Pada 17 Mei 2023, Rektor UPI menyerahkan SK Guru Besar kepada empat dosen. Saat itu menjadi hari bahagia bagi Prof. Dr. Yulianeta, M. Pd. Sebagaimana yang beliau sebutkan, “Ini adalah muara doa” yang mungkin saja masih sanggup menggapai lautan nan luas. Tercapainya gelar tersebut, menjadikannya sebagai satu-satunya guru besar sastra Indonesia di lingkungan FPBS UPI, sebab guru besar sastra yang ada sudah purnabakti. Meski begitu, secara keseluruhan jumlah guru besar di bidang Sastra Indonesia memang terbilang jarang.
Ditemui pada Senin (26/6), Prof. Dr. Yulianeta, M. Pd. atau yang akrab dipanggil dengan “Ibu Neta” membagikan banyak hal mengenai kehidupannya. Mulai dari sepak terjangnya menuju titel guru besar, pandangan-pandangan hidupnya, hingga harapannya pada mahasiswa dan dunia kesusastraan.
Beberapa waktu lalu, perempuan yang aktif sebagai dosen di bidang sastra sekaligus Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra ini resmi diangkat dan diakui sebagai profesor atau guru besar. Sebuah pencapaian yang tentunya diidam-idamkan oleh setiap pejuang akademik, karena bukan saja persyaratan dan birokrasinya yang rumit tetapi juga pengabdian dan proses untuk mencapainya yang membutuhkan waktu panjang. Secara spesifik, kepakaran beliau berfokus pada bidang Sosiologi Sastra, bidang sastra yang paling luas dan populer dalam kajian kesusastraan itu sendiri.
Beliau bercerita dengan penuh antusias dan semangat mengenai proses yang bermula dari ketertarikan beliau terhadap kepenulisan. Segala hal yang fenomenal dan menarik berkaitan dengan kesusastraan dan kebudayaan, ia jadikan sebagai topik tulisannya, sehingga karya-karyanya lahir dari rasa penasaran beliau yang tiada henti. Semua itu membawa pada kegemaran beliau untuk menulis. Di mana kegemarannya ini didukung dengan buku-buku yang dibaca sejak kecil. Hal itulah yang ikut mendorong keaktifan beliau dalam berbagai penelitian sebagai sebuah bakti dalam salah satu poin dari Tridharma Perguruan Tinggi.
“Alhamdulillah, berkat passion dan konsistensi pada sastra, budaya, dan masyarakat serta memberdayakan kebermanfaatannya untuk masyarakat mampu menghasilkan tulisan yang membawanya belajar sambil jalan-jalan baik di dalam maupun luar negeri. Hal itu menjadi sarana pula untuk membuka jejaring dengan para peneliti dan mitra dari negara lain. Hal tersebut terbukti dari rekam jejak beliau melaksanakan konferensi, visiting lecturer, kolaborasi riset dan publikasi internasional bersama para ahli dari Malaysia, Brunei Darussalam, Jepang, Inggris, Rusia, dan negara lainnya bermodalkan passion dan konsistensi terhadap penelitian dan penulisan..
Perjalanannya menuju gelar “Guru Besar” pun tak lepas dari pengabdiannya di Universitas Pendidikan Indonesia sejak 2005, menjadi pengampu bidang sastra hingga BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing) di Strata 2, ditambah dengan berbagai pencapaian dalam pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Syarat-syarat seperti membimbing mahasiswa dalam tugas akhir, baik di S1, S2, maupun S3 sampai perolehan hibah internasional pun diraihnya. Hingga memasuki penilaian yang bertahap mulai dari tingkat prodi, fakultas, universitas, Dewan Guru Besar, Majelis Wali Amanat, dan barulah sampai pada tingkat kementerian. Berkat semua itu, pada 1 April 2023, usaha beliau setelah 17 tahun pengabdian membuahkan hasil berupa Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
“Bersyukur, dan insya Allah tidak akan pernah berhenti meneliti dan menulis. Syukur yang akan saya nikmati dengan berbagi inspirasi bersama mahasiswa dan siapa saja. Saya juga ingin lebih banyak lagi belajar bersama mereka, terutama ihwal sastra dan budaya,” ujarnya ketika ditanya dampak dan apa yang ingin dilakukannya setelah menjadi seorang profesor.
Baca juga : Raih Harapan 1 Duta Bahasa Jawa Barat, Rohmat dan Riska: Siapapun Bisa Jadi Duta Bahasa!
Selain bercerita perjuangannya, Ibu Neta juga berbicara mengenai masyarakat sastra. Menurut beliau, sastra dan masyarakat saling mempengaruhi. Satu hal yang teringat dari perkataan beliau adalah “Sastra jangan hanya jadi menara gading” yang memiliki makna bahwa sastra, kajiannya, dan apapun bentuknya harus bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat. Hal tersebut dapat diawali dari literasi keluarga. Sastra anak menjadi contoh yang paling relevan dan sederhana untuk memulai tujuannya tersebut.
Selanjutnya, beliau pun meninggalkan pesan bagi para mahasiswa bahasa dan sastra. Seperti yang kita ketahui, masih banyak kegalauan yang melanda di antara mereka. Mulai dari pertanyaan terkait karir seperti apa yang akan dijalani, hingga kehidupan yang digadang-gadang tak seindah karya yang mereka ciptakan.
Menurut beliau, semua itu dapat diatasi dengan dua hal, yakni rasa cinta dan kepercayaan diri. Mencintai sastra bisa dari mana saja, dan mempercayai diri sendiri untuk berkutat di dalamnya adalah keniscayaan yang pasti akan datang. Bisa dari kawan sebaya, fenomena yang kembar antara kehidupan nyata dan yang ada dalam karya, hingga rasa penasaran diri kita sendiri akan sastra.
Beliau berpendapat bahwa setiap instrumen kehidupan dapat dijadikan senjata. Apalagi, saat ini ranah bahasa dan sastra memiliki ruang yang lebih luas dengan nilai yang lebih fleksibel. Kreativitas dan inovasi merupakan kunci untuk memadukan kemudahan informasi yang kita miliki sekarang.
Ditambah lagi dengan penguasaan bahasa asing yang tak kalah penting bagi kita di bidang bahasa dan sastra Indonesia. Alasannya, yaitu karena tujuan kita saat ini adalah untuk mengglobalkan budaya lokal. Budaya kita merupakan sumber pengetahuan tanpa batas yang akan sangat mahal harganya di kancah internasional. Terlebih jika budaya tersebut sudah dipercantik dalam bentuk karya sastra, penelitian, dan lain sebagainya. Jadi, sudah tidak ada lagi alasan untuk tidak bersyukur atas apa yang kita dapatkan dalam dunia kesusastraan.
Begitulah kiranya kisah menarik yang dapat ditemukan dalam perjalanan hidup guru besar kebanggan kita, Prof. Dr. Yulianeta, M. Pd. Diharapkan dapat menjadi teman diskusi yang selalu menyenangkan sekaligus mentor yang penuh kasih sayang. Tak lupa juga, sebagai motivasi bagi kita semua untuk turut meneladani atau bahkan melampaui kiprahnya dalam dunia pendidikan yang tak berujung.
Penulis: Ridwan Zamroni
Editor: Afifah Dwi Mufidah
Baca juga : Raih Harapan 1 Duta Bahasa Jawa Barat, Rohmat dan Riska: Siapapun Bisa Jadi Duta Bahasa!