Pengesahan Perppu Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 memunculkan penolakan dari berbagai pihak. Aksi kampanye tolak UU/Perppu Cipta Kerja pada Selasa (28/2) di depan Gedung Sate menjadi bentuk protes terhadap keputusan pemerintah yang mengesahkan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Singkatnya, proses pembuatan Perppu Cipta Kerja dinilai inkonstitusionalatau bertentangan dengan UUD 1945. Lalu, hampir semua pasal di dalamnya berkaitan dengan perebutan ruang hidup rakyat. Tidak hanya mengatur tentang buruh, tetapi juga pertanahan, lingkungan hidup, dan sektor lainnya.
Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum Bandung (LBH Bandung), Heri Pramono, menjelaskan bahwa Perppu ini hanya memberikan kemudahan bagi investor untuk menyuntikkan modal, tetapi berdampak menyengsarakan rakyat.
Baca Juga: Mempertanyakan Kebebasan Pers di Hari Pers Nasional
Regulasi upah minimum buruh yang murah di Provinsi Jawa Barat menjadi salah satu dampak nyata dari disahkannya Perppu Cipta Kerja. LBH Bandung berpendapat bahwa buruh sangat dirugikan dengan dikeluarkannya SK Gubernur Jawa Barat tentang upah minimum. Ini terjadi karena pemerintah tidak lagi melihat kebutuhan buruh, tetapi hanya melihat dari kebijakan pemerintah yang berstatus inkonstitusional.
“Saya berharap lebih banyak yang ikut aksi dan tidak lagi membedakan lintas sektoral. Mahasiswa, buruh, petani, miskin kota itu bisa terdampak oleh UU Cipta Kerja dan kedepannya bisa melakukan aksi bersama,” jawab Heri menjelaskan harapan setelah aksi kampanye ini.
Sebarkan Kesadaran bahwa Perppu Cipta Kerja adalah Peraturan yang Bermasalah
Alwidyasyah, selaku koordinator lapangan aksi kampanye menjelaskan mengapa kampanye dipilih sebagai bentuk penolakan Perppu Cipta Kerja di Bandung. “Kita melakukan aksi kampanye karena sadar perubahan itu karya berjuta-juta massa sehingga membutuhkan massa yang luas dan tidak sedikit”.
Setelah aksi kampanye dimulai, massa yang hadir bertambah jumlahnya dan turut serta menyuarakan penolakannya melalui orasi terhadap peraturan yang telah disahkan. Selain itu, lembaran pernyataan sikap yang dibuat oleh Simpul Protes Rakyat Indonesia (SPRI) –gabungan sejumlah organisasi rakyat yang menjadi penggerak aksi kampanye– disebarkan kepada masyarakat umum yang berada di sekitar Gedung Sate.
“Minimal di Bandung, massa harus bisa menyebarkan kesadaran bahwa Perppu Cipta Kerja adalah peraturan yang bermasalah,” jelas Alwidyasyah menyampaikan tujuan aksi kampanye.
Perppu Cipta Kerja berdampak pula bagi mahasiswa karena semakin tertutupnya akses pendidikan. Hal tersebut ditandai dengan kesulitan membayar biaya kuliah bagi mahasiswa yang orang tuanya adalah buruh, tani, atau pekerja biasa karena upah yang tidak mencukupi.
Produk Hukum Serampangan yang Merugikan Lingkungan Hidup
Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat (Walhi Jabar) merupakan organisasi lingkungan hidup yang memiliki sepuluh nilai perjuangan. Salah satunya ialah menjunjung tinggi demokrasi. Ketika terdapat regulasi yang bertentangan dengan nilai tersebut, tentu mendapat penolakan keras dari Walhi.
“Jadi, Walhi menolak (Perppu Cipta Kerja) karena produk perundang-undangan yang tidak demokratis, inkonstitusional, selain substansinya juga tidak mengarah pada semangat perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam,” ujar Meiki W. Paendong, Ketua Walhi Jabar.
Baca Juga: Diskusi Mahasiswa Departemen 2023: Departemen akan Ditiadakan?
Peristiwa tersebut dimulai saat dikeluarkannya UU Omnibus Law yang dalam proses pembuatannya tidak melibatkan partisipasi publik sehingga menjadi produk hukum yang serampangan.
“Untuk apa dibahas substansinya kalo memang prosesnya saja tidak mengarah pada partisipasi publik dan memberi akses informasi,” lanjutnya dengan tegas.
Meiki juga menjelaskan bahwa di dalam Perppu tersebut terdapat pasal terkait Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) yang berpeluang dihapuskan. Izin lingkungan juga dihapus dan diganti menjadi persetujuan lingkungan. Padahal, izin lingkungan merupakan instrumen yang digunakan ketika akan menggugat kegiatan usaha yang merugikan lingkungan.
Pemerintah membawa isu perubahan iklim dan lingkungan untuk dimasukkan sebagai legitimasi penerbitan Perppu Cipta Kerja. Hal tersebut sangat kontradiktif karena substansinya tidak sama sekali membahas masalah perubahan iklim.
Penulis: Siti Labibah Fitriana
Editor: Laksita Gati Widadi