Mengajar Bahasa Indonesia di Satuan Pendidikan Kerja Sama: Sebuah Refleksi

Pemelajar dan pengajar berkolaborasi dalam proyek sosial kelas 4 SD. (Foto: Alzena)

Pada bulan Maret 2024, saya memulai tugas sebagai seorang pengajar di sebuah sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK), dalam naungan program asistensi mengajar yang diselenggarakan oleh program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Tugas saya berfokus pada pelaksanaan kegiatan belajar mengajar serta partisipasi dalam kegiatan sekolah di luar pembelajaran. Keadaan sekolah tempat saya bertugas tidak berbeda dengan sekolah saya dulu sehingga adaptasi yang dilakukan tidak terlalu sulit. Namun, sudut pandang saya tidak sebagai peserta didik melainkan sebagai pengajar Bahasa Indonesia. Posisi saya sebagai pengajar saat ini memengaruhi pandangan saya mengenai pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama.

Keberadaan mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama diatur dalam Permendikbud No 31 Tahun 2014 pasal 11. Kurikulum yang diberlakukan wajib memuat mata pelajaran Bahasa Indonesia bagi pemelajar WNI maupun WNA. Pelaksanaan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah Satuan Pendidikan Kerja dilaksanakan dalam konteks pembelajaran Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Pertimbangan ini didasari oleh kondisi pemelajar yang memiliki kewarganegaraan beragam dengan keterbatasan komunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Tiga bulan berlalu, ada beberapa hal yang saya temukan dan menjadi refleksi saya selama menjadi pengajar Bahasa Indonesia di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama.

Mengajarkan Bahasa Indonesia di Sekolah SPK

Selama bertugas, saya sering berdiskusi dengan guru pamong mengenai kondisi pemelajar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Kami menghadapi tantangan selama mengajarkan Bahasa Indonesia di sekolah. Kemampuan pemelajar dalam pembelajaran Bahasa Indonesia cenderung beragam. Beberapa kelas terdiri atas pemelajar dengan kemampuan beragam—mulai dari pemelajar yang sudah lancar berbahasa Indonesia hingga pemelajar yang belum pernah terpapar Bahasa Indonesia. Beberapa faktor perbedaan kemampuan antara lain kurangnya rasa percaya diri siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia, rendahnya frekuensi komunikasi dalam bahasa Indonesia, serta anggapan bahwa bahasa Indonesia tidak relevan dengan kehidupan mereka di masa depan.

Baca juga: SIAP KULIAH? SIMAK 6 HAL YANG HARUS MABA PERSIAPKAN!

Berbagai strategi dilakukan pengajar untuk memberikan pendekatan yang berbeda kepada setiap pemelajar. Saya bersama guru pamong berkolaborasi dalam kegiatan pembelajaran untuk kelas 9 SMP dengan membagi tugas mengajar sesuai kondisi kemampuan pemelajar. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran ini membutuhkan tenaga ekstra bagi kami karena perbedaan tujuan pembelajaran. Hal ini berdampak pada kesulitan dalam mencapai target materi yang seharusnya hadir berdasarkan silabus. Menghadapi fenomena ini, kami memaksimalkan waktu yang ada untuk memaparkan materi penting yang akan dipelajari kembali pada jenjang selanjutnya dan membangun lingkungan berbahasa Indonesia selama pembelajaran berlangsung.

Kondisi semakin menantang ketika pengajar harus menyiapkan bahan ajar. Sebagian besar bahan ajar Bahasa Indonesia dibuat oleh pengajar secara mandiri. Saya dan rekan magang menghadapi tantangan besar dalam mencari bahan ajar yang sesuai dengan kemampuan pemelajar, terutama pemilihan teks dan latihan. Banyak teks dan latihan dalam buku ajar yang tersedia tidak sesuai dengan kemampuan pemelajar. Teks yang tersedia juga tidak relevan dengan keadaan pemelajar. Kondisi ini dialami juga oleh guru pamong sehingga kami memutuskan untuk membuat teks dan latihan sendiri yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan pemelajar.

Selama proses pembelajaran berlangsung, pengajar berupaya membangun lingkungan bahasa yang mengutamakan berbahasa Indonesia. Guru pamong biasanya berinteraksi dengan siswa dalam bahasa Indonesia, baik di dalam maupun di luar kelas. Ini bertujuan agar pemelajar terpapar bahasa Indonesia dan memahami kosa kata bahasa Indonesia. Hasilnya pemelajar terbiasa berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa diantara mereka berusaha untuk komunikasi menggunakan bahasa Indonesia dengan campur kode bahasa Inggris.

Membangun Koneksi Sosial dengan Pemelajar

Bukan hal yang mudah dalam melakukan pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama. Seorang guru tidak hanya fokus pada memberikan wawasan, tetapi juga melakukan pendekatan sosial dengan pemelajar. Pemelajar di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama memiliki latar belakang yang berbeda seperti negara asal, agama, dan suku. Saya dan rekan magang memaksimalkan waktu tiga bulan magang untuk memahami karakteristik pemelajar. Upaya yang saya lakukan untuk pendekatan yaitu bermain bersama.

Baca juga: Hari Sarjana Nasional: Ketika Pendidikan Tinggi Menemui Tantangan Pasar Kerja

Berbagai aktivitas permainan saya ikuti bersama pemelajar seperti bermain petak umpet, basket, dan berburu barang. Keterlibatan saya dalam aktivitas mereka membuat pemelajar terbuka untuk bercerita dan membangun rasa percaya diri dalam proses pembelajaran. Dalam proses membangun koneksi ini, kami memberikan pemahaman pentingnya belajar bahasa untuk meningkatkan fungsi kognitif otak sehingga memperlambat timbulnya gangguan kognitif di masa depan.

Di akhir pertemuan, pemelajar membuat refleksi pembelajaran Bahasa Indonesia selama satu semester. Mereka menilai ada perkembangan kemampuan untuk berbahasa Indonesia. Meskipun ada beberapa materi yang dianggap sulit, mereka merasa tertantang untuk mempelajari materi tersebut. Pemelajar juga memberi masukan tentang aktivitas yang membantu mereka memahami materi.

Refleksi yang saya lakukan sebagai pengajar Bahasa Indonesia di sekolah Satuan Pendidikan Kerja sama menjadi pembelajaran dan pengalaman yang berharga. Kegiatan belajar tidak semata memikirkan konten pembelajaran beserta dokumen rencana ajar, tetapi juga memperlakukan pemelajar sebagai individu unik dan dinamis. Kegiatan belajar juga tidak terbatas pada ruang kelas atau kuliah, tetapi terbuka untuk setiap situasi kehidupan.

Penulis: Alzena Nabiilah Zufar

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Seberapa Penting Pendidikan Nonformal untuk Mahasiswa?