Mengingat Kembali: 21 Tahun Kematian Munir di Balik September Hitam

Setiap memasuki September, istilah “September Hitam” kembali menyeruak dalam ingatan sejarah Indonesia. Bulan ini lekat dengan rentetan pelanggaran HAM, mulai dari pembantaian massal pasca-G30S/PKI, penembakan massa dalam tragedi Semanggi I dan II, hingga penghilangan paksa aktivis. Semua itu menjadi pengingat pahit atas gagalnya negara menegakkan hukum dan melindungi warganya.

Di tengah kelamnya sejarah itu, salah satu nama muncul sebagai simbol perlawanan, Munir Said Thalib hadir. Aktivis HAM yang vokal membela masyarakat kecil ini kehilangan nyawanya pada 7 September 2004 akibat racun arsenik. Semasa hidup, ia gigih mengadvokasi kasus penggusuran, perburuhan, hingga kekerasan negara. Munir juga mendirikan KontraS, lembaga yang hingga kini konsisten mengawal laporan dan advokasi korban pelanggaran HAM.

Kronologi Kematian Munir

Kematian Munir terjadi ketika ia sedang dalam pesawat Garuda Indonesia tujuan Jakarta-Amsterdam dengan nomor penerbangan GA-974 untuk melanjutkan pendidikan S2 nya mengenai Hukum Humaniter di Universitas Utrecht, Belanda. Berdasarkan kesaksian para saksi di tempat kejadian, suasana menjelang kematian Munir sungguh mencekam. Ia sempat mengalami kesakitan hebat dua jam sebelum pesawat tiba di Bandara Schipol, Amsterdam. Munir menghembuskan napas terakhirnya sekitar pukul 08.10 waktu setempat. Lalu, jenazahnya baru diturunkan setelah pihak keamanan melakukan proses pemeriksaan selama 20 menit sesudah pesawat mendarat di Amsterdam.

Dua bulan setelah kematiannya, misteri atas tragedi itu akhirnya terkuak. Kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir tewas akibat diracun. Hal ini dikonfirmasi oleh Institut Forensik Belanda (NFI) pada November 2004, di mana ditemukannya senyawa arsenik dalam tubuh Munir ketika diautopsi. Senyawa mematikan itu terdeteksi dalam air seni, darah, dan jantung Munir dengan jumlah dosis yang fatal dan melebihi kandungan normal.

Penemuan arsenik dengan dosis mematikan ini mengubah perspektif dalam penanganan kasus secara total. Menurut laman Kontras, pembunuhan Munir merupakan sebuah serangan yang dilakukan secara sistematik, bukan sekadar tindak kriminal acak yang dilakukan secara tiba-tiba. Selain itu, tragedi ini diindikasikan sebagai sebuah kejahatan yang terorganisasi dan diyakini melibatkan beberapa pihak dari kalangan berpengaruh. Hal ini juga yang menjadi landasan kuat bagi publik untuk mempertanyakan komitmen pemerintah dalam melindungi HAM rakyatnya.

Tidak Kunjung Menemukan Titik Terang

Proses hukum dalam pengungkapan kasus Munir sampai saat ini belum menemukan titik terang dan akhirnya membuktikan kerentanan sistem peradilan menjadi sangat lemah dihadapan tekanan politik. Saat investigasi, awalnya menyeret pihak dari maskapai Garuda Indonesia. Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior Garuda, ditetapkan sebagai tersangka pada 18 Maret 2005, bersama dua kru Garuda lainnya, yaitu kru pantry Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti. Pollycarpus, yang pada saat kejadian mengaku sebagai kru tambahan, dinyatakan sebagai pelaku yang memasukkan racun arsenik pada tubuh Munir dan ia didakwa melakukan pembunuhan berencana.

Pada 20 Desember 2005, Pollycarpus dijatuhi hukuman 14 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, ia dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan turut melakukan pembunuhan berencana terhadap Munir. Jaksa penuntut umum (JPU) sebelumnya bahkan menuntut hukuman penjara seumur hidup. Kasus peradilan ini berlanjut di tanggal 3 Oktober 2006, Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan kasasi yang membatalkan dakwaan pembunuhan berencana. Intinya pada sidang ini, Pollycarpus hanya terbukti bersalah menggunakan surat dokumen palsu untuk perjalanan dan hanya divonis 2 tahun penjara.

