Hari demi hari berlalu, bulan demi bulan, lalu tahun demi tahun. Pertemuan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia dengan September akan terus menjadi pengingat perjalanan penuh sejarah. September sebagai identitas sejarah yang sesungguhnya, September sebagai bagian dalam merawat ingatan dari luka dan perjuangan, September sebagai bukti nyata banyaknya kasus Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di Indonesia. September mengukir kepiluan mendalam, mengikis luka banyak orang, dan menjadi bagian yang tak boleh kita lupakan.
Mengenal “September Hitam”
September yang semula menjadi penanda pergantian musim, kini juga menjelma menjadi momen di mana rentetan peristiwa kelam terjadi. “September Hitam” menjadi penanda kolektif kuat, melampaui penanggalan, menjadi bagian dari metafora historis. Bulan ini menjadi kode peringatan yang diciptakan masyarakat, diadopsi aktivis, mahasiswa, serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk memberi tajuk rentetan tragedi Pelanggaran HAM.
September menjadi cermin nyata dari siklus impunitas yang tak kunjung terputus dan bahkan mereproduksi dirinya dalam bentuk-bentuk baru. September Hitam adalah simbol kepahitan sekaligus harapan. Kepahitan atas kegagalan negara menegakan keadilan, dan harapan bahwa tingkat kesadaran publik akan terus menuntut para penguasa untuk mendobrak siklus impunitas yang telah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun.
September Hitam adalah bagian dari kita; yang menolak pembungkaman.
Rentetan Tragedi September Hitam
Istilah September Hitam merujuk pada serangkaian peristiwa yang sebagian besar digolongkan sebagai pelanggaran HAM berat, yang hingga kini belum tuntas diusut secara adil dan yudisial. Peristiwa-peristiwa ini membentuk ingatan kolektif yang menuntut pertanggungjawaban negara.
September menjadi sejarah yang sesungguhnya, mulai dari Tragedi 1956-1966, Peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa Semanggi II 1999, Pembunuhan Munir Salib 2004, Pembunuhan Salim Kancil 2015, Reformasi Dikorupsi 2019, Pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani 2020, Pengurusan Rempang 2023, hingga terbunuhnya Affan Kurniawan di tahun 2025 oleh kendaraan taktis (rantis) Polri berupa mobil Barracuda. Mereka yang dilukai hingga dihilangkan menjadi bukti nyata ketidakberhasilan pemerintah dalam menangani kehidupan berbangsa dan bernegara.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat bahwa setidaknya terdapat 503 orang telah menjadi korban dari kekerasan aparat negara dengan alasan mengekspresikan pendapat di ruang publik. Terhitung selama periode 1-30 Agustus 2025, KontraS juga mencatat 354 korban yang mengalami luka-luka, 2 orang tewas, dan 1.606 lainnya ditangkap.
Kronik Pelanggaran HAM di Indonesia yang Berulang pada Bulan September
- Peristiwa 1965–1966 (Tragedi ’65)
Peristiwa paling berdarah yang memicu pembantaian massal terhadap individu yang dituduh terlibat atau bersimpati pada Partai Komunis Indonesia (PKI). Korban tewas pada peristiwa ini diperkirakan mencapai ratusan ribu hingga jutaan jiwa. Peristiwa ini melahirkan trauma politik berkepanjangan dan stigmatisasi.
- Tragedi Tanjung Priok (12 September 1984)
Penembakan terhadap demonstran di Jakarta Utara yang dipicu oleh penolakan kebijakan rezim Orde Baru, mengakibatkan puluhan hingga ratusan warga sipil tewas atau hilang.
- Tragedi Semanggi II (24 September 1999)
Kekerasan yang menargetkan mahasiswa dan aktivis yang berunjuk rasa menentang pengesahan UU Penanggulangan Keadaan Berbahaya yang dianggap menguatkan peran militer.
- Pembunuhan Munir Said Thalib (7 September 2004)
Pembunuhan terhadap aktivis HAM terkemuka dengan racun arsenik dan dibunuh di udara. Kasus ini melibatkan aktor negara yang hingga kini dalang utamanya masih diselimuti misteri, sehingga menjadi simbol kegagalan penegakan hukum terhadap kejahatan struktural.
- Pembunuhan Salim Kancil (2015)
Pembunuhan terhadap seorang petani dan aktivis lingkungan asal Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Ia dibunuh secara brutal pada 26 September 2015 karena menentang penambangan pasir ilegal di desanya.
- Aksi Reformasi Dikorupsi (2019)
Aksi-aksi yang dipicu oleh kebijakan DPR dalam perancangan RUU KPK yang dinilai melemahkan KPK, penundaan RKUHP, penolakan pasal-pasal dalam RUU Ketenagakerjaan yang bermasalah, pasal-pasal dalam RUU Pertanahan, pendesakan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mendorong proses demokratisasi, dan penghentian penangkapan aktivis.
