Menilik peran AI dalam Sastra, Apakah sebagai Mitra atau Justru Ancaman berbahaya?

Perkembangan teknologi dari masa ke masa kian progresif. Hal yang dahulu dianggap khayalan belaka, kini menjadi nyata. Kecerdasan buatan (AI) hadir sebagai salah satu pencapaian revolusioner karya manusia. Kehadirannya pun mulai merambah ke berbagai bidang, termasuk dunia sastra. Kini, AI mampu menulis puisi, cerita, dan menciptakan karya seni lainnya.

Tentunya fenomena ini memunculkan polemik dari berbagai kalangan—dari peneliti, penulis, hingga penikmat sastra. Pertanyaan pun bermunculan, akankah kecerdasan buatan (AI) dapat menggantikan peran manusia dalam memproduksi karya sastra? Sanggupkah ia menghadirkan emosi dan rasa yang menjadi ruh dari sebuah karya sastra?

Apakah Hasil Tulisan AI Bisa disebut Karya Sastra?

Pertanyaan tentang apakah hasil tulisan kecerdasan buatan (AI) bisa dikategorikan sebagai karya sastra memunculkan diskusi yang amat kompleks. Secara umum, sebagian kalangan mendefinisikan karya sastra sebagai hasil ekspresi batin manusia. Hasil ekspresi batin tersebut diwujudkan dalam bentuk bahasa dengan kedalaman emosi dan kreativitas.

“Hal yang membedakan manusia dengan hewan salah satunya adalah kemampuan berbahasa. Dengan kata lain, kemampuan memproduksi karya sastra itu hanya bisa dilakukan oleh manusia, tapi kita tidak bisa menutup kemungkinan terhadap kemajuan zaman,” ujar Dr. Yostiani Noor Asmi Harini, S.S., M.Hum., dosen Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Seperti yang sudah disampaikan, perkembangan teknologi yang semakin pesat menantang batasan ini. AI kini dapat menghasilkan teks naratif dan puitik yang menyerupai karya sastra manusia.

Salah satu aspek penting dalam karya sastra adalah emosi. Menurut Sumardjo dan Saini (1997), “sastra adalah ekspresi pribadi manusia yang menggambarkan pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, dan keyakinan dalam bentuk konkret yang memikat dengan menggunakan alat bahasa.” Di titik inilah muncul keraguan terhadap kemampuan AI. AI memang mampu meniru gaya bahasa yang emosional berdasarkan data. Namun, ia tetap tidak memiliki kesadaran atau pengalaman emosional yang autentik.

Dari sisi kualitas dan karakter karya, perbedaan antara tulisan AI dan manusia juga cukup mencolok. AI cenderung menghasilkan teks yang bersifat klise atau generik karena basis datanya sangat umum dan luas. “Bedanya dengan yang dibuat manusia, dari segi nilai rasanya dan diksi yang digunakan. AI kan datanya dari general, ya, makanya produksi diksinya pun cenderung klise,” jelas Dr. Yostiani.

Sementara itu, manusia memiliki kekuatan dalam menciptakan diksi yang lebih kreatif yang mampu menyentuh hati pembaca. Orisinalitas inilah yang menjadi ciri khas karya sastra manusia—sebuah aspek yang hingga kini masih sulit ditiru oleh mesin.

Baca juga: Menyimak Doa dalam Bait: Rekomendasi Puisi Bertema Agama
Mana yang Sebaiknya Dilakukan, Menghindari AI, Memanfaatkannya, atau Mengkritisinya?

Dalam menghadapi fenomena kecerdasan buatan (AI), sikap yang paling bijak bukan semata-mata menghindari atau mengkritisinya secara ekstrem. Namun, memanfaatkannya secara selektif dan kontekstual. Dr. Yostiani Noor Asmi Harini, S.S., M.Hum. menyatakan, “segala sesuatu yang ada di dunia ini ada plus dan minus-nya, tergantung dari sudut mana kita akan memanfaatkannya atau melihatnya.” AI, sebagai produk kemajuan zaman, bisa menjadi alat yang sangat membantu, asalkan digunakan secara proporsional dan sesuai kebutuhan.

Dalam ranah penulisan non-sastra, AI memiliki potensi besar sebagai pendukung. Ia dapat digunakan untuk mencari referensi, menggali topik, dan menyusun kerangka. Tak hanya itu, Ai juga membantu langkah-langkah teknis penulisan, seperti menyusun daftar pustaka atau menyarankan struktur argumen. Dalam konteks ini, pemanfaatan AI dapat mempercepat dan mempermudah proses berpikir serta menulis, terutama bagi pelajar, mahasiswa, maupun peneliti.