Baca Juga: Selasaan UKSK Bersama HIMA Satrasia: Menangkap KUHAP sebagai Sinyal Represi Rakyat

Selang beberapa bulan, keanehan sistem peradilan kembali terjadi, Pollycarpus sempat bebas dari LP Cipinang setelah mendapat remisi susulan pada 25 Desember 2006. Menjelang berakhirnya masa tahanannya, pada 25 Januari 2008 MA mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) dari Kejaksaan Agung dan memutuskan menghukum Pollycarpus 20 tahun penjara. Setelah menjalankan lima tahun masa tahanannya, Pollycarpus mengajukan PK lagi pada 2 Oktober 2013 dan MA mengabulkannya, sehingga mengurangi hukuman Pollycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun penjara. Namun, selang lima tahun kemudian Pollycarpus dinyatakan bebas murni setelah ia menjalani masa bimbingan pembebasan bersyarat sejak November 2014.

Selain Pollycarpus, mantan Direktur Utama (Dirut) PT Garuda Indonesia, Indra Setiawan, juga ditetapkan sebagai tersangka baru pada 10 April 2007. Selanjutnya, Indra Setiawan divonis satu tahun penjara pada Februari 2008 karena diduga turut membantu Pollycarpus dalam menjalankan aksinya. Selain itu, indikasi keterlibatan lembaga intelijen dalam tragedi ini semakin menguat setelah Muchdi Purwoprandjono (Muchdi Pr) yang saat itu menjabat sebagai Deputi V BIN/Penggalangan (2001-2005), ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Juni 2008. Ia ditetapkan sebagai tersangka karena diduga kuat terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Munir.

Dalam tragedi ini, bukti komunikasi menjadi kunci yang sangat sensitif dan krusial, karena diduga terdapat lebih dari 40 kali komunikasi telepon antara Muchdi dan Pollycarpus selama sebelum dan sesudah Munir dibunuh. Bahkan, terdapat 15 kali hubungan telepon Muhdi dengan Pollycarpus pada hari Munir dibunuh. Namun, semua bukti ini seolah tak berarti di hadapan palu hakim.

Pada 31 Desember 2008, Majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memvonis Muchdi Pr bebas murni dari segala dakwaan. Vonis bebas ini kemudian diperkuat oleh putusan MA pada 10 Juli 2009, sehingga pembebasan Muchdi Pr diindikasikan sebagai cara efektif untuk menutup jalur yudisial dalam mengusut dalang intelektual di balik pembunuhan Munir atau mungkin September Hitam.

Kejanggalan dan Hilangnya Dokumen Negara

Terhitung hingga hari ini, kasus Munir menyisakan pertanyaan yang menggantung. Perihal mengapa kejahatan yang begitu terorganisir dengan begitu banyak petunjuk, berakhir tanpa terungkapnya dalang utama pembunuhan?

Kejanggalan dalam tragedi inilah yang menguatkan dugaan adanya rantai komando yang sengaja disamarkan. Pollycarpus yang saat itu berstatus sebagai pilot ternyata sedang dalam masa cuti. Namun, anehnya Indra Setiawan memberinya surat tugas. Kemudian, ada komunikasi yang memastikan Munir naik penerbangan GA 974 yang dilakukan oleh Pollycarpus melalui telepon yang terjadi tiga hari sebelum keberangkatan. Fakta-fakta ini menunjukkan perencanaan matang, di mana Munir sengaja diposisikan sebagai target di dalam pesawat yang ia tumpangi.

Selain itu, misteri terbesar yang menghalangi penuntasan kasus ini adalah drama hilangnya laporan Tim Pencari Fakta (TPF) yang sempat dibentuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelumnya, dokumen hasil investigasi diserahkan secara langsung kepada Presiden SBY pada 24 Juni 2005. Namun, dokumen krusial tersebut tak kunjung dibuka ke publik hingga akhir masa kepemimpinan SBY.

Hal janggal selanjutnya terjadi ketika pemerintahan berganti ke Presiden Joko Widodo (Jokowi), dokumen hasil laporan TPF tiba-tiba dinyatakan hilang. Hilangnya laporan itu baru diketahui pada pertengahan Februari 2016, ketika KontraS mendatangi Kantor Sekretariat Negara untuk meminta pengumuman hasil laporan TPF. Hilangnya dokumen TPF di tengah jalan adalah upaya sistemik yang dianggap aktivis sebagai upaya menghalang-halangi dibukanya kebenaran.

