Sudah menjadi hal klise jika sebuah organisasi mahasiswa mempropagandakan perihal manajemen waktu. Hal tersebut ditujukan sebagai upaya menjaring mahasiswa untuk bisa masuk ke dalam organisasi. Menjadi hal yang wajib bagi setiap mahasiswa untuk bisa mengelola waktu agar tidak tumpang tindih antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya. Seiring bertambahnya proses kedewasaan serta tanggung jawab lainnya, seorang mahasiswa dituntut untuk lihai dalam membagi waktu. Antara menuntaskan akademik (karena tuntutan orang tua), bekerja (karena UKT yang mahal), asmara (karena kebutuhan rohani dan jasmani), serta hal lainnya. Dengan menggunakan wacana “skala prioritas”, hal tersebut dijadikan sebagai “dalil” bagi organisasi untuk merayu domba-domba tersesat agar masuk ke dalam suatu organisasi mahasiswa.
Secara harfiah memang organisasi memiliki peranan dalam mengelola suatu hal secara terstruktur dan sistematis. Dalam pelaksanaannya, pembacaan kondisi dan perencanaan kegiatan merupakan bagian dari pengelolaan agar bisa dijalankan sesuai konsep. Bahkan merujuk pada teknis kegiatannya, waktu menjadi acuan agar kegiatan bisa terpimpin, program berjalan baik, dan tidak keluar dari apa yang sudah direncanakan.
Dalil tersebut dijadikan sebuah wahyu yang dijual oleh organisasi untuk menarik perhatian para mahasiswa. Seolah sudah menjadi efek dogmatis bahwa setiap organisasi harus memiliki keyakinan seperti demikian. Nilai yang dijual kepada setiap mahasiswa diyakini bisa bermanfaat untuk bekal setelah lulus dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat.
Tetapi yang luput dari para pengikut organisasi mahasiswa tersebut adalah output yang dihasilkannya apakah memang seperti demikian kebenarannya dan juga membawa embel-embel jejak rekaman sebagai kesahihan atas dalil tersebut. Padahal, hakikat manusia adalah memiliki otoritas untuk memilih apakah hal tersebut bisa dijadikan suatu kebenaran atau tidak.
Sebagai contoh kasusnya adalah mahasiswa yang bergiat dalam organisasi selalu dihubungkan dengan permasalahan akademik. Mereka akan kewalahan dalam menghadapi dunia akademik karena terlalu disibukkan oleh kegiatan organisasi. Rapat yang tidak berkesudahan, kegiatan yang terlampau lama dari jam kerja yang disepakati, bahkan tugas-tugas kuliah yang berbentrokan dengan kegiatan organisasi. Hal tersebut yang menjadikan kebanyakan mahasiswa enggan untuk berorganisasi dikarenakan waktu untuk berkuliah akan terpotong oleh organisasi.
Padahal jika menilik pada penyelenggaraan kegiatan Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) yang dilandaskan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan minat, bakat, dan penalaran. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (meskipun problematik) menegaskan bahwa mahasiswa berhak mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi dan kemampuannya dalam bidang minat, bakat, serta penalaran. Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 pasal 14 disebutkan bahwa pengembangan minat, bakat, serta penalaran mahasiswa tersebut dilakukan melalui kegiatan kurikuler, kegiatan kokurikuler sebagai kegiatan pendukung proses pendidikan, dan kegiatan ekstra kurikuler sebagai kegiatan yang dilakukan melalui organisasi kemahasiswaan. Pasal 77 juga menyebutkan bahwa organisasi kemahasiswaan adalah organisasi intra perguruan tinggi, dan mendapatkan legalitas dari pimpinan perguruan tinggi.
Atas landasan di atas dapat dikatakan bahwa mahasiswa memiliki hak dalam berorganisasi di lingkungan kampus. Hak yang didapatkan pun tentu harus setara, baik di dalam pendidikan formal maupun nonformal. Mekipun demikian, sepertinya hal tersebut tidak tercerminkan dengan baik dalam pelaksanaan pendidikan nonformal (meskipun pendidikan formal pun kurang terjalankan dengan baik). Pendidikan nonformal kerap kali dianggap kurang penting bagi pelaksanaan di bidang akademik.
