Kisah Kemelut di Balik Hari Ibu

Oleh: Astri Apriliani Putri

Masa tahun akan segera berakhir, kini sudah di pertengahan bulan Desember. Peringatan Hari Ibu pada 22 Desember pun datang. Bercerita sejenak, Hari Ibu ini menjadi suatu perayaan atas pengorbanan seorang ibu yang berperan penting akan jasa-jasa yang ia lakukan semasa hidupnya. Sebuah pengorbanan dari sang ibu amat diperjuangkan bagi mahasiswa UPI Bahasa dan Sastra Inggris, Annisa Nadiya Nur’ainy. Seperti mahasiswa lainnya, Icha (nama penanya) merasakan mumetnya beberapa mata kuliah saat sedang menjalani Ujian Akhir Semester (UAS). Namun, hal itu tidak menjadi alasan baginya dalam melupakan Hari Ibu.

Kisahnya bila diperhatikan, tentang seorang perempuan yang selalu kemelut dalam menjalani kehidupan. Beratap rumah yang hanya ditinggali oleh 4 orang (nenek, ibu, adik, dan dirinya) tanpa sesosok lelaki dewasa yang menjadi Imam dalam keluarga. Ibunya tetap berjuang sebagai tulang punggung keluarga dalam mengais setiap rezeki. Hanya bermodalkan jurnalis lepas, yang tidak setiap saat bekerja di lapangan, ibunya sanggup menghidupi pikulan tanggung jawab untuk 3 orang di rumah. Icha salut akan setiap cucur keringat ibunya.

Anggapannya, masa putih abu dulu tak lagi sama dengan masa perkuliahan. Menjalani 5 semester tidaklah mudah bagi Icha, apalagi bila angin permasalahan selalu datang tak terduga. Satu demi satu masalah menjadi sebuah beban baginya hingga melemaskan sesosok Ibu yang terbaring sering menjalani operasi.

Perjuangan ibunya sudah tak sekuat dulu. Saat belum terkujur lemah, ibunya masih bisa terobati dengan melihat kebahagiaan di rumah.

Baca juga: Kampanye Seni yang Mengangkat Isu-Isu Sosial dalam Kampus

Namun, sekarang putaran roda itu mengganjal mengarah pada kesedihan. Beban pikiran teramat melemahkan hati Icha, bila melihat kondisi ibunya yang kerap kali berhadapan dengan ruang operasi.

Berbagai penyakit terus-menerus merugikan tubuh ibunya, sehingga berat badannya pun sudah tidak stabil dalam keadaan normal. Icha yang sering skip perkuliahan, karena terlalu cemas pada kondisi ibunya, tak lelah menjalani detik keringatnya. Masa itu, dirinya yang selalu bulak-balik antara kuliah dan pulang ke rumah sudah menjadi tanggungan kesehariannya. Di saat Icha diharuskan masuk kuliah karena kesempatan absen tak lagi ada, di saat itu pula dirinya segera pulang ke rumah untuk mengurusi ibunya.

Siapa pun itu, pasti akan lemah perasaannya bila disangkutkan dengan sesosok ibu. Hal itu juga sama rasanya pada perempuan manis bernama Annisa/Icha ini.

Kenyataan pahit sudah tak ingin lagi Icha terima, tetapi apa mau dikata bila garis cobaan telah ditakdirkan. Sempat terpikir olehnya, garis cobaan yang diderita sudah menusuk pada tekanan batin, sehingga kata semangat itu sudah hilang. Teman karib di perkuliahan dan di luar jurusan, sempat mendorongnya agar kuat dan mengingatkan pada kata sabar.

“Karena setiap hamba akan diberikan cobaan sesuai dengan kesanggupan dirinya,” tutur Dhea sebagai teman dekat yang selalu ada untuknya.

Saat tanggal 22 Desember, dirinya selalu teringat pada setiap usaha dan pengorbanan ibunya ketika sehat dulu. Keadaan ibunya yang tak sekuat masa mudanya, menjadi bentuk dorongan Icha untuk membahagiakan keluarga. Kesuksesan akan masa depan masih Icha jalankan dengan sungguh-sungguh. Tak lagi ada kata menyerah pada hidup.

“Yang ada hanyalah sejauh mana kedewasaan kita diuji,” ucapnya di sela ia bercerita.

Makna Hari Ibu bukanlah pada benda yang diberikan, tetapi sejauh mana ucap itu tersampaikan. Begitu pun dalam menyayangi ibu mesti sepanjang waktu, bukan hanya mengingat tanggal Hari Ibu. Setiap sentuhan ibu adalah perjuangan untuk anaknya. Petikan kalimat di atas adalah bagian yang berhasil diambil dari kisah Icha yang menginspirasi.

“Ibu, ibu, ibu, peranan terpenting dalam sebuah keluarga.” Begitu pun apa yang diyakini oleh Annisa Nadiya Nur’aeny.

Baca juga: Kumpulan Sajak Orang Suci, Pohon Kelapa: Jejak Penghayatan dalam Sajak

​Narasumber​​: Annisa Nadiya Nur’ainy (Bahasa dan Sastra Inggris)

Penulis: Astri Apriliani Putri