Di sisi lain, Suciwati, istri Munir, terus mengirimkan surat dan menagih janji Presiden Jokowi untuk menemukan, mengumumkan, dan memberikan hasil penyelidikan TPF Munir kepada publik, mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Mendukung hal ini, LBH Indonesia pada 7 September 2017 secara keras menagih janji Jokowi–JK yang tertuang dan pernah dijanjikan. Beberapa fakta lain juga diungkap oleh akun hacker @Bjorka pada September 2022, sejalan dengan temuan TPF yang seharusnya mewajibkan Pemerintah untuk mengumumkan hasilnya kepada masyarakat.

Relevansi dan Estafet Perlawanan

Hampir lebih 2 dekade sudah kasus ini terjadi, Munir tidak hanya menjadi kisah masa lalu. Dari kasusnya, kita bisa jadikan barometer yang menunjukkan jalan berliku atas perlindungan para pembela HAM. Sejalan dengan ini, publik terus mempertanyakan komitmen pemerintah dalam usaha untuk melindungi rakyatnya. Koalisi masyarakat sipil, termasuk KontraS dan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) konsisten mendesak Komnas HAM untuk menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai Pelanggaran HAM Berat. Mereka berargumen bahwa pengadilan selama dua dekade lebih belum mampu membongkar dalang dan motif di balik kejahatan ini. Pengabaian terhadap pengusutan kasus pembunuhan Munir menjadi bukti kegagalan Negara dalam menyelenggarakan proses hukum.

Baca Juga: Memahami Gaya Kritik Generasi Muda pada Perayaan Kemerdekaan

Melalui kasus ini, kita seolah melihat cermin dari pola impunitas yang diizinkan berulang di Indonesia. Dalam salah satu kesempatan, isu perihal perlindungan bagi pejuang keadilan, seperti yang dibahas dalam diskusi ”Dari Munir hingga Novel Baswedan” pada November 2018, menunjukkan perlindungan bagi aktivis masih menjadi isu mendesak. Aktivis menilai, situasi HAM belakangan ini di Indonesia menunjukkan semakin merosotnya kualitas kehidupan yang kian ditelantarkan atau bahkan digerogoti oleh otoritas, baik Negara atau kelompok yang sarat kepentingan seperti kalangan pengusaha (oligarki).

Selain itu, KASUM bersepakat dengan pernyataan korban dan keluarga korban Pelanggaran HAM Berat masa lalu, bahwa Keppres No. 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu merupakan sarana “cuci dosa” Pelaku Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu karena bermasalah secara konseptual. Ditambah mengingat Munir dan korban lainnya adalah sebuah perlawanan yang harus dilanjutkan, karena pelakunya belum tertangkap dan mungkin masih berkeliaran jikalau belum mati oleh usia.

Aksi solidaritas juga giat digaungkan, kemarin tepat 7 September 2025 Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) menggelar siaran pers 21 tahun atas masih berkeliarannya aktor intelektual di balik pembunuhan Munir. Tuntutan dasarnya tetap tunggal, yaitu pengungkapan kebenaran atas pembunuhan pejuang HAM tersebut dan mendesak Negara untuk segera mengambil langkah hukum agar keadilan tercapai.

Keadilan untuk Munir, Keadilan untuk Semua

Munir Said Thalib telah tiada, tetapi semangatnya tetap relevan bagi banyak elemen dalam menyikapi keresahan warga hari ini. Kasus pembunuhan Munir merupakan bukti nyata gagalnya komitmen Indonesia sebagai negara hukum. Di mana kegagalan negara untuk menuntaskan kasus ini secara menyeluruh, menghilangkan dalang intelektual, dan menyembunyikan dokumen TPF hanya akan memperkuat budaya impunitas.

Selama keadilan penuh bagi Munir belum tercapai, selama itu pula September Hitam akan terus menjadi pengingat pahit. Keadilan yang tuntas bagi Munir adalah utang moral dan prasyarat fundamental bagi tegaknya martabat kemanusiaan dan supremasi hukum yang sesungguhnya di negara ini.

Penulis: Nabilah Novel Thalib
Editor: Auliya Nur Affifah

Baca Juga: Sikapi Pelanggaran HAM, Mahasiswa Gelar Aksi September Hitam