Kamis (19/12/2019) adalah hari terakhir pementasan Langgam “Sebuah Paradigma Sosial” dari Teater Lakon. Pementasan yang bertempat di Auditorium Lt. 2 Gd. Geugeut Winda UPI ini berjudul “Seksa” karya Dhipa Galuh P. dan disutradarai oleh Rahmi Faidah. Tokoh-tokoh dalam pementasan “Seksa” diperankan oleh Farhan, Ghina, Riska, Wahyu, Taufan, Siti, Abelya, dan beberapa cameo.
Cerita diawali dengan rumah tangga keluarga Ajag diakibatkan Ajag tidak lulus sekolah karena nilai Ujian Nasionalnya rendah. Ayah Ajag (Suhadi) yang juga penjual cuanki marah besar hingga menarik perhatian seluruh pengunjung warkop Ujay. Kemarahan ayahnya membuat Ajag lari terbirit karena ketakutan. Hal itu menimbulkan perdebatan hebat antara orang tua Ajag dan juga pergunjingan pengunjung warung kopi yang menambah suasana menjadi semrawut.
Malam menyelimuti langit, Ajag menyelinap ke dalam rumah karena dia tau apa yang akan terjadi jika ketauan ayahnya. Ajag berhasil masuk, tetapi dia keluar lagi dan duduk di bangku warkop sekalian merenungkan tentang hasil UN miliknya. Tak diprediksi, muncul seorang gadis dari balik jendela rumah mewah dan besar dekat warung kopi. Gadis itu terlihat sedang merenung dan menarik perhatian Ajag. Paginya setelah Mang Ujay membuka warung kopi, Ajag yang baru bangun datang dan menanyakan tentang wanita yang baru dilihatnya itu pada Mang Ujay.
Gadis yang baru seminggu pindah ke daerah itu banyak mendapat gosip negatif yang tersebar di masyarakat sekitar karena menebak-nebak alasan mengapa keluarga gadis itu pindah.
Kemudian gadis itu bertemu dengan Ajag dan membuat Ajag terkejut karena gadis yang dilihatnya semalam memiliki kelakuan yang tidak seperti dugaanya. Gadis itu bernama Seksa. Seperti namanya, dia terobsesi untuk membahas pendidikan seks. Menurutnya, pendidikan seks hal yang menyenangkan dan bukanlah hal yang tabu untuk masyarakat khususnya pelajar. Namun, Seksa membahas hal itu dengan tingkah lakunya yang genit dan menggoda. Ajag merasa tidak nyaman dengan tingkah laku Seksa. Berbeda dengan Mang Ujay yang justru tergoda dengan gerak tubuh dan ucapan Seksa.
Adegan demi adegan, konflik demi konflik, tokoh demi tokoh bergantian menyusun suasana auditorium menjadi lucu, “tegang”, dan haru. Hingga akhirnya setelah bertemu dengan pengawas Seksa yang ditunjuk oleh ayahnya, dia mengatakan kalau Seksa memiliki kepribadian ganda. Ketika siang hari, dia selalu berbicara tentang pendidikan seks dan selalu bergairah akan hal berbau seks. Namun, saat malam, dia menjadi gadis pemurung karena trauma atas kematian adiknya yang disebabkan oleh AIDS. Kejadian itu membuat Seksa ingin menjadi Seksolog.
Kemudian ayah Seksa menjelaskan alasan Seksa pindah: agar dia jauh dari lingkungan kota yang penuh dengan diskotik dan berpotensi membahayakan keadaan Seksa. Tidak sampai di situ, ayah Seksa ingin membawa Seksa ke Singapura dan membuat Ajag kaget karena Seksa telah memberinya pelajaran hidup.
Banyak kritik sosial yang dihadirkan dalam lakon “Seksa” ini. Kritik sosial yang paling menonjol adalah paradigma masyarakat Indonesia yang masih merasa jika seks itu tabu untuk dibicarakan di masyarakat utamanya di sekolah. Selain itu, kritik juga terdapat pada pendidikan di negara ini yang sedikit tidak relevan, karena pendidikan yang ditempuh selama 3 tahun hanya diukur melalui nilai Ujian Nasional. Pun, budaya anak yang harus selalu mengikuti jejak orang tua meski anak mereka tidak tertarik pada bidang yang dikuasai oleh orang tua mereka. Banjir kritik pada negara ini hadir dalam lakon “Seksa” ini untuk kita sadari dan menyikapi paradigma sosial yang ada di masyarakat.