VIRUS CORONA BERMODAL KUOTA

Serba-serbi persoalan virus kota Wuhan ini menjadi trending topic seluruh negeri. Bahkan kasus penyebarannya pun hingga kini melesat kritis, termasuk di Indonesia. Akan tetapi, yang menjadi soal, “Apakah kasus ini menjadi sorotan negatif atau malah menjadi positif?” (Kalian bisa menilainya sendiri). Bila sudah seperti itu, tentunya memunculkan berbagai perspektif dari setiap individu, termasuk dari berbagai lapisan masyarakat.

Kenyataan adanya istilah social distancing bahkan lockdown menjadi alasan utama terhadap Corona Virus Disease atau disebut dengan Covid-19. Hal itu membuat berbagai aktivitas hingga kegiatan apa pun dihentikan begitu saja demi memutus tali rantai penyebaran Virus Corona. Dengan begitu, sistem perkuliahan secara kovensional (tatap muka) otomatis digantikan dengan perkuliahan secara daring.

Hubungan jarak jauh ini membuat kesulitan bagi dosen dalam menyampaikan setiap materi perkuliahan. Imbasnya, menumpuk berbagai tugas mata kuliah yang dikirim melalui email dan berbagai kiriman salindia termasuk voice note sebagai media penyampaian materi.    

Baca juga: Apa itu Bandung Writers Festival?

Lalu, bagaimana dengan nasib mahasiswa tingkat akhir? Apa mereka mengalami kesulitan dalam melakukan bimbingan atau justru malah sebaliknya. Kenyataan tersebut menuai kontroversi bagi tiap mahasiswa yang merasakan.

Bimbingan secara daring memang sudah tak aneh lagi bagi tiap mahasiswa. Karena hal itu memudahkan persoalan bila terkendala oleh jarak. Akan tetapi, bila melihat siatusi sekarang dengan mewabahnya Covid-19, “Apa menjadi efektifkah dunia perkuliahan?”

Belum lagi bila melihat kondisi berbagai lapisan masyarakat, seperti persoalan ibu rumah tangga dengan anaknya yang masih Sekolah Dasar (SD). Mereka kebingungan ketika sistem pembelajaran beralih pada sistem aplikasi. Hal itu akan berujung positif bagi anak yang dimanjakan orang tua dan mempunyai gawai sendiri.

Namun, apa jadinya anak yang tidak memiliki gawai karena melihat keadaan orang tua dengan keterbatasan ekonomi? Bila keadaannya seperti itu, tentunya orang tua cukup menyerahkan pendidikan kepada guru di sekolah. Anak jenjang kelas 4—6 SD terbilang cukup mampu menggunakan berbagai tampilan pada gawai, karena tanpa disadari mereka telah memahami penguasaan keterampilan berbahasa (seperti: menulis, membaca, menyimak, dan berbicara) di dalam kelas.

Beda halnya dengan anak pada jenjang kelas 1—3 SD yang masih memerlukan penguasaan materi dasar, seperti menulis dan membaca. Maka dari itu, dampak dari wabah ini sangat perlu diperhatikan karena yang menjadi sorotannya adalah, “Bagaimana sistem pembelajaran anak sekolah setelah direhatkan dalam waktu dua pekan ini?”

Wabah sinkronik ini sungguh unik memang, di saat sistem perkuliahan tidak berjalan efekif dan sistem pembelajaran anak sekolah menjadi bebas belajar memunculkan kesamaan yang serupa, yaitu pemenuhan tugas mata kuliah atau mata pelajaran sebagai pengganti sistem konvensional.

Jika mahasiswa menjalankan perkuliahan secara daring dan mengirimkan tugas melalui email kepada dosen bersangkutan, anak sekolah pun melakukan pencarian pada laman Google dan menggunakan aplikasi WhatsApp guna memenuhi kegiatan pembelajaran.

Berarti kebutuhan kuota di sini sangatlah penting bagi setiap orang, bahkan tak mengenal jenjang sama sekali. Wifi memang bisa menjadi kebutuhan internet, tetapi tidak semua orang menggunakan jaringan wifi apalagi mengingat keterbatasan lockdown dan social distancing.

Jadi, apa kabar perkuliahan? Apa kabar sistem pendidikan? Dan, apa kabar korban-korban penganut kuota?

Baca juga: Sudahkah Anda Berbahasa Ibu Hari Ini?

Penulis: Astri Apriliani Putri