Pada awal Desember 2025, pemerintah pusat mengirimkan 50 ton beras sebagai bagian dari bantuan logistik kepada masyarakat terdampak banjir dan longsor di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bantuan beras tersebut diangkut menggunakan Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Sutedi Senoputra 378 dari Pelabuhan Belawan dan tiba di Aceh dalam upaya mempercepat distribusi logistik bagi wilayah yang sebagian besar masih terisolir akibat putusnya akomodasi jalur darat. Selain beras, ada juga jenis-jenis sembako lainnya, seperti mie instan, dan obat-obatan yang dibutuhkan korban bencana. Namun di luar hal itu, perhatian publik justru tertuju pada penempelan stiker “Bantuan Presiden” pada paket bantuan tersebut. Hal ini memicu perdebatan luas tentang bagaimana tanda visual memengaruhi persepsi publik terhadap kehadiran negara dalam suatu kondisi krisis tertentu.
Tanda Visual dalam Situasi Krisis
Dalam kajian semiotika Roland Barthes, krisis adalah situasi makna darurat. Di mana publik berada dalam kondisi emosional yang labil ditandai oleh ketakutan dan kecemasan yang lebih cepat merespons simbol visual daripada teks verbal. Barthes dalam bukunya Mythologies, menjelaskan bahwa tanda-tanda visual memiliki kemampuan untuk mengolah emosi dan membuat tanda tersebut terkesan natural. Dalam konteks bencana banjir di Sumatera, simbol visual seperti stiker bernama tokoh atau institusi bekerja sebagai bahasa yang langsung dapat diterjemahkan oleh emosi publik yang masih labil.
Simbol visual tidak hanya berperan sebagai penambah elemen keindahan, tetapi juga membangun framing realitas. Wajah, logo, warna, dan tulisan tertentu mengarahkan cara publik memahami siapa yang “hadir” dalam situasi krisis, siapa yang berperan aktif, dan siapa yang layak diapresiasi. Oleh karena itu, publik kerap mengasosiasikan bantuan dengan suatu figur tertentu, bukan dengan sistem negara yang lebih universal.
Guru Besar Linguistik Forensik, Aceng Ruhendi, menyampaikan bahwa dalam kondisi darurat, bahasa visual bekerja sebagai alat legitimasi kekuasaan yang kuat. “Dalam situasi krisis, tanda visual mudah diasosiasikan dengan rasa aman dan kehadiran. Bahasa visual ini dapat mempersonifikasikan kekuasaan tanpa disadari publik,” ujarnya.
Mengindikasikan bahwa tanda visual pada bantuan berperan aktif dalam mengarahkan cara publik memahami relasi antara negara, kekuasaan, dan warga terdampak bencana. Dalam kondisi psikologis yang belum stabil, publik cenderung menerima simbol visual sebagai representasi kehadiran nyata, bukan sebagai konstruksi makna. Akibatnya, figur yang dilekatkan pada bantuan mudah dipersepsikan sebagai aktor utama penyelamatan. Dengan demikian, simbol visual pada bantuan tidak hanya memengaruhi persepsi secara sadar, tetapi juga bekerja pada lapisan bawah kesadaran publik.
Menelisik Tanda “Bantuan Presiden” dalam Tiga Lapisan Makna
Memang pada dasarnya jika dilihat melalui makna denotatif, stiker bertuliskan “Bantuan Presiden” secara literal memberi informasi bahwa bantuan bersumber dari presiden dan pemerintah pusat. Pada tahap ini, tanda hanya akan tampak sebagai penambah informasi dan menyediakan identifikasi asal bantuan secara langsung.
Namun, bila ditelisik melalui makna konotatif, tanda tersebut memproduksi makna lain atau tambahan. Tanda tersebut menghadirkan presiden sebagai figur personal yang peduli dan hadir langsung di tengah rakyat, terkhusus yang terdampak bencana. “Nama atau simbol tokoh dalam bantuan publik dapat membangun kedekatan emosional semu, karena publik merasa ada figur yang hadir secara langsung, meskipun kehadiran itu bersifat simbolik,” tuturnya.
Oleh karena itu, pada fase makna ini, bantuan tidak lagi dipandang sebagai sekadar informasi logistik, melainkan sebagai manifestasi kebaikan personal pemimpin dalam situasi krisis. Melalui konstruksi tersebut, relasi emosional yang terbangun akhirnya memperkuat persepsi publik bahwa figur tertentu adalah penyelamat utama. Dampaknya, kehadiran negara yang bersifat institusional justru tereduksi menjadi citra kedermawanan individu.
Pada akhirnya pengadaan tanda ini ditujukan untuk sebuah mitos, di mana stiker tersebut seolah membangun narasi ideologis bahwa negara identik dengan presiden dan kepedulian negara setara dengan kemurahan hati individu, yaitu sang pemimpinnya. Kekuasaan pun dipresentasikan sebagai kehadiran personal yang menyelamatkan. “Ketika simbol personal terus direproduksi dalam ruang publik, masyarakat akan terbiasa melihat negara sebagai figur, bukan sebagai sistem. Di situlah ideologi bekerja tanpa disadari,” tambahnya.
Baca juga: Potret Patriarki dalam Dua Sisi: When Life Gives You Tangerines dan Kartini
Stiker “Bantuan Presiden” sebagai Praktik Komunikasi Kekuasaan
Di ruang publik, fenomena penempelan stiker bantuan ini memicu pro dan kontra. Secara semiotik, praktik tersebut lebih dekat pada personalisasi kekuasaan daripada sekadar komunikasi negara yang netral. Padahal seharusnya sebuah negara diwakili oleh institusi, bukanlah individu. Dan ketika stiker menonjolkan sebuah figur yang di mana adalah presiden, fungsi negara beralih menjadi citra personal.
Aceng Ruhendi menegaskan bahwa penonjolan figur dalam komunikasi bantuan publik berpotensi mengaburkan relasi antara kerja negara dan citra individu. “Bantuan yang dikaitkan dengan nama atau wajah pemimpin membuat publik sulit membedakan kerja institusional dan pencitraan personal,” tambahnya. Hal ini berimplikasi pada cara publik memahami hak mereka sebagai warga negara, bukan sebagai objek kemurahan hati seorang pemimpin.
Pada dasarnya, dikotomi makna antara bantuan anonim dan bantuan beridentitas politik memiliki implikasi yang signifikan. Bantuan anonim melalui simbol institusional, seperti logo BNPB atau lambang negara, umumnya dipersepsikan sebagai pemenuhan kewajiban negara, sehingga hal tersebut memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem. Sebaliknya, bantuan beridentitas politik cenderung dimaknai sebagai pemberian personal yang membangun relasi emosional subjektif, sekaligus rentan terindikasi sebagai instrumen pencitraan.
Presiden sebagai Figur yang Selalu Ada
Secara ideal, komunikasi visual negara dalam situasi bencana harus difokuskan untuk menegaskan empati, keselamatan publik, serta kerja kolektif institusi. Oleh karena itu, simbol institusional yang merepresentasikan negara sebagai sistem yang stabil perlu diprioritaskan di atas citra personal individu. Melalui penekanan pada kehadiran negara secara sistemik, publik akan memahami bantuan sebagai hak kewargaan yang sah, bukan sekadar produk kemurahan hati personal. Menurut Aceng Ruhendi, komunikasi negara dalam situasi krisis seharusnya menjaga jarak dari simbol personal. “Negara harus tampil sebagai institusi yang bekerja, bukan sebagai figur. Jika yang ditonjolkan justru individu, maka pesan empati berubah menjadi pesan kekuasaan,” ujarnya.
Lebih jauh lagi, praktik stikerisasi bantuan yang dilakukan secara masif berisiko mendistorsi pemahaman publik terhadap esensi negara. Alih-alih melihat negara sebagai sistem birokrasi demokratis, masyarakat justru cenderung mempersonifikasikannya sebagai figur tunggal. Akibatnya, pemberian bantuan tidak lagi dimaknai sebagai kewajiban konstitusional negara, melainkan sebagai instrumen loyalitas politik yang mengaburkan hak-hak warga negara.
Pada titik ini, literasi demokrasi publik mengalami distorsi, karena relasi antara warga dan negara dibingkai secara emosional dan personal, bukan rasional dan struktural. Aceng Ruhendi mengingatkan bahwa kondisi ini berbahaya bagi kesehatan demokrasi simbolik. “Ketika kritik terhadap kebijakan negara dianggap sebagai serangan terhadap sosok pemimpin, itu tanda bahwa simbol personal telah menggantikan fungsi institusional negara,” ucapnya.
Bantuan dan Kuasa dalam Sebuah Tanda
Pada akhirnya, dalam konteks bencana banjir dan longsor yang menimpa Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, keberadaan stiker “Bantuan Presiden” tidak lagi dapat dibaca sebagai penambah informasi. Namun, ia bekerja sebagai tanda ideologis yang beroperasi pada tiga lapis makna Barthes, yaitu denotatif, konotatif, dan mitos. Dan pada mitos, tanda tersebut berpotensi menggeser makna bantuan negara dari hak warga menjadi tindakan kebaikan personal penguasa. “Jika tidak dibaca secara kritis, tanda-tanda visual dalam bantuan publik akan terus dinaturalisasi, padahal di dalamnya terdapat relasi kuasa yang bekerja secara halus,” pungkasnya.
Baca juga: Hima Satrasia Menutup Cerita: Titik Akhir Perjalanan 62 Tahun
Penulis: Nabilah Novel Thalib
Editor: Gizvah Wanda




