“Whoosh,” nama resmi kereta cepat Indonesia yang menarik perhatian publik sejak diumumkan oleh Presiden pada 2 Oktober 2023 lalu. Nama ini terinspirasi dari kata ‘wus,’ konotasi dari suara melesat, yang mencerminkan kecepatan kereta cepat.
Prof. Andika Dutha Bachari, Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Pendidikan Indonesia menjelaskan bahwa terkait penamaan sebenarnya bebas. “Yang harus dipahami konsep penamaan benda tuh sifatnya arbitrer atau manasuka,” jelasnya.
Lebih lanjut, Prof. Andika menjelaskan ilmu linguistik terkait dengan penamaan “whoosh” tersebut. “Penamaan ‘wus’ itu kalau dalam linguistik ada teori onomatope yaitu penamaan benda yang dipengaruhi oleh faktor bunyi seperti cicak yang dinamakan cicak karena mengeluarkan bunyi cicak.”
Kata “Whoosh” sendiri merupakan akronim dari “Waktu Hemat Operasi Optimal Sistem Hebat.” Namun, penamaan ini tidak lepas dari perdebatan dan kritik terkait aspek linguistik dan kebahasaan. Kritik pertama terkait dengan singkatan yang semula salah, yaitu “Waktu Hemat, Operasi Optimal, dan Sistem Handal.”
Kritik ini muncul karena penggunaan kata “handal,” yang dianggap tidak baku dalam bahasa Indonesia. Menurut beberapa netizen, kata yang seharusnya digunakan adalah “andal.” Sebagai contoh, seorang netizen dengan akun X @americyaa mengatakan, “Capek-capek belajar tata bahasa, eh sekelas penamaan mode transportasi aja gak pake bahasa Indonesia yang benar. Ganti pak, jadi WHOOSA. KBBI aja gak mengenal handal, ejaan yang benar andal.”
Selain itu, penamaan “Whoosh” juga mendapatkan kritik karena pengambilan akronim yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah fonologi bahasa Indonesia. Misalnya, penggunaan huruf “oo” pada kata “Whoosh” yang dianggap tidak sesuai dengan aturan diftong dalam bahasa Indonesia. Hal ini menimbulkan argumen bahwa penamaan “Whoosh” cenderung mengada-ada dalam hal bahasa.
“Penamaan “Whoosh” kurang memiliki aspek ideologis yang kuat karena tidak menggambarkan filosofi yang sesuai dengan konsep cepat. Selain itu, penamaan ini juga mencerminkan sikap bahasa yang rendah, karena tidak mematuhi kaidah linguistik dalam penggunaan suku kata dalam bahasa Indonesia,” jelas Prof. Andika.
Baca juga: Dari ‘Cimahi’ hingga ‘Cihampelas’: Asal Usul Ci- pada Toponim di Bandung
Lebih lanjut, Prof. Andika juga menyarankan agar penamaan kereta cepat menggunakan bahasa Indonesia yang lebih otentik, untuk mempromosikan bahasa Indonesia ke dunia internasional. Sebagai contoh, Jepang memberi nama kereta cepat mereka “Shinkansen” yang telah dikenal di seluruh dunia.
Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia dalam penamaan ini dapat memperkuat kebanggaan terhadap bahasa nasional dan memenuhi persyaratan Pasal 36 ayat (3) dan (4), yang menunjukkan bahwa bahasa Indonesia harus digunakan dalam penamaan bangunan atau gedung, kecuali jika memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, atau keagamaan yang kuat.
Selain argumen terkait kaidah bahasa dan linguistik, Prof. Andika juga menyoroti kurangnya filosofi yang mendalam dalam penamaan “Whoosh.” Beliau membandingkan dengan kasus penamaan jembatan Pasupati yang diganti namanya menjadi Jalan Prof. Mochtar Kusumaatmadja.
Dalam kasus ini, penggantian nama tersebut memiliki filosofi yang kuat, yaitu penghargaan terhadap sosok tokoh yang berpengaruh pada Indonesia. Prof. Mochtar Kusumaatmadja dikenal sebagai tokoh yang memberikan banyak kontribusi dalam perkembangan hukum internasional Indonesia dan menciptakan berbagai konsep dalam hukum internasional yang diterapkan.
Kontribusinya tersebut membawa manfaat yang signifikan bagi Indonesia dan masyarakat internasional. Sehingga, penggantian nama jembatan tersebut mencerminkan filosofi yang kuat dan penghargaan terhadap tokoh berpengaruh. Sementara penamaan “Whoosh” kurang memiliki aspek filosofis yang serupa.
Berdasarkan penjelasan di atas, penamaan kereta cepat “Whoosh” menimbulkan kontroversi dalam aspek kebahasaan, linguistik, serta filosofis. Dari sudut pandang kebahasaan, kontroversi tersebut muncul karena penamaan “Whoosh” yang mulanya menggunakan salah satu kata tidak baku. Selain itu, pengambilan akronim “Whoosh” sendiri dianggap kurang sesuai dengan kaidah fonologi dalam sudut pandang linguistik. Serta aspek ideologis dianggap kurang kuat karena tidak menggambarkan filosofi yang sesuai dengan konsep kereta cepat.
Penulis: Rizky Dharmawan
Editor: Afifah Dwi Mufidah