Namun, pemanfaatannya tetap harus disertai sikap kritis. Hal itu seperti yang diingatkan oleh Dr. Yostiani Noor Asmi Harini, S.S., M.Hum., “manfaatkan AI sebagai asisten atau alat bantu untuk mempermudah urusan hidup. Namun setelahnya, tugas kitalah  untuk mengkritisi hasil kerjanya, yakni dengan bersikap selektif, tidak ditelan sepenuhnya.” Artinya, AI bisa digunakan sebagai penunjang, tetapi bukan sebagai sumber utama tanpa evaluasi. Tetap dibutuhkan peran aktif manusia untuk menilai, menyaring, dan menyesuaikan hasilnya.

Ketika berbicara tentang penulisan karya sastra, pendekatannya berbeda. Bu Yostiani menegaskan, “kalau benar-benar murni 100% buatan AI, ya, yang pertama itu, untuk apa sih? Karena sastra itu dibuatnya dari hati. Jadi, saya sendiri, tidak mau menggunakan itu.” Karya sastra bukan sekadar hasil kombinasi kata, tetapi merupakan cerminan perasaan, perenungan, dan keunikan batin manusia. Jadi, AI hanya boleh digunakan sebagai alat bantu, seperti dalam menyusun outline atau memantik ide. Sementara itu, proses penulisannya sebaiknya tetap dilakukan oleh manusia untuk menjaga orisinalitas dan kedalaman makna.

Ke Mana Arah Dunia Sastra dalam 10 hingga 20 Tahun Mendatang?

Tidak bisa dimungkiri, dunia sastra akan terus mengalami perubahan seiring perkembangan teknologi dan cara manusia berinteraksi dengan teks. Apa yang dulu hanya hadir dalam bentuk cetak, kini telah bertransformasi menjadi sastra digital yang bisa diakses lewat layar gawai. Dulu kita mungkin tak pernah membayangkan membaca puisi atau cerpen melalui e-book atau media sosial. Namun, kini hal tersebut telah menjadi bagian dari keseharian.

Dr. Yostiani Noor Asmi Harini, S.S., M.Hum. melihat hal ini sebagai bagian dari dinamika zaman. Ia menyatakan, “Karya sastra itu akan terus berkembang. Dahulu kita tidak pernah terpikirkan akan membaca sastra dalam bentuk digital yang kemudian memunculkan periode sastra cyber.” Dengan logika yang sama, bukan hal mustahil jika ke depan akan muncul suatu fase baru. Mungkin fase itu bisa disebut sebagai ‘periode sastra AI’. Periode tersebut adalah fase ketika karya-karya sastra yang dihasilkan oleh atau melalui bantuan kecerdasan buatan menjadi bagian dari arus utama.

Baca juga: Memahami Stream of Consciousness: Sebuah Gaya Naratif dalam Prosa Modern

Perubahan ini bukan berarti menggantikan peran manusia sepenuhnya. Justru sebaliknya, Bu Yostiani menekankan bahwa peran manusia tetap sentral sebagai pembaca, penafsir, sekaligus pencipta. “Kita sebagai peneliti atau penikmat hanya harus beradaptasi,” ujarnya. Adaptasi menjadi kunci untuk tidak tertinggal. Namun, harus tetap kritis dalam memaknai apa yang berubah dan apa yang tetap harus dijaga dalam dunia kesusastraan.

Masa depan sastra mungkin akan dipenuhi oleh interaksi manusia dan mesin, bukan sebagai lawan, melainkan sebagai mitra kreatif. Namun, esensi sastra sebagai medium ekspresi rasa, pengalaman, dan nilai-nilai kemanusiaan akan tetap bergantung pada kepekaan dan kesadaran manusia sebagai makhluk berbahasa dan berjiwa.

Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, khususnya kecerdasan buatan, penting bagi manusia untuk tetap berpijak pada nilai-nilai kemanusiaan. Dr. Yostiani Noor Asmi Harini, S.S., M.Hum., mengingatkan, “seperti yang dikatakan Multatuli, tugas manusia adalah menjadi manusia.” Artinya, seberapapun canggihnya teknologi, manusia tetap memiliki keunikan: akal, rasa, dan kesadaran. AI memang menawarkan kecerdasan tanpa batas. Namun, hidup di dunia ini sendiri adalah anugerah yang mengajarkan kita untuk memilih sudut pandang yang bijak.

“Kita bisa menikmati semuanya itu dengan memilih sudut pandang yang tepat, yakni memanfaatkannya secara bijak dan melihat dari sisi positifnya, tanpa perlu merendahkan kita sebagai manusia,” tambahnya. Pesan ini menegaskan bahwa teknologi, termasuk AI, bukanlah ancaman, melainkan alat yang dapat dimanfaatkan secara bijaksana dengan tetap menghargai peran kita sebagai manusia.

Penulis: Helma Mardiana

Editor: Nabilla Putri Nurafifah

Baca juga: Semikolon (;): Bukan Akhir, Hanya Jeda untuk Bertahan