Ketika Tepat Waktu Hanya Menjadi Utopia

A         : “Maaf ya, aku ngaret. Tadi macet.”

B         : “Oh iya, gapapa.”

Dua percakapan yang sangat biasa dan sudah menjadi template jika kamu ada di Indonesia. Kalau belum pernah mendengar apalagi mengucapkan ujaran si A, berarti kamu baru landing kemarin sore, ya, di Jakarta? Wah, selamat datang di negeri elastis alias Indonesia, ya!

Pfffftttt.

Sebetulnya orang yang suka ngaret di “Indonesia” itu sedikit sih, cuma oknum. #1Day1Oknum. Sebagai orang yang selalu berusaha tepat waktu #flex, pasti kesal dengan kelakuan orang yang suka ngaret, seperti si A di atas. Bayangkan, janji bertemu pukul 13.00, tetapi dia baru datang pukul 15.00. Waduh, setara dua sks, masih kembalian itu juga. Dalam waktu dua jam, banyak kegiatan produktif yang bisa dilakukan. Ada orang yang bisa kuliah 2 sks di kelas dalam waktu dua jam. Sudah jelas mendapatkan ilmu dan sudah pasti harus membayar UKT. Dalam waktu dua jam, ada orang yang bisa menghasilkan 3 puisi, atau 2 lagu. Ada juga yang dalam waktu dua jam bisa menghasilkan uang, rental PS, ngewarnet, bahkan menghabiskan waktu di psikolog yang setiap sesinya itu berbayar. Ungkapan waktu adalah uang menjadi sangat relevan sekarang.

Namun, banyak hal di luar kontrol yang bisa menyebabkan seseorang datang terlambat. Gimana?

Iya, betul. Banyak hal di luar kendali, and we can’t help it, right? Ya, tetapi kalau alasannya lagi-lagi karena macet apalagi ketiduran, kalau kata gue sih, gws bro. Alasan macet itu sudah sangat tidak relevan untuk kehidupan manusia yang semakin padat dengan kendaraan di jalan dan segala dinamikanya. Bandung saja berada di posisi 1 sebagai kota termacet di Indonesia, dengan rata-rata >63 jam per tahunnya. What’s your excuse?

Ada sebuah kisah lucu di “Indonesia” yang menjadi sebuah culture shock untuk orang-orang tepat waktu. Ceritanya, Jennie mengikuti sebuah kegiatan di kampus dengan berbagai macam rapat di dalamnya. Rapat pertama ia datang tepat waktu, hal yang normal baginya. Ternyata, tepat waktu di “Indonesia” adalah sebuah barang mewah. Tidak biasa dilakukan orang lain yang tinggal di dalamnya. Jennie kaget, pertama kalinya ia melihat sesuatu yang seharusnya menjadi bare minimum, menjadi sesuatu yang fancy. Yang paling tidak masuk akal bagi Jennie adalah alasan dinamisnya konsep waktu di “Indonesia”. Saat peserta rapat sudah berdatangan, tetapi rapat tak kunjung dimulai. Katanya, “Tunggu gubernur datang dulu, soalnya dia punya kuasa di rapat ini.” LIKE???????? Jika pemikirannya dibalik, seperti di tempat asal Jennie di luar benteng “Indonesia”, seorang gubernur pasti akan datang sebelum para warganya, ya… karena dia memiliki kuasa. Bahkan, orang yang tidak memiliki kuasa apapun seperti Jennie, selalu datang tepat waktu. Eh, begitu enggak sih konsepnya? Long story short, Jennie akhirnya memilih menjadi pemilik rental PS 5 di luar benteng “Indonesia”, kegiatan yang sudah menunggunya untuk menghasilkan uang.

Cerita Jennie itu adalah sebuah penghinaan pada orang yang tepat waktu. I mean, if I were in her shoes, I’ll riot. Ya bagaimana tidak, sudah mengatur waktu dengan baik, tetapi ada orang yang tidak bisa melakukan hal itu, dan tetap diampuni dengan alibi “toleransi”. Sekali ditoleransi, maka akan terus berlanjut, as if you were running in circle. Yup, there’s no end.

Apa sih, kesimpulan dari tulisan ini?

Ya, jadi orang tepat waktu, gitu aja sih. Dengan kamu ngaret, artinya merugikan orang lain. Dengan merugikan orang lain, kamu telah menjadi manusia yang jahat slash zalim. Imagine going to hell because of your ngaret behavior.

Baca juga : Puan, Si Kelas Dua

Penulis: Karen Begaratri
Editor: Fazya Anindha Srizaky