- Penggusuran Rempang (2023)
Pelanggaran HAM berat berupa penggusuran lahan, represifitas aparat, dan pengusiran warga-warga secara paksa di tempat kelahirannya demi terlaksana Proyek Strategis Nasional (PSN) Rempang Eco City.
- Pembunuhan Pendeta Yeremia (2020)
Pembunuhan Pendeta Yeremia oleh 3 anggota TNI yaitu Moh. Andi Hasan Basri, Alex Ading, dan Saiful Anwar dengan motif permintaan informasi keberadaan senjata yang dirampas oleh OPM.
- Pembunuhan Affan Kurniawan (2025)
Pembunuhan terhadap warga sipil, yaitu seorang pengemudi ojek online yang dilindas oleh kendaraan taktis (rantis) Polri berupa mobil Barracuda.
Baca Juga: Enam Tahun #ReformasiDikorupsi: Amanah 1998 dan Bayang-Bayang Orde Baru yang Kian Nyata
Mengenaskan. Bentuk-bentuk tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia pada rentetan September Hitam—sebuah kronik kelam yang sarat dengan kekerasan negara, impunitas, dan perjuangan sipil—merupakan bukti nyata dari kegagalan berulang negara dalam melindungi warga sipilnya, menegakkan keadilan, dan menyelesaikan warisan trauma politik yang terus menghantui perjalanan demokratisasi Indonesia
Pola Kekerasan Berulang
Kasus kekerasan-kekerasan September di masa sebelumnya merajalela hingga kini hingga bereproduksi menjadi kejahatan yang masih saja belum dapat diatasi. Analisis terkini oleh berbagai lembaga HAM, termasuk KontraS, menunjukkan September Hitam bukan sekadar arsip sejarah, tetapi telah bermutasi.
Negara tidak hanya gagal menuntaskan kasus masa lalu, tetapi juga memproduksi kekerasan serupa di masa kini. Kekerasan yang berkaitan dengan konflik agraria, pembangunan, dan ekspresi lokal, seringkali melibatkan aktor negara atau didukung oleh impunitas, mencerminkan pola kekerasan terhadap warga sipil atas nama pembangunan atau stabilitas.
Bahkan di hari ini, terdapat banyak bentuk represi berlebihan terhadap unjuk rasa mahasiswa/sipil yang menuntut reformasi. Hal tersebut menunjukkan pola pengekangan hak berpendapat yang mirip dengan era Orde Baru. Kekerasan aparat terhadap masyarakat sipil yang mengekspresikan pendapat, seperti yang terjadi dalam periode demonstrasi di tahun-tahun terakhir, menunjukkan hak sipil dan politik berada dalam situasi yang kian merosot.
Dualisme Ancaman: Pemutihan Sejarah dan Penguatan Militerisme
Fenomena memilukan ini kini menghadapi tantangan baru yang lebih struktural: upaya sistematis untuk menghapus ingatan (amnesia kolektif) dan konsolidasi kekuasaan berbasis militerisme yang memperkuat budaya impunitas.
Ada bentuk upaya pemutihan sejarah berupa proyek penulisan ulang yang diinisiasi oleh negara dengan alasan “Indonesiasentris”. Hal ini dikhawatirkan menjadi alat untuk menghilangkan catatan gelap pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa lalu, termasuk saat Orde Baru. Upaya ini paralel dengan rencana pemberian gelar kehormatan atau pahlawan kepada tokoh yang terbukti terlibat dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Ada pula bentuk penguatan impunitas berupa pengesahan regulasi, seperti Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI yang memperluas dan menguatkan posisi militer dalam struktur pemerintahan. Hal ini dikhawatirkan akan semakin mempersubur kultur impunitas. Pemberian posisi dan kehormatan kepada terduga pelanggar HAM secara otomatis menciptakan benteng pertahanan bagi para pelaku kekerasan, sehingga keadilan substantif bagi korban semakin jauh dari jangkauan.
Ingatan adalah Senjata
September Hitam bagi Indonesia adalah sebuah “Peringatan Darurat” yang harus terus disuarakan. Ini adalah pengingat bahwa ketidakadilan masa lalu akan selalu menemukan jalan untuk berulang di masa depan selama tembok impunitas belum diruntuhkan.
Bagi aktivis, masyarakat sipil, kita semua, merawat ingatan atas Munir, korban ’65, Tanjung Priok, hingga Affan dan yang lainnya merupakan senjata terkuat untuk melawan upaya penghapusan sejarah. Ingatan tersebut juga menjadi senjata yang ingin menutupi jejak kejahatan mereka demi stabilitas kekuasaan semu, serta menjadi landasan etis untuk terus menuntut reformasi institusi keamanan dan penuntasan kasus HAM berat sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Penulis: Masropah Humaya Saefi
Editor: Auliya Nur Affifah
Baca Juga:Mengingat Kembali: 21 Tahun Kematian Munir di Balik September Hitam