Xenoglosofilia, sebuah kecenderungan menggunakan kata-kata aneh atau asing terutama dengan cara yang tidak wajar. Berkah atau ancaman bagi bahasa Indonesia?

Xenoglosofilia: Berkah atau Ancaman bagi Bahasa Indonesia?

Xenoglosofilia, terdengar asing di telinga namun sering kita alami secara nyata. Ada tiga kata yang membentuk istilah ini, yaitu ‘xeno’ yang berarti asing, ‘gloso’ yang berarti bahasa, dan ‘filia’ yang berarti suka. Menurut Ivan Lanin (2018:33), seorang xenoglosofilia cenderung mencampurkan istilah-istilah bahasa asing, contohnya bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia ketika berkomunikasi.

Hal itu senada dengan ungkapan Hipyan. Dikutip oleh Ivan Lanin (2018:33), Hipyan mengungkapkan bahwa Xenoglosofilia adalah sebuah kecenderungan menggunakan kata-kata aneh atau asing terutama dengan cara yang tidak wajar. Ivan Lanin (2018:33) dalam pengantar buku “Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris?“, mengutip pernyataan Nur Adji bahwa orang Indonesia cenderung mengalami xenoglosofilia, yakni lebih senang memakai bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) dibanding bahasa ibu.

Fenomena ini masih sangat menonjol terutama pada kalangan anak muda, loh. Terlebih lagi, di era globalisasi yang semakin berkembang pesat. Lebih dari sekadar keinginan untuk belajar bahasa baru, ternyata xenoglosofilia ini menarik hasrat anak muda untuk terhubung dengan budaya lain, khususnya mengikuti tren yang sedang populer.

Faktor Pendorong Xenoglosofilia

Ada beberapa faktor pendorong meningkatnya minat kalangan anak muda terhadap bahasa asing. Pertama, tentunya pengaruh media sosial. Media sosial telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat, terutama penggunaan TikTok, Instagram, Facebook, ataupun X yang mengubah cara masyarakat berkomunikasi, berinteraksi, dan mengonsumsi berbagai informasi. Platform-platform tersebut memudahkan akses anak muda terhadap konten berbahasa asing seperti film, musik, dan serial televisi. Selain itu, interaksi dengan penutur asli bahasa asing melalui aplikasi percakapan juga semakin mudah dilakukan. 

Faktor kedua, yakni pengaruh globalisasi. Setiap individu dituntut memiliki kemampuan berbahasa asing untuk bersaing di pasar internasional karena pengaruh globalisasi. Tidak hanya itu, ternyata kemampuan berbahasa asing ini juga dibutuhkan untuk kebutuhan akademik, loh! Wah menarik ya, pembahasan xenoglosofilia ini.

Xenoglosofilia di Kalangan Anak Muda

Pembahasan fenomena xenoglosofilia ini mengingatkan kembali peristiwa bersama teman-teman seusai kuliah.

Contoh 1:

A: “Guys, kemarin aku nonton film baru, keren banget! Plot twist-nya bikin speechless.’’  

B: “Iya, aku juga udah nonton. Soundtrack-nya ngena banget sih.’’

C: “Totally agree! Vibes-nya vintage gitu.’’

Contoh 2:

A: “Eh, kemarin aku cobain vegetable mix with peanut sauce. Rasanya so yummy banget! Kamu udah cobain?’’

B: “Belum.’’

A: “Next time kita harus cobain yang topping baru, deh.’’

Pada contoh di atas, terlihat jelas penggunaan kosakata bahasa Inggris yang intensif dalam percakapan sehari-hari. Terlebih lagi untuk hal-hal yang sebenarnya memiliki padanan kata dalam bahasa Indonesia. Ada beberapa jawaban yang saya temukan ketika saya bertanya terkait xenoglosofilia pada teman-teman saya, yakni kenapa kebanyakan anak muda sering menggunakan padanan bahasa asing dalam percakapan.

Menurut mahasiswi A, usia 19 tahun, “Kalau pandangan aku sih karena udah terbiasa dari kecil pakai kosakata Inggris, jadinya kebawa sampai sekarang. Aku juga dari kecil udah pakai Inggris.’’ Adapun menurut mahasiswi D, usia 20 tahun, “Kalau aku sih karena ikut teman-teman aja biar keren gitu bahasanya.’’ Selain itu, menurut mahasiswi A, usia 20 tahun, “Kebanyakan karena gak tau padanan bahasa Indonesianya. Lagian susah juga kalau diucapin. Contohnya, caption kan kalau padanan bahasa Indonesia-nya takarir. Nah, kalau diucapkan itu kayak susah aja, sih.’’ 

Kalau sudah begini, apakah fenomena xenoglosofilia dapat berdampak bagi yang mengalaminya?

Dampak Positif dan Negatif Xenoglosofilia

Xenoglosofilia memiliki dampak positif dan negatif. Dampak positifnya adalah menguasai bahasa asing dapat membuka peluang yang lebih luas, baik dalam pendidikan ataupun karier. Selain itu, kemampuan bahasa asing dapat memperluas wawasan dan memperkaya pengalaman hidup. Namun, dampak negatifnya adalah terlalu fokus pada bahasa asing dapat menyebabkan bahasa ibu pudar. Hal ini dapat menyebabkan terkikisnya identitas budaya bangsa. 

Cara Atasi Xenoglosifilia Melalui Trigatra Bangun Bahasa

Sebelum mengetahui cara mengatasi xenoglosofilia, penting untuk memahami bahwa xenoglosofilia ini kemampuan spontan untuk berbicara atau memahami bahasa tanpa pembelajaran formal, merupakan fenomena yang kompleks dengan dampak positif dan negatif. Meskipun memiliki manfaat seperti membuka peluang pendidikan dan karier, namun perlu diimbangi dengan upaya untuk menjaga pelestarian bahasa Indonesia sebagai identitas nasional. Pemerintah, universitas, sekolah, orang tua, dan masyarakat harus berperan aktif dalam mengoptimalkan manfaat xenoglosofilia sambil menjaga keseimbangan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Karena pada hakikatnya, bahasa menunjukkan jati diri seseorang.

Kita perlu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan bahasa ibu. Pendidikan bahasa ibu perlu dimulai sejak dini, baik di keluarga maupun di sekolah. Bersamaan dengan hal itu, pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung pelestarian bahasa ibu. Misalnya, dengan mewajibkan penggunaan bahasa ibu dalam acara-acara resmi. Tak kalah penting, media massa pun perlu berperan aktif dalam mempromosikan penggunaan bahasa ibu yang baik dan benar.

Sebagaimana tercantum dalam Trigatra Bangun Bahasa yang berbunyi, “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.’’

Penulis: Eky Rahmawati

Editor: Muhammad Hilmy Harizaputra

Baca juga: 5 Istilah yang Hype di Pemilu Pilpres 2024