Menjadi Bahasa Resmi ke-10 di UNESCO: Apa Konsekuensinya?

Senin (20/11), Organisasi Pendidikan dan Kebudayaan atau UNESCO telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi ke-10 dalam Konferensi Umum di Markas Besar UNESCO, Paris, Prancis. Hal tersebut sesuai dengan diadopsinya Resolusi 42 C/28 dalam sesi Pleno Konferensi Umum ke-42 UNESCO.

Dengan ditetapkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi UNESCO menandakan adanya pengakuan dari dunia internasional.

Yaitu pengakuan bahwa Indonesia secara luas dapat turut serta dalam segala isu dunia yang sedang terjadi. Contonya seperti isu perdamaian, keharmonisan, dan pembangunan berkelanjutan.

Apalagi di tengah fenomena konflik Israel-Palestina, Indonesia dapat berupaya untuk ikut andil dalam negosiasi perdamaian di antara keduanya. Selain itu, momen tersebut akan menjadi peluang besar bagi distribusi kearifan lokal, budaya, sosial, pariwisata, ekonomi, dan politik bangsa Indonesia agar lebih dikenal dunia. 

Momen ini pun bisa menjadi kebanggaan bagi bangsa Indonesia sekaligus penguatan sikap bahasa dalam menunjukkan jati diri, harga diri, dan pola pikir bangsanya. Konsekuensi dan urgensi bangsa Indonesia tercermin pada sikap bahasa tersebut.

Hal ini selaras dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Yulianeta, M.Hum., “Mudah-mudahan dengan kondisi yang sekarang dengan euforianya kita bisa memaknai lebih jauh apa sebenarnya pengakuan dunia itu? Apa yang harus kita lakukan sebagai anak bangsa?”

Pernyataan tersebut bisa menjadi dorongan untuk anak muda agar lebih bersemangat lagi dalam memartabatkan bangsa dan lebih setia terhadap bahasanya sendiri. Meski akan sedikit sulit untuk anak muda sekarang benar-benar menghindari kegemarannya terhadap budaya luar, kita dapat mencontoh Jepang dan Korea yang tetap menumbuhkan rasa cinta terhadap budayanya sendiri di tengah arus globalisasi yang semakin pesat.

Baca juga : Sinema Pendidikan 2023: Sensasi Musim Panas dalam Film Pendek

Hal ini sesuai dengan pengalaman dosen BIPA di Universitas Pendidikan Indonesia, Eka Rahmat Fauzy, S.S., M.Pd., mengatakan bahwa masyarakat Korea dan Jepang sangat menjunjung tinggi budaya bangsanya, bahkan para imigran asing pun wajib menggunakan bahasa nasional mereka dalam kehidupan nyata.

Ironisnya, pola pikir mayoritas bangsa Indonesia masih menganggap bahwa bahasa asing jauh lebih keren dibandingkan bahasa Indonesia.

Hal ini merupakan urgensi sekaligus konsekuensi tersendiri bagi kita dalam menyikapi suatu bahasa. Pola pikir yang terpatri bahwa bahasa asing (terutama bahasa Inggris) jauh lebih berperan dalam aspek akademik atau dikenal sebagai lingua academica.

Namun, dengan resminya bahasa Indonesia di UNESCO seharusnya bisa membalikkan fakta dan persepsi: Bagaimana caranya agar bahasa Indonesia dapat menjadi lingua academica itu? Meskipun lingua academica ini konteksnya cukup luas, bahasa Indonesia sebenarnya sudah tergolong ke dalam lingua academica di dalam forum internasional.

Bahasa Indonesia kini sudah bisa digunakan di forum resmi UNESCO oleh para delegasi, sehingga di saat yang sama akan menghadirkan juru bahasa hingga salinan dokumen berbahasa Indonesia. Meskipun demikian, jika dibandingkan dengan bahasa Inggris, bahasa Indonesia masih jauh untuk bisa menyandinginya. Hal ini karena bahasa Inggris sudah lebih lama digunakan oleh dunia sebagai bahasa internasional. Inilah yang menjadi alasan mengapa bahasa Inggris masih mendominasi pengguna bahasa di dunia.

Baca juga: Strategi Menjadikan Buah Semangka Sebagai Simbol Dukungan Pada Palestina di Media Sosial

Di balik itu semua, bukan berarti bahasa Indonesia di UNESCO hanya sebagai seremonial belaka. Justru, ini adalah awal perjalanan internasionalisasi bahasa Indonesia untuk memperkuat ekonomi dan politik bangsa lewat soft diplomacy. Dampak baik atau buruknya akan kita rasakan dalam beberapa tahun ke depan.

Oleh karena itu, sudah seharusnya kita berupaya untuk mencerminkan bangsa Indonesia lewat bahasa Indonesia. Sehingga korelasi antara sikap bahasa dan bangsa ini akan menjadi dampak positif bagi kita semua.

Mengutip dari pernyataan dosen BIPA di Mae Fah Luang University, Thailand, Anggi Aulyani Suharja, M.Pd., “Intinya dengan diakuinya BI sebagai bahasa resmi di UNESCO, kita terutama sebagai generasi muda harus lebih sadar, harus lebih bangga, dan harus lebih setia kepada bahasa Indonesia. Karena selain sebagai alat berkomunikasi juga sebagai identitas kita. Kalau bukan kita yang menjaga, siapa lagi? Kalau bukan kita yang memelihara, siapa lagi? Keputusan UNESCO untuk menjadikan BI sebagai salah satu bahasa resmi mereka adalah momentum untuk kita menginternasionalisasi Indonesia: bahasanya, budayanya, kearifan lokalnya, wisatanya, orang-orangnya, ekonominya. Jadi banyak sekali hal yang bisa kita tunjukkan pada dunia supaya kita bisa bersaing lebih jauh lagi.”

Penulis: Icha Nur Octavianissa
Editor: Mahmudah Salma Nur Iftikhar

Baca juga: Literasi untuk Merayakan Bulan Bahasa