Menjadi Baik, Menjadi Jahat

oleh Jundun Yade Alfarid

Banyak cara menjadi orang jahat. Namun, untuk menjadi orang baik banyak godaan yang harus dihadapi. Secara lahiriah manusia telah dihadapkan pada hal semacam itu, maka menjadi baik atau buruk adalah pilihan yang pasti akan dihadapi dalam hal apa pun. Keduannya memiliki jalan dan dampak yang berbeda pula. Oleh sebab itu, hal yang mendasar untuk menghadapi keduanya adalah bagaimana cara manusia mengendalikan emosi, nafsu, dan harapan pribadinya.

Manusia sering lupa diri dalam mengontrol emosi sesaat ketika dihadapkan pada musibah yang menimpanya. Misalnya, ketika seseorang yang ditinggal orang terkasihnya, baik itu gebetan yang minggat maupun hal yang lebih besar seperti ditinggal mati oleh orang yang dicinta. Secara tidak langsung manusia melupakan tujuan mereka untuk hidup. Dalam artian, orang tersebut melupakan harapan yang sebelumnya ingin dicapainya karena salah motivasinya untuk mencapai harapan tersebut telah tiada. Di sisi lain, di saat seperti itulah manusia mementingkan nafsunya untuk dapat bersama lagi dengan apa yang dia cintai, yaitu dapat kembali bersama ketika takdir mengharuskan dirinya berpisah.

Kita banyak mendengar bahwa manusia bukanlah malaikat yang selalu taat (baik) sejak pertama diciptakan. Bukan pula setan yang terkutuk karena tidak taat (jahat). Manusia berada di antara keduanya, hal-hal yang memengaruhi tergantung pada apa yang mendominasi dalam diri masing-masing. Ada berbagai macam jalan. Dari mulai yang berkelok dengan penuh duri, tetapi terdapat taman yang sangat indah ketika sampai di akhir pengembaraan. Ada pula jalan lurus dan dan terang, tetapi akan kau temui jurang jika telah sampai di akhir perjalanan.

Dalam mencapai harapan, manusia akan banyak disuguhi rintangan. “Karena Allah tak akan mengubah nasib suatu bangsa jika mereka sendiri tidak memiliki niatan untuk berubah.” Saya menafsirkan kata-kata ini dengan melihat proses apa yang telah dilalui. Proses tidak akan mengkhianati hasil, sederhananya seperti itu kata-kata yang sering kita dengar dari orang terdahulu. Kita tidak bisa memetik buah alpukat di pohon setinggi lima meter dengan ulat bulu di tiap dahan dan rantingnya, hanya dengan mengedipkan mata. Harapan kita untuk bisa menikmati buah alpukat terhalang oleh ketakutan-ketakutan yang membuat kita enggan untuk beranjak dari angan-angan kegagalan yang menghantui. Kita dihadapkan pada ocehan orang-orang tentang rasa gatal yang akan dirasakan kulit jika terkena bulu-bulu pada ulat, ditambah trauma keseleo ketika jatuh dari pohon juga buah yang belum matang, di samping keinginan untuk memakan buah alpukat sebagai obat lapar. Namun, jika kita berusaha bodo amat dengan hal-hal negatif itu dan berfokus pada harapan untuk memetik buah tersebut, dengan begitu kita dapat mengatasi semua hal yang menghalangi.

Begitu pun dengan kejahatan. Terkadang hukum karma akan berlaku dalam bentuk apa pun. Ketika mencoba untuk membuat bocor ban dosen saat kita telanjur kesal akibat proposal skripsi yang dicorat-coret dan ditolak. Kita bisa saja mendapat musibah yang lebih besar, misal motor yang hilang atau lebih buruk dari itu. Dalam melaksanakannya, keadaan terkadang memihak pada kita. Dorongan untuk membuat kejahatan biasanya tercipta akibat dendam yang menggebu atau rasa kesal yang tak dapat lagi dibendung. Setan seakan mempermudah jalan kita untuk berbuat jahat. Hal ini yang harus diwaspadai. Jika kita berbuat jahat, maka balasan serupa yang akan kita terima kelak. Seminimalnya rasa menyesal di akhir dan tidak mendapat balasan di dunia, tinggal menunggu di akhirat.

Pada hakikatnya, meski seluruh mahluk ciptaan Allah swt. telah memiliki garisnya masing-masing, yang dicatat jauh semasa kita diciptakan, manusia tentu dihadapkan pada pilihan yang tinggal dijalankan. Memilih harapan atau nafsu yang mendominasi jiwanya. Kita bisa menjadi jahat kapan pun dan di mana pun, bahkan kita seakan dipermudah untuk melakukannya. Namun, jika memilih jalan tersebut tentu harus menanggung pula risikonya. Untuk menjadi baik, selain hasil yang akan kita dapatkan, kita pun harus sanggup menanggung proses selama kita melangkah. Beberapa hari ke depan, tepatnya di bulan Ramadan, saya rasa menjadi waktu yang tepat untuk kita berusaha menjadi baik dan bersikap bodo amat pada sesuatu yang jahat.

Baca juga: Keinginan Satrasia ’19 terhadap Depdiksatrasia