ada tempat berteduh yang nyaman buat ngobrol,” tuturnya.
Kebutuhan akademik di jurusannya menuntut dukungan laboratorium dan peralatan praktik yang memadai, namun kondisi saat ini belum sepenuhnya mendukung hal tersebut. “Lab kami nggak mumpuni buat sarana industri. Untuk hal kecil bisa, prototype kecil, tapi kalau yang sesuai profil lulusan teknik, ya belum sebanding dengan fasilitas yang ada di Bumsil,” ujarnya.
Ketimpangan Akses Informasi
Kebutuhan akademik tidak berhenti hanya pada ruang belajar yang layak, tetapi juga pada kelancaran alur informasi dari universitas. Namun, di beberapa kampus daerah, kedua hal ini masih menjadi tantangan tersendiri. Nabil mengaku kerap mengalami keterlambatan dalam menerima informasi kegiatan kampus.
“Kita sering banget dapat undangan acara pas hari H, bahkan pernah jam 11 malam baru dikabarin untuk acara jam 11 siang. Edaran kegiatan kampus juga sering telat, sampai kadang udah jalan duluan baru kita tahu,” jelasnya.
Sementara itu, Finfi menilai alur informasi di kampusnya relatif lebih cepat, meskipun masih ada kendala kecil. Ia menyebut beberapa kali terjadi asimetri informasi, terutama pada pengumuman dari rektorat yang mengalami information lag.
“Masalah lainnya adalah disintegrasi alur informasi. Seringkali pengumuman didistribusikan per fakultas, dan kampus daerah yang secara struktural dianggap setara dengan fakultas justru terlewat atau terpisah,” ungkapnya.
Kondisi ini menunjukan meskipun teknologi komunikasi semakin memudahkan penyebaran informasi, kesenjangan koordinasi antar kampus daerah masih terasa, terutama dalam penyampaian edaran atau kebijakan universitas yang bersifat umum.
Baca Juga: Mahasiswa Difabel dan Kesetaraan Akses Beribadah di Kampus UPI
Dampak Psikologis dan Akademik bagi Mahasiswa Kamda
Kesenjangan fasilitas dan akses informasi akhirnya tidak hanya berdampak pada proses belajar, tetapi juga membentuk hierarki psikologis antara mahasiswa pusat dan daerah. Jika kondisi ini terus dibiarkan, motivasi mahasiswa kamda terancam tergerus oleh stigma dan rasa inferioritas yang tidak seharusnya muncul dalam satu institusi pendidikan.
Seperti yang dirasakan oleh Finfi, pandangan sebagian orang terhadap mahasiswa kampus daerah cenderung berbeda ketika dibandingkan dengan mahasiswa Bumsil. “Tidak sampai dikucilkan, hanya ada saja perbedaan cara pandang ketika orang mendengar kami dari kamda. Mungkin ini juga dipengaruhi oleh stigma dan fasilitas yang memang tidak seperti di pusat,” ujarnya.
Tekanan akademik serta keterbatasan ruang berekspresi juga berpengaruh pada semangat belajar. Ketidaktersediaan ruang pulih ini membuat sebagian mahasiswa sulit menjaga motivasi belajar. Bahkan memunculkan pertanyaan mengapa program studi tertentu tidak ditempatkan di kampus pusat yang lebih lengkap.
Langkah Perbaikan yang Dibutuhkan
Di tengah berbagai keterbatasan yang dirasakan, baik Finfi maupun Nabil sepakat bahwa mahasiswa kampus daerah tidak menuntut perlakuan istimewa — mereka hanya berharap ada kesetaraan yang nyata. Finfi menekankan pentingnya pengakuan struktural yang setara antara kampus pusat dan daerah. Terutama dalam hal kebijakan, alur informasi, serta dukungan fasilitas yang layak untuk menunjang proses belajar. Ia berharap kampus dapat menghapus stigma yang menempatkan mahasiswa kamda sebagai “kelas dua” dan mulai membangun lingkungan akademik yang lebih inklusif serta adil.
Nabil menambahkan peningkatan fasilitas bukan hanya soal kenyamanan, tetapi kebutuhan dasar untuk menjalankan kegiatan akademik dan organisasi. Menurutnya, mahasiswa teknik membutuhkan laboratorium yang memadai, sementara ruang rekreasi dan olahraga menjadi kunci menjaga kesehatan mental mahasiswa. Ia berharap pihak universitas benar-benar mendengarkan keluhan mahasiswa daerah dan mulai menyusun langkah konkret. Bukan sekadar wacana agar kesenjangan fasilitas dan informasi tidak lagi menjadi masalah tahunan.
Pada akhirnya, suara mahasiswa kampus daerah ini bukan sekadar kritik, melainkan bentuk kepedulian terhadap masa depan UPI sebagai universitas multikampus. Harapan mereka sederhana: kesempatan belajar yang setara, dukungan yang proporsional, dan lingkungan akademik yang membuat semua mahasiswa di mana pun mereka berada dapat merasa diakui dan dihargai.
Penulis: Alya Khairina Hartono
Editor: Auliya Nur Affifah
Baca Juga: FPBS UPI Menuju Inklusif: Guiding Block sebagai Bentuk Pendidikan untuk Semua




