TINTA EMAS RENDRA DAN DENGUNG SUARA PERLAWANAN - Literat

Tinta Emas Rendra dan Dengung Suara Perlawanan

“Dan di langit
para teknokrat berkata:

bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun,
mesti di-upgrade,
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor.”

Kutipan Sajak Sebatang Lisong (1977)

Begitulah suara perlawanan yang menggema dari Si Burung Merak, penyair yang membawa puisi sebagai alat melawan ketidakadilan dan ketimpangan. Ia hadir dalam masa gegap gempita puisi romansa dengan membawa nyala api kritik sosial, politik, hingga kemanusiaan yang tajam. Mampu mendobrak tema populer pada zamannya.

Baca juga: Puisi dengan Warna Baru: Bahasa dan Emosi dalam Film Rangga & Cinta
Darah Seni Si Burung Merak

Willibrordus Surendra Broto yang kemudian dikenal dengan nama W.S. Rendra, dalam potret khazanah sastra Indonesia ia dijuluki sebagai Si Burung Merak. Menariknya, panggilan Si Burung Merak didapatkan Rendra karena penampilannya dalam dunia seni dan teater yang kerap kali memesona banyak orang. Julukan ini pertama kali muncul di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta, ketika Rendra tengah menjamu rekannya dari Australia. Rendra memanggil burung merak yang dilihatnya dengan sebutan, “Itu Rendra!”. Kisah ini kemudian diceritakan oleh rekan Rendra tersebut kepada rekan-rekannya yang lain dan terus populer hingga saat ini. 

Bagi Rendra, kesenian bukanlah wujud pelarian, melainkan bentuk warisan yang telah diturunkan. Rendra lahir di Surakarta pada tanggal 7 November 1935 melalui pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Rendra kecil dibesarkan di keluarga yang kental budaya Jawa.

Dari rumah di Surakarta, darah seni telah mengalir dalam tubuh Rendra kecil bahkan sebelum ia mampu mengenal kata pertamanya. Ayahnya, Sugeng Brotoatmodjo, merupakan seorang kepala sekolah sekaligus guru bahasa Jawa dan bahasa Indonesia di Sekolah Dasar Negeri Kebalen, Surakarta. Selain itu, beliau juga merupakan pemeran seni drama tradisional di Surakarta. Sementara itu, Raden Ayu Catharina merupakan seorang dramawan serta penari serimpi di Keraton Surakarta. 

Baca juga: Sang Burung Merak yang Melegenda: Menilik Jejak Kehidupan W.S. Rendra
Goresan Tinta Emas bagi Kesusastraan

Rendra mengawali langkah keemasannya pada periode romantik dan humanistik dengan karya-karya yang lirikal, simbolik, dan mengusung tema-tema seputar kemanusiaan. Periode yang dimulai pada tahun 1950 hingga awal 1960-an ini dipengaruhi oleh modernisasi dan budaya sastra barat. Contoh karya Rendra yang terkenal pada masa ini adalah Ballada Orang-Orang Tercinta, berisi kumpulan sajak W.S. Rendra dan kemudian menjadi tonggak awal perjalanan emasnya.

Pada era Orde Baru, kondisi politik di kala itu membuat tema puisi-puisi Rendra berputar 180°. Peralihan ini bermula ketika gelombang Orde Baru membatasi kesenian khusus terkait perlawanan-perlawanan terhadap pemerintah. 

Namun, bukan Rendra namanya jika malah memilih untuk menjilat kekuasaan. Dirinya justru menerbitkan puisi-puisi dengan tema perlawanan terhadap ketidakadilan pemerintah yang kemudian melegenda hingga saat ini. Puisi-puisi, seperti “Pembangunan dalam Puisi”, “Sajak Pertemuan Mahasiswa”, hingga “Sajak Sebatang Lisong” terus saja berdengung untuk menentang dan melawan kezaliman pemerintah terhadap masyarakatnya.

Selain menciptakan karya-karya, Rendra juga membentuk sebuah komunitas untuk orang yang memiliki minat terhadap dunia teater. Perkumpulan ini kemudian diberi nama Bengkel Teater pada 1967. Dari Bengkel Teater inilah lahir nama-nama beken, seperti Putu Wijaya, Fajar Suharno, hingga sang istri sendiri, Ken Zuraida, yang kemudian menjadi pimpinan teater sejak Rendra meninggal. 

Namun, pada 1977, Bengkel Teater sempat mengalami kesulitan tampil di muka publik karena situasi politik saat itu. Hingga akhirnya, Rendra memindahkan lokasi Bengkel Teater menuju lahan miliknya di Depok pada 1985. Perjalanan panjang penuh rintangan ini membuat Bengkel Teater tetap eksis sampai tulisan ini dibuat.

Baca juga: Sudah Kau Konsumsi Puisi untuk Kalbumu Hari Ini?
Warisan Karya Si Burung Merak

Rendra meninggal dunia pada usia 74 tahun, di Rumah Sakit Mitra Keluarga, Depok. Si Burung Merak menghembuskan nafas terakhirnya pada Kamis, 6 Agustus 2009. Dimakamkan di Cipayung Jaya, Citayam, Depok sehari setelahnya. Rendra meninggalkan tinta emas dalam wujud warisan karya yang melegenda.

Kumpulan puisi-puisi Rendra yang masih terkenal hingga hari ini antara lain:

  1. Ballada Orang Tercinta (1957)
  2. Empat Kumpulan Sajak (1961)
  3. Blues untuk Bonnie (1971)
  4. Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972)
  5. Nyanyian Orang Urakan (1985)
  6. Potret Pembangunan dalam Puisi (1983)
  7. Disebabkan oleh Angin (1993)
  8. Orang-Orang Rangkas Bitung (1993)

Selain lihai dalam dunia puisi, Rendra juga meninggalkan jejaknya dalam dunia teater khusus drama, antara lain:

  1. Orang-Orang di Tikungan Jalan (1954)
  2. Selamatan Anak Cucu Sulaiman (1967)
  3. Mastodon dan Burung Kondor (1972)
  4. Kisah Perjuangan Suku Naga (1975)
  5. Sekda (1977)
  6. Panembahan Reso (1986)

Jasad Rendra memang sudah dimakamkan, akan tetapi semangat perlawanannya tetap akan selalu hidup. Dirinya abadi dalam warisan bait-bait yang tak lekang oleh zaman. Karya-karyanya masih terus saja diputar dan dibacakan sebagai pengingat perlawanan. Ini pula menjadi pengingat bahwa bangsa Indonesia harus terus melawan ketidakadilan yang diciptakan pemerintahan.

Penulis: Dicky Satria Pratama
Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra