Revisi Undang-Undang (RUU) TNI telah disahkan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani pada hari Kamis (20/03/25). Hal ini menuai kontra di kalangan masyarakat, khususnya di Kota Bandung. Masyarakat Bandung menilai UU TNI bisa mengancam keberadaan sipil dan mengembalikan dwifungsi TNI yang telah dihapus pasca reformasi 1998. Tentunya, dengan disahkannya UU TNI, maka militerisasi orde baru dikhawatirkan akan kembali.
Kemarahan masyarakat di Kota Bandung mulai memuncak pada hari Jumat (21/03/2025). Dilakukannya aksi tolak UU TNI di titik aksi Gedung DPRD Jawa Barat. Seluruh elemen masyarakat mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga pekerja bergabung tanpa memakai identitas instansi. Semuanya berbaur dengan memakai pakaian hitam dengan membawa poster “#PulangkanTNIkeBarak”.

Aksi tolak UU TNI dimulai dengan orasi-orasi dari berbagai elemen masyarakat.
“Kita amini dari golongan manapun, instansi manapun dengan tujuan yang sama, melawan musuh kita, militer,” ujar salah satu masyarakat yang sedang orasi.
Baca Juga: UU TNI: Potensi Hilangnya Kebebasan Berekspresi
Masyarakat sangat marah terhadap DPR karena suara yang tidak didengar dan terlihat tanda-tanda hancurnya demokrasi. UU TNI dengan mudahnya disahkan tanpa transparansi dan terkesan terburu-buru. Selain itu, dengan adanya UU TNI, masyarakat sipil akan terancam dengan keberadaan prajurit yang dapat menduduki 16 jabatan sipil sesuai dengan UU TNI Pasal 47.

Vandalisme di Gedung DPRD
Dalam Aksi tolak UU TNI, masyarakat melakukan vandalisme dengan mencoret-coret tembok gedung DPRD Jawa Barat. Coretan tersebut merupakan bentuk amarah rakyat ketika melihat DPR tidak mendengarkan aspirasi. Berbagai umpatan disampaikan seperti “TNI ANJING”, “DPR ANJING”, “MARSINAH DIBUNUH TENTARA” yang merupakan bentuk respon atas bobroknya demokrasi yang diacak-acak oleh DPR dan TNI.

Jika dikaji dalam pandangan kebahasaan, kata “Anjing” merupakan umpatan yang kasar terhadap sesuatu yang konotasinya buruk. Kata ini seringkali dipakai ketika kekesalan dan kemarahan sudah meluap-luap serta tak terbendung terhadap suatu objek. Selain itu, tentara juga dinyatakan sebagai pembunuh Marsinah. Maka dari itu, bentuk vandalisme yang dilakukan masyarakat merupakan respon atas buruknya kinerja DPR dan keserakahan TNI dalam menduduki jabatan sipil yang seharusnya menjadi hak masyarakat sipil.
Hal ini diperkuat oleh perkataan Aden, salah satu massa aksi yang mengatakan vandalisme merupakan hal yang wajar.
“Sangat wajar ya, soalnya itu meluapkan amarah kita,” ucapnya.
Sama halnya dengan Kirana, salah satu massa aksi yang menambahkan kewajaran vandalisme yang dilakukan masyarakat dengan mencoret-coret tembok gedung DPRD sebagai bentuk perlawanan.
“Ini suatu keharusan, kita ngomong baik-baik ga akan didengar, kita yang chaos kayak gini lempar molotov, buka paksa gerbang, coret-coret, itupun belum tentu didengar apalagi kita ngomong baik-baik.” tambahnya.
Selain itu, bentuk vandalisme yang dilakukan dengan membakar plastic barrier penutup jalan. Terciptanya api yang sangat besar yang sebagai tanda membaranya semangat perlawanan elemen masyarakat kepada DPR atas putusan UU TNI. Api besar itu dijadikan tempat orasi dan mimbar bebas untuk menyampaikan berbagai bentuk ekspresi dengan lisan yang lantang.

“Satu api membara, akan menggentarkan satu dunia. Berkumpul di sini sampai menang, lawan TNI bajingan.” ucap masyarakat yang tengah orasi.
Vandalisme Bentuk Suara Masyarakat
Vandalisme sebagai bentuk amarah rakyat terhadap pemerintah Vandalisme tidak akan terjadi apabila pemerintah dapat mendengarkan aspirasi masyarakat yang menolak keras UU TNI. Namun, pemerintah sama sekali tidak mengubah putusan UU TNI sehingga membuat amarah rakyat sudah tak tertahan dan masifnya vandalisme di gedung DPRD Jawa Barat. Respon kekecewaan masyarakat atas cacatnya demokrasi, hidup kembalinya dwifungsi TNI dan terancamnya masyarakat sipil akibat dari UU TNI yang disahkan tanpa adanya transparansi masyarakat. Selama masih belum didengar, masyarakat akan terus melakukan perlawanan.
Penulis: Saddam Nurhatami Umardi Putra
Editor: Diana
Baca Juga: Periodesasi Sastra 3: Transformasi dan Refleksi Pasca-Orde Baru