Hima Satrasia Menutup Cerita: Titik Akhir Perjalanan 62 Tahun - Literat

Hima Satrasia Menutup Cerita: Titik Akhir Perjalanan 62 Tahun

Dibentuk Tahun 1963 dan Diakhiri Tahun 2025

Keputusan pemisahan Himpunan Mahasiswa Sastra Indonesia (Hima Satrasia) FPBS UPI akhirnya diambil dalam Musyawarah Mahasiswa (MUMA) pada 22 Desember 2025. Kepastian ini terjadi setelah forum diwarnai oleh perdebatan panjang dan suara mahasiswa yang terbelah. 

Di tengah melemahnya payung hukum organisasi serta konflik internal yang tak kunjung menemukan titik temu, angkatan 2024 dan 2025 memilih jalan pemisahan sebagai upaya mengakhiri kebuntuan. Namun, pertanyaan kemudian mengemuka: apakah keputusan ini lahir dari kesiapan organisasi atau justru dari kelelahan mahasiswa menghadapi pola berhimpun yang bermasalah? Sejauh mana pula pemisahan mampu menjawab risiko keberlanjutan serta kekompakan Satrasia ke depan? 

Suara Mahasiswa Terbelah, Risiko Jadi Titik Awal Perdebatan

Sejak awal Musyawarah Mahasiswa (MUMA) 2025, forum dihadapkan pada posisi mahasiswa yang belum bulat. Fraksi 2024 dan 2025 secara terbuka menyatakan suara internal mereka masih imbang. Hal ini menyebabkan keputusan pemisahan atau penyatuan organisasi sulit diambil tanpa mengorbankan kekompakan.

Kebimbangan tersebut tidak muncul tanpa alasan. Mahasiswa memandang kedua pilihan sama-sama mengandung risiko. Tetap bersatu dinilai menyimpan persoalan laten terkait kultur organisasi, kejelasan sikap program studi, serta pola sinergi yang belum sepenuhnya terjawab. Sementara itu, pemisahan organisasi juga dianggap membawa konsekuensi besar karena mengharuskan mahasiswa membangun ulang sistem, struktur, dan kebiasaan organisasi dari awal.

Perwakilan Fraksi 2024 menilai bahwa kultur organisasi yang mengakar belum tentu siap dihadapkan pada perubahan drastis. Di sisi lain, Fraksi 2025 menyebut posisi bersatu justru berpotensi menjadi “bom waktu” karena konflik yang berlarut dikhawatirkan kembali diwariskan ke angkatan berikutnya.

Fraksi 2022 dan 2023: Kita Masih Bisa Bertahan

Di tengah kegamangan Fraksi 2024 dan 2025, Fraksi 2022 dan 2023 selaku pengurus yang pernah aktif menyampaikan pembelaan terhadap sistem dan pola kerja Hima Satrasia yang selama ini dijalankan. Mereka menilai, persoalan yang muncul lebih bersifat teknis dan manajerial, bukan kegagalan struktural yang mengharuskan pemisahan organisasi.

Perwakilan Fraksi 2022 menegaskan bahwa seluruh program kerja yang dijalankan himpunan disusun berdasarkan aspirasi mahasiswa program studi atau maprodi. Aspirasi tersebut dihimpun sejak awal, kemudian dibahas dan disepakati secara demokratis dalam rapat kerja. Banyaknya program, menurut mereka, merupakan konsekuensi dari kebutuhan maprodi itu sendiri, bukan semata ambisi kepengurusan.

Fraksi 2023 menambahkan bahwa jika beban program dinilai terlalu berat, evaluasi bisa dilakukan tanpa harus memisahkan organisasi. Pengurangan jumlah program, penyesuaian skala kegiatan, hingga perubahan kultur kerja dinilai masih dapat dilakukan dalam kerangka himpunan yang sama.

Pembelaan ini sekaligus menjadi tawaran jalan tengah di forum, yakni memperbaiki organisasi dari dalam tanpa harus menempuh pemisahan. Namun, pandangan tersebut tetap berhadapan dengan kekhawatiran Fraksi 2024 dan 2025 yang menilai persoalan tidak berhenti pada teknis, melainkan menyentuh kepercayaan dan kesiapan kolektif organisasi.

Prodi Tegaskan Dukungan dan Legalitas, Bantah Isu Intervensi

Menanggapi kekhawatiran mahasiswa, khususnya Fraksi 2024 dan 2025, pihak program studi Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia menyatakan akan mendukung penuh keputusan yang diambil mahasiswa, baik jika Hima Satrasia tetap bersatu maupun dipisahkan. Dukungan tersebut mencakup pendampingan akademik, administrasi organisasi, dan penganggaran sesuai dengan kewenangan masing-masing prodi.

Perwakilan prodi menegaskan bahwa secara administratif, keberlangsungan organisasi mahasiswa tidak bermasalah meskipun hanya ditandatangani oleh satu program studi. Menurut mereka, ketentuan tersebut sudah berjalan sebelumnya dan tidak menghambat pelaksanaan kegiatan himpunan. Dengan demikian, kekhawatiran mahasiswa terkait legalitas, surat keputusan, dan izin kegiatan dinilai tidak memiliki dasar yang kuat.

Prodi juga menepis anggapan adanya tekanan atau paksaan terhadap mahasiswa untuk mengambil keputusan tertentu. Kehadiran dosen dalam forum, menurut mereka, semata sebagai bentuk pendampingan dan tanggung jawab pembimbing kemahasiswaan, bukan intervensi atas kedaulatan forum mahasiswa. 

“Keputusan ada di mahasiswa,” menjadi garis besar sikap prodi dalam forum tersebut.

Mereka menegaskan bahwa apa pun hasil musyawarah, pihak prodi tetap akan mendukung selama keputusan diambil secara demokratis dan bertanggung jawab.

