Mempertanyakan Kebebasan Pers di Hari Pers Nasional

Umumnya, hari-hari besar nasional ditetapkan di antara dua hal, yaitu kelahiran tokoh pelopor atau tanggal terjadinya peristiwa revolusioner. Sebut saja Hari Pendidikan Nasional yang ditetapkan pada hari lahir Ki Hadjar Dewantara, selaku bapak pendidikan Indonesia. Hari Musik Nasional yang bersamaan dengan hari lahir Wage Rudolf Supratman atau Hari Kartini yang juga jatuh di hari kelahirannya. Lantas, mengapa Hari Pers Nasional justru ditentukan di ulang tahun organisasi yang (sayangnya) bukan pelopor jurnalistik di Indonesia?

Tanggal 9 Februari atau yang kita ketahui sebagai Hari Pers Nasional, ditetapkan dalam Keputusan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1985. Pemilihan tanggal tersebut disesuaikan dengan kelahiran organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1946, menjadi satu-satunya organisasi pers yang diakui oleh pemerintahan Orde Baru saat itu. Padahal, kita semua tahu betul, Orde Baru menjadi periode terburuk untuk kebebasan pers. 

Tidak hanya itu, PWI bukanlah organisasi pers pertama di Indonesia. Ditilik dari buku Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan, 1855-1913, Tirto Adhi Soerjo tercatat sebagai tokoh bumiputera pertama yang mendirikan media pemberitaan berbahasa Melayu. Kepiawaian Tirto dalam menulis berita diakui juga oleh beberapa tokoh seperti Ki Hadjar Dewantara.

Atas segala bukti sejarah itulah, beberapa organisasi pers lain, seperti AJI dan IJTI menggugat pemilihan tanggal Hari Pers Nasional. Beberapa memintanya digeser sesuai dengan tanggal wafatnya Tirto, tanggal 7 Desember 1981. Sedangkan, AJI dan IJTI sendiri berpendapat untuk memperingati HPN tanggal 23 September bersamaan dengan momen kebangkitan pers. Kedua opsi tersebut terdengar lebih rasional untuk mengenang momen kebangkitan pers. Yang menurut saya, lebih ideal untuk dilakukan. 

Lahirnya HPN di rejim yang justru sangat membatasi pers menimbulkan ironi. Sudah menjadi pengetahuan umum betapa zaman itu begitu keji dalam membungkan para wartawan. Salah satu bukti nyata kekejamannya adalah dibunuhnya Fuad Muhammad Syafruddin, seorang wartawan surat kabar harian, Bernas. Kekritisannya dalam menyampaikan berita membawanya pada malapetaka. Ia dibunuh tanggal 13 Agustus 1996 oleh orang tidak dikenal yang bahkan hingga kini tidak terungkap siapa pelaku dan apa motif di balik pembunuhan tersebut. Kaget? Jelas tidak. 

Setahun setelahnya, terjadi lagi pembunuhan Naimullah, seorang jurnalis Harian Sinar Pagi yang mati terbunuh dalam mobilnya setelah mengalami penganiayaan. Seperti Udin, kasus Naimullah tidak pernah terungkap hingga kini, bahkan BAP dan data penyelidikan kasusnya juga lenyap. 

Belum lagi kasus-kasus pembredelan media yang terjadi di orde tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya tidak pantas kita merayakan kebebasan pers. Karena nyatanya, tidak ada kebebasan.

Jadi, apa yang sebenarnya kita peringati setiap tanggal 9 Februari? Kebebasan pers atau ulang tahun organisasi pers? Bahkan setelah kita lepas dari Orde Baru, apa masih pantas kita menyebut negara kita sudah menjamin kebebasan pers? Karena setelah lepas dari Orde Baru pun, pers masih belum “merdeka”. 

Baca juga : Sering Disepelekan, Tanpa Seorang Pustakawan Kita Sesat di Jalan

Kebebasan pers sempat mengalami penurunan pada pemerintahan periode pertama Jokowi pada tahun 2019. Saat itu, wartawan mengalami kesulitan saat hendak meliput keadaan di Papua. Hal ini mengakibatkan banyak informasi serta permasalahan tentang Papua yang tidak sampai ke publik.

Selain itu, maraknya monopoli media oleh kalangan (baca: partai) tertentu juga merupakan bentuk kemunduran kebebasan pers tahun itu. Kepemilikan dan campur tangan politik dalam media tentu akan menyulitkan pers dalam bersikap objektif.

Sekarang, kebebasan pers dianggap sudah “tercapai” karena dalam perayaan Hari Pers Nasional tahun ini kebebasan pers bukan masalah utama. Dilansir dari tempo.co, Presiden Jokowi mengatakan, “Tantangan pers saat ini adalah keberlangsungan media dan teknologi, tidak lagi soal kebebasan pers karena saat ini media massa sudah bisa memberitakan apa pun dengan bertanggung jawab.”

Padahal kenyataannya di tahun 2022, LBH Pers mencatat adanya 51 peristiwa kekerasan terhadap pers yang mengakibatkan 113 korban individu dan organisasi, 20 kasus ancaman verbal pada wartawan saat liputan, serta penganiayaaan yang dialami wartawan sebanyak 15 peristiwa. 

Bagaimana menurut kawan-kawan, sebenarnya kebebasan apa yang kita rayakan setiap tanggal 9 Februari?

Sumber: 
https://remotivi.or.id/mediapedia/358/polemik-hari-pers-nasional
https://remotivi.or.id/kupas/260/melacak-asal-usul-nasionalisme-dari-sejarah-pers-era-kolonial
https://www.hukumonline.com/berita/a/sepanjang-2022-lbh-pers-tangani-44-kasus-lt63bea40e3d27d
https://nasional.tempo.co/read/1689468/di-hari-pers-nasional-2023-jokowi-singgung-regulasi-hak-cipta-pers

Penulis: Salsabila Izzati Alia
Editor: Nenden Nur Intan

Baca juga : Melihat Hal yang Tidak Terlihat di Desa Tugumukti