Di tengah hiruk-pikuk kota Jakarta, sekelompok massa melakukan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI pada Kamis (22/8). Massa yang datang dari berbagai elemen masyarakat tersebut menyerukan tuntutan terhadap DPR untuk membatalkan revisi UU Pilkada yang rencananya akan disahkan pada Kamis, 22 Agustus pukul 10.00 WIB.
Massa mulai bergerak sekitar pukul 10.00 WIB dan memusatkan aksi unjuk rasa di depan gedung DPR. Hingga sore hari, terlihat massa masih memadati Jalan Gatot Subroto, Jakarta. Beberapa dari mereka menyempatkan diri untuk menunaikan salat asar berjamaah. Di saat yang bersamaan, masih terdengar seruan tuntutan dari massa lainnya yang menggema di udara. Ketegangan menyelimuti aksi sore itu, karena massa terus mencoba menerobos masuk ke halaman gedung DPR melalui salah satu pagar yang telah dirobohkan.
Sementara di seberang lokasi, polisi tengah bersiap siaga menjadi tameng pertahanan bagi para “wakil rakyat” yang merasa terancam atas aksi sore itu. Namun, terdapat pula sekelompok aparat yang sedang beristirahat dengan peralatan lengkapnya. Mereka amat santai seolah sedang menikmati pertunjukan sembari duduk bahkan rebahan di atas rumput hijau. Ironi, di saat rakyat sedang berjuang, ada oknum yang justru acuh atas situasi negerinya.
Ketika waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, suasana di depan gedung DPR tiba-tiba memanas. Terdengar teriakan dari titik utama aksi. Ternyata, saat itu polisi menindak massa yang berusaha masuk lebih dalam ke halaman gedung DPR RI. Beberapa dari massa terprovokasi dan berusaha melarikan diri ke Tol Lingkar Dalam Kota yang saat itu lengang akan kendaraan. Pembatas beton dengan kawat duri di atasnya berhasil mereka loncati. Bagi massa yang telah berpengalaman mengikuti aksi, mereka tak mudah terprovokasi dan tetap di tempat aman — jalur busway — sembari mengawasi sekitar.
Tidak berselang lama, massa aksi mulai tenang dan kembali menyuarakan tuntutannya sekaligus berusaha memasuki gedung Senayan. Kepulan asap hitam dari bakaran ban beserta ribuan sampah di jalan menjadi saksi momentum perlawanan rakyat agar dapat sepenuhnya memegang kekuasaan, bukan hanya segelintir orang.
30 menit berikutnya, barisan polisi merangsek maju untuk mendorong massa. Tindakan tersebut kembali membuat massa terprovokasi dan panik. Beberapa oknum massa melemparkan batu ke arah polisi untuk melindungi massa yang terkepung. Tanpa perhitungan yang matang, tindakan oknum tersebut hampir saja melukai massa lainnya yang rentan, seperti kelompok perempuan. Oleh karena itu, polisi merespons lemparan batu tersebut dengan menyemprotkan water cannon ke arah Tol Lingkar Dalam Kota beberapa kali.
Tepat pukul 18.00 WIB, batalyon polisi mundur dari posisi utama ke arah Stasiun Palmerah untuk kembali ke dalam gedung DPR RI. Diikuti dengan beberapa massa yang mulai meninggalkan lokasi. Tetapi, massa yang merasa tujuan aksi belum tercapai — menolak pengesahan revisi UU Pilkada — masih tetap berada di sana hingga polisi benar-benar melakukan represifitas.
Pada akhirnya, perlawanan harus terus digencarkan dengan masif. Karena negeri ini sudah rusak oleh segelintir manusia yang menginginkan kemakmuran pribadi. Skenario busuk akan selalu dibentuk oleh mereka supaya rakyat terus-menerus menderita, hingga tidak lagi mampu melawan. Satu hal yang perlu dijadikan catatan, rakyat harus melawan dengan terorganisir agar dampak yang diciptakan menjadi luas dan masif.
Rakyat Indonesia bukan hanya mereka yang ditindas secara terang-terangan. Rakyat Indonesia adalah mereka yang sadar bahwa demokrasi negeri ini dirusak oleh penguasa. Rebut dan jaga demokrasi!
***
“Jika kita merebut sesuatu demi mendapatkan kebebasan
Maka pihak yang direbut akan merebutnya lagi dan menarik panahnya
Dunia ini sederhana, oleh karena itu ia sulit dimengerti
Mengulangi tragedi yang sama entah beberapa kali
Requiem, requiem
Wahai bunga tak berdosa yang gugur di malam itu
Aku harap kau beristirahat dengan tenang di saat fajar
Lalu jika suatu saat harapan dapat terkabulkan
Potonglah benang takdir yang membelenggu itu
Ah, temanku, mari bertemu lagi di fajar tanpa dinding”
Akatsuki no Requiem — Linked Horizon
Reporter dan Penulis: Labibah
Editor: Afifah Dwi Mufidah