Ibu, Ojol, Penulis: Tiga Peran, Satu Nama

Di tengah hiruk-pikuk jalanan dan kendaraan, ada sosok perempuan yang tidak hanya mengandalkan gas dan rem, tapi juga kata dan imajinasi. seorang perempuan yang menggabungkan dua dunia yang tampaknya bertolak belakang, yaitu ojek online dan sastra. Namanya Bu Sri, seorang ibu berusia 50 tahun yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online untuk menghidupi keluarganya. Tapi dibalik itu, ternyata beliau juga seorang writer yang aktif dan produktif. Namanya mulai dikenal luas setelah seorang penumpang membagikan kisah hidupnya di media sosial X, yang kemudian viral dan menginspirasi banyak orang.

Perjalanan Hidup dan Ketertarikan Pada Sastra

Perjalanan Bu Sri sebagai pengemudi ojek online dimulai pada tahun 2019, tepatnya setelah rumah tangganya kandas pada 2014. Sebagai single parent dengan tiga anak yang ikut tinggal bersamanya, ia menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Anak keduanya saat itu hendak masuk kuliah melalui jalur prestasi, dan membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Dalam wawancara dengan detik.com, Bu Sri menjelaskan bahwa pekerjaan sebagai pengemudi ojol dipilih karena fleksibilitasnya. Ia bisa tetap berada di dekat anak-anak, mengantar jemput sekolah sambil tetap mencari nafkah. Keputusan ini diambil bukan hanya soal ekonomi, tapi juga tentang kehadiran dan pengasuhan yang tidak bisa ditinggalkan.

Bu Sri diketahui telah memiliki ketertarikan pada dunia literasi sejak usia belia. Ia gemar membaca sejak muda, dengan salah satu bacaan favoritnya yaitu kisah epik Mahabharata. Ketertarikan tersebut kemudian berkembang menjadi kebiasaan menulis, terutama puisi, yang ia unggah secara rutin di media sosial sejak awal tahun 2011-an. Aktivitas menulis Bu Sri semakin berkembang setelah ia bergabung dengan komunitas Penulis Ambarawa, sebuah komunitas yang mempertemukannya dengan sesama penulis lokal. Di sana, ia mulai belajar menulis cerpen secara lebih terstruktur. Selain itu, ia juga aktif di komunitas Penulis Ungaran, tempat ia memperdalam kemampuan menulis blog dan memperluas jejaring literasi.

Walaupun belum menerbitkan buku secara solo, Bu Sri telah berkontribusi dalam berbagai antologi cerpen dan puisi, baik melalui komunitas maupun sayembara yang diselenggarakan oleh sejumlah penerbit. Beberapa karya terbit bersama komunitas Penulis Ambarawa, dan sebagian lainnya muncul dalam buku-buku kumpulan hasil lomba menulis.

Baca Juga: Pendidikan Karakter melalui Literasi: Upaya Hima Satrasia di Desa Pangauban

Karyakarya Bu Sri: Dari Antologi hingga Lomba Menulis

Bu Sri telah menulis banyak cerpen dan puisi yang tersebar di berbagai buku kumpulan karya kolektif. Beberapa di antaranya adalah cerpen “Cahaya Bintang Fajar” dalam Ambarawa di Ujung Pena (2013), “Sri Widati” dalam Inspirasi: Untaian Nama Bayi (2014), dan “Sketsa Jeddah” dalam Menjadi Tamu di Surga-Nya (2014). Ia juga menulis “Bias Kelabu di Teluk Penyu” dalam Sisi Lain (2015), serta puisi “Kidung Asa Mpu Pandean” dalam Ambarawa Seribu Wajah (2016). Karya-karya lainnya seperti “Hujan di Atas Pelangi” dan “Cinta Langit, Bumi dan Bintang” menunjukkan konsistensinya dalam berkarya hingga tahun-tahun terakhir. Selain itu, masih banyak cerpen dan puisi lain yang telah ia tulis dan terbitkan, baik melalui komunitas maupun lomba menulis. Bu Sri percaya bahwa membaca dan menulis adalah cara untuk memperluas wawasan dan memperpanjang usia pemahaman.

Meski telah berkali-kali karyanya terbit, Bu Sri mengaku masih terus belajar. Baginya, menulis bukan hanya soal menghasilkan karya, tapi juga proses refleksi dan pertumbuhan.

Di akhir wawancaranya, ia menyampaikan pesan kepada generasi muda:

“Dengan buku membuka jendela wawasan, dengan membaca kamu bisa memanjangkan usiamu juga. Belajar bukan hanya pada orang dengan bertatap muka, tapi lewat buku pun bisa.”

Kisah Bu Sri membuktikan bahwa sastra bukanlah milik segelintir orang, melainkan milik semua kalangan. Ia menunjukkan bahwa siapapun bisa menulis dan berkarya, tanpa harus berasal dari latar belakang akademik atau dunia sastra profesional. Sastra adalah ruang terbuka, tempat berbagai pengalaman hidup bisa dibagikan dan didengar. Bu Sri bukan hanya penulis cerpen atau pengemudi ojol, tapi simbol ketangguhan, kreativitas, dan keberanian untuk berkarya di tengah keterbatasan. Kisahnya mengingatkan kita bahwa setiap orang punya cerita yang layak didengar, dan bahwa sastra bisa lahir dari mana saja.

Penulis: Fatiyyah Azzahrah

Editor: Suci Maharani