Baca juga: Sebuah Mesin Waktu: Selamat Berlayar Kembali Hima Satrasia
Berdasarkan pengalaman saya bersama rekan-rekan dalam menjalankan pendidikan nonformal, hak yang didapatkan selalu tidak maksimal. Dapat dilihat dari prioritas dalam dunia pendidikan, bahwa yang utama dalam pendidikan, yaitu pendidikan formal atau berkuliah seperti pada umumnya. Waktu yang diberikan untuk pelaksanaan pendidikan formal terlampau jauh dari pendidikan nonformal. Hal tersebut yang menjadikan banyaknya mahasiswa merasa keteteran dalam mengurus akademik. Pendidikan nonformal menjadi opsi sekunder atau bahkan tersier, sehingga banyak mahasiswa takut untuk berorganisasi karena itu bukan hal yang pokok.
Padahal jika melihat keterterikan mahasiswa banyak yang menginginkan untuk bisa berorganisasi tanpa terhambat dengan urusan akademik. Seolah menjadi hal yang normal jika mahasiswa harus pandai dalam mengelola waktu. Memang seharusnya begitu, namun jika sistem yang dibuat seperti demikian, maka keterampilan pengelolaan waktu tersebut hanya akan menajdi sia-sia bahkan tidak akan berguna.
Jika masih ada ketimpangan antara pendidikan formal dan nonformal, maka mahasiswa pada akhirnya dan seterusnya akan enggan mengikuti organisasi kemahasiswaan. Banyaknya pengekangan di dunia pendidikan formal, lambat laun eksistensi pendidikan nonformal akan tergerus oleh kebiasaan baru. Organisasi mahasiswa akan dianggap sebagai suatu hal yang tidak penting. Kebiasaan-kebiasaan hidup berorganisasi pun akan hilang dan tidak akan dirasakan oleh generasi berikutnya.
Selain dari ketimpangan di dalam permasalahan waktu, terdapat pula permasalahan fasilitas (meskipun pendidikan formal pun belum mendapatkan fasilitas yang mumpuni). Akses terhadap fasilitas untuk menunjang kegiatan nonformal sangat dibatasi, sehingga menghambat dalam pelaksanaannya. Contoh yang paling mudah adalah fasilitas yang berbayar yang menyebabkan mahasiswa kelimpungan dalam mencari fasilitas yang mumpuni untuk menunjang pendidikan nonformal.
Dampak yang terlihat dari permasalahan di atas adalah mahasiswa dituntut untuk mandiri dalam melaksanakan pendidikan nonformal. Padahal, hal tersebut sudah dijamin dalam undang-undang bahwa mahasiswa bisa mendapatkan hak dalam menjalankan pendidikan nonformal. Dampak dari kemandirian tersebut adalah mahasiswa akan semakin kesusahan untuk mendapatkan pendidikan yang dijamin oleh negara, baik pendidikan formal maupun nonformal.
Jika kita melihat di awal yang menjadi permasalahan atas kemoloran mahasiswa di dunia akademik yang dihubungkan dengan berorganisasi adalah permasalahan yang sistemik. Bukan hanya dikembalikan lagi kepada setiap individu, tetapi sistem yang dibuat mengkangkeng mahasiswa sehingga secara tidak langsung membuat mahasiswa untuk tidak terlibat di dalam dunia pendidikan nonformal.
Melihat permasalahan-permasalahan organisasi, khususnya mahasiswa yang bermasalah dengan urusan akademik selalu dihubungkan dengan karakter masing-masing. Padahal jika kita melihat secara materil bukankah karakter seseorang ditentukan dari kondisi sosial yang terjadi pada saat itu. Oleh karena itu, bisa saya simpulkan bahwa bukan hanya permasalahan pribadi yang menjadi akar atas permasalahan ini, melainkan ada faktor lain yang jauh lebih besar berpengaruh terhadap permasalahan di dunia organisasi.
Penulis: Hasbi Ramadhan
Editor: Laksita Gati Widadi