Ternyata, etnis Tionghoa menjadi salah satu pelopor terbentuknya kesusastraan Indonesia! Sebuah fakta tersembunyi yang harus kita ketahui.

Peran Etnis Tionghoa terhadap Kesusastraan Indonesia: Fakta Tersembunyi yang Tidak Disadari

Etnis Tionghoa berpengaruh besar dalam kesusastraan Indonesia. Hal tersebut diungkap dalam seminar bertajuk “Mengungkap Jejak Tersembunyi: Peran Kebangsaan Tionghoa dalam Kesusastraan Indonesia”. Sebagai pemantik, Nenden Lilis Aisyah, Livia Vasantadjaja, dan Hikmat Gumelar mengupas fakta-fakta tersembunyi mengenai keberadaan peran etnis Tionghoa yang berkontribusi besar dalam kesusastraan Indonesia.

Kontribusi etnis Tionghoa seringkali tidak diacuhkan bahkan sampai sekarang. Terlebih lagi, dalam komunitas Tionghoa sendiri, generasi tua maupun muda masih tertutup akan kenyataan sejarah ini. Sebagian dari kita pun pasti terasa asing mendengar istilah Sastra Melayu-Tionghoa. Jika diulik pada sejarah perkembangan sastra, ternyata etnis Tionghoa menjadi salah satu pelopor terbentuknya kesusastraan Indonesia. Hal tersebut diyakini dengan adanya sastra Melayu-Tionghoa yang pada dasarnya menjadi cikal bakal tercetusnya sastra Indonesia sekarang.

Sastra Melayu-Tionghoa dan Kebijakan Pemerintah

Sastra Melayu-Tionghoa mengalami perkembangan pada akhir abad 19 hingga tahun 1960-an. Pada zaman tersebut, 806 penulis terlahir dan 3.005 karya tercipta (Claudine Salmon dalam Sastra Indonesia Awal). Perkembangan tersebut menciptakan keragaman pemakaian bahasa selain Melayu-Tionghoa, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Mandarin, bahasa daerah, ataupun bahasa Inggris.

Pada tahun 1960-an, sastra Melayu-Tionghoa mengalami gejolak karena adanya peraturan yang bernegasi dengan etnis Tionghoa, yaitu Perpres No. 10 Tahun 1959 tentang Larangan Bagi Usaha Perdagangan Kecil dan Eceran yang Bersifat Asing di Luar Ibu Kota Daerah Swatantra Tingkat I dan II Serta Keresidenan. Hal ini membuat etnis Tionghoa merasa dirugikan karena peraturan tersebut membungkam mereka dalam banyak hal, termasuk berkarya sastra. Ditambah lagi, adanya peristiwa G30S/PKI tahun 1965 juga memengaruhi sastra kaum peranakan Tionghoa. Kejayaan sastra etnis Tionghoa secara signifikan meredup setelah tahun 1965.

Kontribusi Sastra Etnis Tionghoa Pasca-1965

Setelah kejadian tahun 1965, sastra etnis Tionghoa mengalami penurunan jumlah karya. Selain itu, sastra etnis Tionghoa juga mengalami peralihan bahasa. Namun terlepas dari itu, etnis Tionghoa nyatanya masih berkontribusi dalam kemajuan sastra Indonesia.

Kontribusi etnis Tionghoa dapat dirasakan melalui beberapa fenomena kesusastraan di Indonesia. Pertama, berkembangnya cerita silat (cersil) di Indonesia. Munculnya cersil di Indonesia pada 1950 dipengaruhi oleh adanya penerjemahan cersil Tiongkok yang berasal dari penulis Jin Yong, Gu Long, dan Liang Yusheng. Saat itu, penerjemahan dilakukan oleh Gan K.L (Gan Kok Liang) dan O.K.T (Oey Kim Tiang). Akan tetapi, cersil orisinal Indonesia pada 1960-an pun melahirkan beberapa nama penulis legenda, seperti Kho Ping Hoo, SH Mintardja, Herman Pratikno, dan Arswendo Atmowiloto.

Kontribusi etnis Tionghoa dalam sastra Indonesia juga banyak melahirkan penulis perempuan. Hal tersebut dapat terjadi tak lepas dari peran majalah dan tabloid untuk perempuan: Femina, Dewi, Kartini, dan lain sebagainya; yang menerbitkan karya dari penulis perempuan. Salah dua dari penulis perempuan yang mencuat terkenal adalah Mira W. dan Marga T. Hal ini semakin meningkatkan minat baca yang membantu meningkatkan kepopuleran fiksi atau novel populer. Hal positif lainnya, yaitu meluaskan industri penerbitan.

Nasionalisme dalam Sastra Etnis Tionghoa

Etnis Tionghoa seringkali dianggap tidak nasionalis. Stereotipe tersebut selalu dikaitkan dengan orang-orang Tionghoa yang terkenal pandai berbisnis dan selalu mencari keuntungan. Namun benarkah adanya hal itu?

Basuki Soejatmiko dalam karyanya yang berjudul “Sinyo Sipit” (1985) membantah stereotipe tersebut. “Sinyo Sipit” mengisahkan perjuangan etnis Tionghoa dalam membela tanah air. Diceritakan perjuangan Hian Baw (akrab disapa Sinyo Sipit), seorang pemuda Tionghoa yang terlibat dalam peperangan di Surabaya pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Secarik kalimat nasionalisme dilontarkan pemuda Tionghoa tersebut.

“Aku ikut berjuang bersamamu…”
– Basuki Soejatmiko, Sinyo Sipit (1985)

Merenungi Pentingnya Peran Etnis Tionghoa dalam Kesusastraan Indonesia

Oleh sebab itu, penting untuk kita sadari bahwa etnis Tionghoa memiliki sumbangsih yang berpengaruh di dunia kesusastraan Indonesia. Perlu diketahui juga, jika tidak adanya karya etnis Tionghoa yang masuk ke Indonesia, sastra Indonesia tidak akan semodern pada zaman sekarang. Jadi, ini merupakan fakta tersembunyi yang harus disebarluaskan kepada masyarakat luas betapa pentingnya peran etnis Tionghoa dalam terbentuknya kesusastraan Indonesia.

Penulis: Saddam Nurhatami Umardi Putra
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra

Baca juga: Teater “Lawan Catur”, English Literature Forum: Manipulasi Penguasa dan Bahasa sebagai Alatnya