Respons ini menjadi salah satu penanda penting dalam dinamika MUMA 2025. Jika sebelumnya kekhawatiran mahasiswa bertumpu pada ketidakjelasan sikap prodi, pernyataan tersebut mempersempit ruang ragu, sekaligus mengembalikan beban keputusan sepenuhnya ke tangan mahasiswa.

Alumni Ingatkan Transisi, Soroti Risiko Pasca-Pemisahan

Setelah pihak program studi menyampaikan dukungan dan menepis kekhawatiran administratif, forum MUMA 2025 diwarnai masuknya pandangan alumni. Mereka menekankan aspek kesiapan dan dampak jangka panjang pemisahan organisasi. Alumni menilai bahwa keputusan berpisah tidak cukup dimaknai sebagai langkah struktural semata, melainkan harus disertai perencanaan transisi yang matang.

Beberapa alumni menilai alasan pemisahan yang disampaikan mahasiswa masih beragam dan belum sepenuhnya mengerucut pada persoalan fundamental. Perbedaan pandangan di antara Fraksi 2024 dan 2025 justru dibaca sebagai tanda bahwa persoalan internal seharusnya masih dapat diselesaikan tanpa harus memecah organisasi. Alumni mengingatkan bahwa konflik, manajemen program yang berlebih, serta ketegangan antarangkatan merupakan bagian dari dinamika organisasi yang justru menjadi ruang belajar mahasiswa.

Sejumlah alumni mengingatkan bahwa perubahan organisasi selalu membawa konsekuensi. Ini termasuk hilangnya memori kolektif, fragmentasi kegiatan, serta potensi menurunnya antusiasme anggota. Mereka menilai bahwa himpunan bukan hanya ruang administratif, tetapi juga ruang pembentukan relasi, nilai, dan pengalaman lintas angkatan yang dibangun dalam waktu panjang.

Skorsing, Konsolidasi, dan Tekanan Pengambilan Keputusan

Memasuki tahap krusial MUMA 2025, dinamika forum semakin mengerucut pada satu persoalan utama. Dipertanyakan bagaimana mahasiswa, khususnya angkatan 2024 dan 2025, mengambil keputusan di tengah risiko yang sama-sama besar. Situasi ini tercermin dari berulangnya permintaan skorsing yang diajukan Fraksi 2024 dan 2025 untuk melakukan konsolidasi internal.

Skorsing tidak sekadar menjadi jeda teknis forum, tetapi juga ruang refleksi bagi mahasiswa yang memikul tanggung jawab regenerasi organisasi. Fraksi 2024 dan 2025 menyampaikan bahwa keputusan ini tidak ingin dibebankan kepada angkatan di bawahnya, sekaligus tidak ingin meninggalkan persoalan yang berlarut-larut di masa depan.

Tekanan waktu turut memperberat situasi. Kehadiran dosen dan alumni yang memiliki keterbatasan waktu membuat forum didorong untuk segera mencapai kesimpulan. Hal itu memang mesti dilakukan meski beban psikologis mahasiswa masih tinggi. Dalam kondisi tersebut, mahasiswa tetap berupaya menjaga proses musyawarah agar tidak berubah menjadi keputusan tergesa-gesa.

Berulangnya skorsing menjadi penanda bahwa keputusan pemisahan tidak lahir secara instan. Ia terbentuk melalui proses panjang, penuh tarik-menarik pandangan, dan kehati-hatian generasi yang akan menjadi penanggung jawab utama organisasi ke depan.

Keputusan Akhir: Pemisahan Dipilih sebagai Jalan Keluar

Setelah melalui serangkaian skorsing dan konsolidasi internal, Fraksi 2024 dan 2025 akhirnya menyatakan sikap kolektif untuk memisahkan organisasi Hima Satrasia. Keputusan tersebut disampaikan secara terbuka di forum MUMA 2025. Menjadi tanda berakhirnya perdebatan panjang yang telah berlangsung sejak beberapa tahun terakhir.

Fraksi 2024 menegaskan bahwa pilihan pemisahan diambil berdasarkan pertimbangan hati nurani, kesiapan moral, serta hasil diskusi internal yang panjang. Bagi mereka, pemisahan dinilai sebagai langkah paling realistis untuk menghentikan konflik berulang dan memberi ruang bagi pembenahan organisasi yang lebih fokus.

Sikap serupa disampaikan Fraksi 2025. Meski sebelumnya berada dalam posisi ragu, mereka menyatakan telah menyatukan suara. Satu suara yang tidak hanya dari peserta forum, tetapi juga dari anggota angkatan yang tidak hadir secara langsung. Pemisahan dipandang sebagai cara untuk menutup persoalan lama agar tidak diwariskan kepada angkatan di bawahnya.

Di sisi lain, Fraksi 2023 memilih mempertahankan posisi untuk tetap bersatu. Mereka menilai persoalan yang muncul selama ini masih dapat diselesaikan. Bisa melalui evaluasi manajemen dan pembaruan konstitusi tanpa harus memecah organisasi. Sementara itu, Fraksi 2022 menyatakan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada angkatan penerus. Berkomitmen untuk tetap mendukung apa pun bentuk organisasi Satrasia ke depan.

Forum kemudian menegaskan kembali komitmen Fraksi 2024 dan 2025 untuk menjalankan kepengurusan baru secara bertanggung jawab. Keduanya menyatakan kesiapan penuh membangun organisasi pasca-pemisahan dan menjaga nilai-nilai Satrasia, terlepas dari perubahan struktur yang terjadi.

Penulis: Saddam Nurhatami Umardi Putra
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra

Baca juga: Di Balik Pemisahan Hima Satrasia: Konflik Identitas Atau Peluang Baru?