Omnibus Law Versi Keyakinan Charles Pierce

Penolakan terhadap Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 5 Oktober ternyata menuai problem baru di kala pandemi seperti ini. Pasalnya, setelah diberitakan adanya pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR Republik Indonesia, masyarakat geram karena termakan isu ketidakwajaran. Pertanyaan satu persatu mencuat ke permukaan hingga pada akhirnya memutuskan adanya aksi penolakan Omnibus Law. Keadaan seperti ini, tentu tidak bisa kita salahkan. Karena hal itu bisa berkaitan dengan artificial doubt (keraguan semu) masyarakat terhadap pemerintah. Bila kita artikan, artificial doubt inihadir atas dasar keraguan terhadap suatu isu pada kurun waktu tertentu (musiman).

Belum lagi aksi penolakan Omnibus Law ini menjadi suatu dorongan masyarakat dalam menemukan suatu keadilan. Pandangan seperti ini bisa kita linearkan menjadi hal yang sifatnya ilmiah. Relevansi ini juga tidak hanya menunjukkan bukti siklus-empirik, tetapi dikaitkan dengan bukti-bukti kealaman secara ilmiah.

Misalnya, kejadian aksi penolakan Omnibus Law terjadi karena tiga kemungkinan. (1) Keyakinan yang mengarah pada tenacity; (2) Keyakinan yang mengarah pada authority; (3) Keyakinan yang mengarah pada a priory. Bila kita jelaskan keterkaitannya antara kejadian aksi dengan teori ilmiah, tentu ada hubungannya.

Pertama, keyakinan tenacity hadir atas dasar memperoleh suatu isu (Omnibus Law) dan meyakini isu tersebut karena adanya ketimpangan dari yang telah disahkan. Padahal isu yang diyakininya itu belum tentu benar dan lebih mengikuti spekulasi masyarakat secara umum.

Kedua, keyakinan authority bersumber dari yang dipandangnya itu memiliki otoritas. Misalnya, saat para buruh dan mahasiswa yang mengikuti aksi bisa didasari oleh inisiatif mereka sendiri. Dan wewenang mereka adalah melakukan aksi secara serempak.

Ketiga, keyakinan a priory, yaitu keyakinan terhadap suatu intuisi, menerima pandangan apapun, dan melakukan sesuai dengan pikirannya tanpa melibatkan sebuah fakta di dalamnya. Keyakinan seperti ini bisa saja terjadi karena gerakan hati seseorang untuk mengikuti aksi. Karena hal itu juga berkaitan dengan subjektivitas seseorang dalam menentukan pilihannya.

Baca juga: Program Bela Negara: untuk Mahasiswa yang Kritis terhadap Oligarki atau Pejabat Negara yang Mengkhianati Nilai-nilai Pancasila?

Penjelasan di atas menunjukkan kohesi dari sudut pandang kejadian empiris berdasarkan teori ilmiah. Jadi, tidak semata-mata menunjukkan perspektif secara subjektif. Undang-Undang Sapu Jagat atau Undang-Undang Omnibus merupakan istilah untuk menyebut suatu undang-undang yang bersentuhan dengan berbagai macam topik dan dimaksudkan untuk mengamandemen, memangkas dan/atau mencabut sejumlah undang-undang lain. Kenyataannya, setiap naskah yang ditunjukkan selalu berbeda-beda, bahkan setiap pejabat publik yang bersangkutan menyatakan ketidakonsistenan dari pernyataan yang disampaikan.

Jadi, manakah yang perlu masyarakat yakini? Dari sinilah masyarakat mulai menyimpulkan pemahaman abduksi dan melihat signifikasinya secara jelas. Pemahaman abduksi ini adalah memaknai sesuatu berdasarkan kesimpulan yang paling memungkinkan atau sebagai penjelasan terbaik. Maka, bila kita lihat signifikasinya, masyarakat menemukan hal-hal yang dirasa paling benar dari berbagai informasi, termasuk termakan isu-isu hoaks; masyarakat menyudutkan pemerintah karena melakukan penyimpangan; masyarakat melakukan aksi turun ke jalan sebagai upaya protes terhadap pemerintah. Hal-hal seperti itulah yang memunculkan praanggapan yang diyakini oleh masyarakat. Dengan demikian, sebuah pengetahuan inilah teori/tanda terletak pada efek praktis penerapannya (signifikasi makna).

Ada sebuah teori yang memaknai atau membaca simbol melalui tanda-tanda, istilahnya itu disebut dengan ilmu semiotika. Semiotika ini sebagai ilmu tentang tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya, yakni dari cara menemukan fungsinya (sintaksis), hubungannya dengan tanda-tanda lain (semantis), pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya (pragmatik).

Aksi penolakan Omnibus Law ini bisa kita sesuaikan dengan aspek pragmatis dan menggunakan konsep Triadik (triangle meaning semiotics). Kesesuaian ini terbagi menjadi 3 bagian, yaitu representamen sebagai tanda; objek sebagai sesuatu yang diwakili oleh tanda itu; dan interpretan sebagai makna. Bila disederhanakan contohnya itu seperti Omnibus Law RUU Cipta Kerja (representamen), undang-undang yang telah disahkan pada 5 Oktober (objek), dan menimbulkan pro dan kontra, termasuk melakukan aksi demo (interpretan). Hal-hal seperti itulah yang bisa kita maknai dari kehidupan empiris yang didasari oleh teori-teori yang bersangkutan.

Kesimpulannya, ketentuan apapun yang dikehendaki oleh pemerintah dan hak apapun yang diinginkan oleh masyarakat, haruslah sejalan dengan tidak adanya lagi pihak yang dirugikan. Begitu pun naskah 812 halaman sebagai peraturan final dijadikan keselarasan antara pemerintah dengan rakyat. Semoga iming-iming untuk menyejahterakan rakyat bisa kita rasakan nantinya dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bila pemerintah menginginkan suatu kepercayaan dari masyarakat, bentuklah kepercayaan itu dengan bukti-bukti kebenaran seobjektif mungkin. Dengan begitu, keyakinan masyarakat terhadap pemerintah akan kokoh pada kebenaran transendental (berdasarkan fakta), dan terhindar dari kebenaran kompleks (berdasarkan opini).

Baca juga: Menuju Hari Tani Nasional: Ketika Melihat Kondisi Kaum Tani, Kelas Buruh, dan Mahasiswa, Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Penulis: Astri Apriliani Putri